Oleh: Iwan Januar
Mungkin tidak
terlalu sarkastis bila dikatakan sebagian besar dari umat mengalami
‘katarak politik’ akut. Mayoritas umat tidak mampu melihat akar
persoalan yang tengah membelit mereka. Ketidakmampuan mengidentifikasi
persoalan besar yang menghadang umat ini berakibat pada perumusan solving problem
yang keliru dalam mengatasi persoalan tersebut. Ambil contoh sebagian
politisi Muslim yang masih percaya bahwa sistem demokrasi dapat
menyelesaikan persoalan umat. Berkali-kali sejumlah harakah islamiyyah
dan partai politik Islam terjun ke arena demokrasi untuk mengulang
kegagalan yang sama. FIS di Aljazair sudah menjadi contoh telanjang
betapa demokrasi tidak akan pernah berpihak sedikitpun pada perjuangan
Islam. Demokrasi mengkhianati sendiri kredonya bahwa suara mayoritas
akan berkuasa. Secara keji dunia membiarkan dan bersekongkol terhadap
FIS yang kemudian disembelih oleh pisau demokrasi.
Namun, pelajaran dari FIS ternyata tidak
membuat jera sebagian umat ini. Di Mesir, Ikhwanul Muslimin akhirnya
menjadi tumbal demokrasi pasca jatuhnya rezim Mubarak. Presiden Mursi
yang terpilih secara konstitusional digulingkan oleh militer dukungan
AS. Lagi-lagi kredo demokrasi tentang suara mayoritas tak berlaku bagi
perjuangan Islam.
Katarak politik itu semakin nyata manakala ditawarkan pada mereka kewajiban menegakkan Khilafah sebagai solving
problem, sebagian dari mereka ramai-ramai memberikan bantahan. Mereka
menganggap bahwa ide ini utopia serta hanya romantisme sejarah. Padahal
penolakan dan tuduhan yang mereka lontarkan sungguh amat lemah dan tak
berharga dalam timbangan syariah Allah SWT.
Unifikasi yang Mustahil?
Di antara dalih yang kerap dikemukakan
para penentang kewajiban menegakkan Khilafah adalah realitas Dunia Islam
yang telah terbelah dalam konsep nation-state. Menurut mereka,
mustahil dapat menyatukan seluruh wilayah Islam dalam sebuah negara
besar semacam Khilafah. Pasalnya, setiap negeri-negeri Muslim telah
terikat dengan konsep negara mereka masing-masing.
Pernyataan ini sebenarnya berangkat dari
pragmatisme, bukan dari dalil syariah. Sesungguhnya tidak pantas
seorang Muslim berpendapat dan bersikap tidak berdasarkan hukum-hukum
syariah. Berdalih dengan realitas atau menjadikan pragmatisme sebagai
cara berpikir adalah kemaksiatan di hadapan Allah SWT.
Apakah mereka tidak memperhatikan
bagaimana Rasulullah saw. menawarkan Islam ini kepada suku Aus dan
Khazraj yang merupakan dua musuh bebuyutan? Keduanya memiliki akar
sejarah permusuhan dan perbedaan yang nyata sehingga hampir-hampir sulit
disatukan. Namun kemudian, dengan izin Allah SWT, Nabi saw. dapat
melebur segala perbedaan di antara mereka dan justru menjadikan mereka
berada dalam ikatan persaudaraan yang kokoh.
Islam pula yang dapat mempersatukan kaum Muhajirin dan Anshar dalam ikatan ukhuwah islamiyyah
di bawah naungan Daulah Islamiyah pertama di Madinah. Bahkan Islam
dapat membuat kaum Anshar berkorban dan mendahulukan kepentingan
saudara-saudara mereka dari kaum Muhajirin (Lihat: QS al-Hasyr [33]: 9).
Islam bahkan mampu mempersatukan umat
manusia dari Timur hingga ke Barat, dari Maroko hingga Sisilia dan
Andalusia. Semuanya bersatu dalam kepemimpinan Khilafah Islam. Sungguh,
peleburan aneka suku bangsa semacam ini belum terjadi kecuali hanya
dalam Kekhilafahan Islam.
Unifikasi (penyatuan) bukanlah perkara
yang mustahil. Pada zaman sekarang, karena kecanggihan teknologi
transportasi dan informasi-komunikasi, dunia berubah menjadi sebuah
‘kampung kecil’. Berbagai penyatuan bangsa juga terjadi. Sebutlah
Masyarakat Eropa yang menggabungkan banyak negara di Eropa. Bahkan
mereka juga menyatukan mata uang ke dalam mata uang bersama Euro.
Beragam Pemikiran Umat
Sikap pesimis untuk memperjuangkan
Khilafah yang juga muncul akibat pragmatisme tampak saat melihat
keberagaman pemikiran Islam yang eksis di tengah umat, juga keragaman harakah
dan parpol yang berjuang untuk Islam. Mana mungkin keberagaman
pemikiran ini dapat dipersatukan karena masing-masing pasti memiliki
landasan argumentasi. Keragaman mazhab yang dianut oleh umat juga
memustahilkan adanya penyatuan umat dalam sebuah wadah bernama Khilafah.
Keadaan ini juga bukanlah sebuah hambatan untuk penyatuan umat dalam Khilafah karena sejumlah alasan. Pertama: bila perbedaan pendapat itu terjadi pada tingkatan muqallid, maka bisa dan boleh saja seorang muqallid berpindah pendapat menuju pendapat lain yang ia yakini lebih kuat dalilnya.
Apalagi bila perbedaan pendapat itu didasarkan pada kekeliruan penggunaan dalil dan penetapan fakta (tahqiq al-manath), maka lebih utama lagi bagi seorang muqallid untuk berpindah ke pendapat yang lebih kuat hujjah-nya.
Misal, ada kelompok yang berpendapat bahwa persoalan utama umat hari
ini adalah kerusakan akhlak. Hal ini berdasarkan kekeliruan penetapan
fakta atas persoalan umat. Demikian pula kelompok yang berpendapat bahwa
demokrasi adalah metode perubahan umat atau mereka yang mempertahankan
nasionalisme bagi umat. Tampak jelas kelemahan bahkan kebatilan pendapat
yang mereka ambil. Wajib bagi orang-orang yang bertaklid dalam masalah
itu untuk berpindah ke pendapat lain yang lebih kuat dan benar.
Bila perbedaan itu terjadi di kalangan
mujtahid maka bukan berarti tak bisa adanya penyatuan pendapat. Ini bisa
terjadi dengan dua alasan. Pertama: bila seorang mujtahid
telah memahami kelemahan pendapat yang ia ambil, dan atau ia meyakini
ada mujtahid lain yang lebih kuat pendapatnya, maka syariah membolehkan
dia untuk meninggalkan hasil ijtihadnya dan mengambil ijtihad ulama
mujtahid lain.
Hal ini adalah perkara yang lazim terjadi di
Dunia Islam. Banyak sahabat ra. yang melepaskan pendapatnya lalu
mengikuti pendapat sahabat yang lain. Begitupula para ulama yang
melepaskan hasil ijtihadnya dan berpindah ke ijtihad ulama lain. Misal,
al-‘Amidi meriwayatkan bahwa Abu Musa ra. pernah meninggalkan
pendapatnya lalu mengikuti pendapat Ali ra. Zaid bin Haritsah ra. juga
pernah melepaskan pendapatnya kemudian mengambil pendapat Ubay bin Kaab
ra. Inilah sifat terpuji yang disebut oleh Allah SWT. yakni bila mereka
telah mendengar pendapat lain yang lebih baik lalu mereka memilih
pendapat tersebut dan meninggalkan pendapat sebelumnya yang lemah
(Lihat: QS az-Zumar [39]: 18).
Kedua: sesungguhnya syariah
telah menetapkan sebuah mekanisme penyatuan perbedaan pendapat di
tengah-tengah umat manakala Khilafah telah berdiri, yakni dengan adanya
pengadopsian pendapat guna melakukan ri’ayatusy-syu’unil-ummah
oleh Khalifah. Telah masyhur dibahas oleh para ulama bahwa khalifah
memiliki wewenang untuk menetapkan pendapat yang akan ia gunakan dalam
mengatur urusan umat. Khulafaur-Rasyidin telah melakukan hal ini dan
menyatukan pendapat yang ada di tengah-tengah para sahabat dan kaum
Muslim. Pendapat yang telah ditetapkan oleh Khalifah wajib ditaati,
selanjutnya pendapat yang lain tidak boleh untuk diamalkan. Dalam hal
ini berlaku kaidah:
أَمْرُ اْلإِمَامِ يرَْفَعُ الخِْلاَ ف
Perintah Imam/Khalifah menghilangkan perbedaan pendapat.
Dengan demikian perbedaan pendapat yang
bersliweran di tengah umat bukanlah persoalan Dengan demikian perjuangan
menegakkan Khilafah tak akan terhambat sama sekali oleh adanya ikhtilaf
di tengah-tengah umat.
Metode yang Sumir?
Karena telah begitu lama dicekoki racun
demokrasi, tidak sedikit politisi Muslim yang meragukan metode
perjuangan dan tujuan perjuangan menegakkan Khilafah. Bagi mereka bukan
saja tujuan menegakkan Khilafah yang utopis, tetapi metode perjuangannya
pun dianggap sumir alias tidak jelas. Mereka berkeyakinan, hanya dengan
terjun ke dalam sistem demokrasi, mereka bisa memperbaiki umat melalui
mekanisme parlemen. Lewat parlemen dapat dihasilkan undang-undang yang
memberikan kontribusi pada umat. Kemenangan parpol Islam dalam Pemilu
hingga bisa menguasai mayoritas kursi Parlemen pada akhirnya
memungkinkan mereka mendudukkan tokoh umat di tampuk kekuasaan sebagai
kepala negara.
Sebelum menjawab persoalan ini, terlebih
dulu harus disepakati apa sebenarnya yang menjadi landasan seorang
Muslim dalam beramal, termasuk berdakwah: akal dan hawa nafsu ataukah
wahyu? Bila akal dan hawa nafsu maka sebenarnya Allah SWT telah
memperingatkan keburukan hal ini (Lihat, misalnya: QS al-Kahfi [18]:
103-104).
Seharusnya kaum Muslim bersepakat bahwa
sunnah Rasulullah saw. adalah dalil atas setiap perbuatan setelah
al-Quran, termasuk dalam urusan dakwah. Dalam hal ini Rasulullah saw.
telah memberikan metode perubahan umat yang jelas melalui
tahapan-tahapan dakwah yang beliau contohkan. Selama di Mekkah beliau
dan para sahabat memfokuskan diri pada proses penyiapan kader-kader
dakwah. Mereka juga melakukan pergolakan pemikiran dan perjuangan
politik untuk menggoyang sistem jahiliah. Sama sekali Rasulullah saw.
tidak pernah terlibat dalam keputusan para pejabat-pejabat musyrik
Quraisy di Darun-Nadwah. Beliau juga tidak pernah mengkompromikan
risalah Islam dengan keinginan mereka.
Sepanjang dakwah di Makkah, beliau juga
terus berusaha mencari orang-orang dan kabilah yang mau beriman dan
memberikan dukungan kuat atas dakwah. Fase inilah yang dikenal dengan
sebutan thalabun-nushrah. Pada setiap musim haji, berbagai
kabilah dari luar Makkah beliau tawari Islam. Beliau pun meminta
dukungan mereka terhadap dakwah Islam. Akhirnya, Allah SWT memberikan
jalan kepada beliau berupa pertemuan dengan suku Aus dan Khazraj dari
Yatsrib.
Setelah pertemuan itu, Rasulullah saw.
tidak serta-merta berhijrah. Beliau mengirim Mush’ab bin Umair ra. untuk
mempersiapkan Yatsrib. Tujuannya adalah agar Yatsrib benar-benar
kondusif sebagai tempat berhijrah sekaligus sebagai cikal bakal Daulah
Islamiyah pertama di dunia.
Karena itu, bagaimana bisa dikatakan
bahwa metode dakwah Rasulullah saw. ini tidak jelas, sumir dan tak ada
gambarannya?! Bagaimana bisa kaum Muslim melepaskan diri dari Sirah Rasulullah saw. dan menganggap sirah
beliau seolah hanya dongeng atau bimbingan akhlak semata, tanpa ada
syariah di dalamnya? Lalu mereka menganggap akal mereka lebih luhur
ketimbang tuntunan yang Allah berikan pada setiap ucapan dan tindakan
Nabi-Nya? Mereka memelintir Sirah Nabi saw. untuk membenarkan tindakan mereka. Mereka menggunakan Sirah Nabi saw. itu hanya bila sesuai dengan hawa nafsu mereka, bukannya menundukkan diri mereka pada syariah Islam.
Melawan Hegemoni Barat
Ada sebagian umat yang surut atau enggan
berjuang menegakkan Khilafah karena merasa umat tak akan sanggup
menghadapi hegemoni negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat.
Mereka berpikir bahwa negara-negara Barat tidak memiliki kelemahan dan
tak mungkin dihancurkan.
Sejarah telah mencatat kejatuhan
sejumlah kerajaan dan negara di dunia. Uni Soviet yang dulu
digadang-gadang menjadi negara besar ternyata ambruk hanya dalam tempo
kurang dari satu abad. Amerika Serikat yang saat ini masih dimitoskan
sebagai negara adidaya terbukti keropos dan menunggu saat kejatuhannya.
Perekonomian negara ini telah terperosok dalam utang dan krisis. Kondisi
sosial negara ini rusak. Militer mereka mengalami kekalahan perang di
negeri-negeri Islam. Kepemimpinan mereka juga dilanda krisis pasca
kegagalan Obama memperbaiki perekonomian dalam negeri dan skandal
perselingkuhan yang kini dia hadapi.
Sebaliknya, Islamtelah dijanjikan oleh
Allah SWT akan bangkit dan menjadi kekuatan besar di dunia. Rasulullah
saw. pun telah menjanjikan akan kembalinya Khilafah ar-Rasyidah ‘ala minhaj an-Nubuwwah.
Lalu bagaimana bisa seorang Muslim tidak memercayai janji-janji Allah
dan Rasul-Nya, malah takut kepada musuh-musuh Allah yang jelas adalah
mahlukNya?!
Kedigdayaan Barat, utamanya AS dan
sekutu mereka Israel, lebih bertumpu pada mitos ketimbang realita.
Kebesaran mereka dibangun lewat imaji yang dibangun media massa,
film-film Hollywood dan antek-antek mereka yang telah menjadi penjaga
kepentingan mereka di setiap negeri Muslim. Sekarang terbukti, kebesaran
itu hanyalah topeng. Barat dan AS kini menghadapi kebangkrutan
finansial, militer dan sosial.
Oleh karena itu tak ada alasan untuk
meragukan jalan perjuangan untuk menegakkan Khilafah Islamiyah. Telah
jelas tujuannya dan telah jelas pula metode dakwah yang harus ditempuh
untuk meraihnya. Sesungguhnya kemenangan dakwah dan perjuangan umat akan
mudah diraih manakala kita berada di atas jalan syariah-Nya,
menundukkan diri pada tuntunan-Nya, menjadi insan yang ikhlas menerima
setiap kebenaran.
WalLahu a’lam..
Sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2014/03/04/jalan-terang-menuju-khilafah-menjawab-keraguan/