بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Kamis, 01 Oktober 2015



Oleh:  Iwan Januar

 

Mungkin tidak terlalu sarkastis bila dikatakan sebagian besar dari umat mengalami ‘katarak politik’ akut. Mayoritas umat tidak mampu melihat akar persoalan yang tengah membelit mereka. Ketidakmampuan mengidentifikasi persoalan besar yang menghadang umat ini berakibat pada perumusan solving problem yang keliru dalam mengatasi persoalan tersebut. Ambil contoh sebagian politisi Muslim yang masih percaya bahwa sistem demokrasi dapat menyelesaikan persoalan umat. Berkali-kali sejumlah harakah islamiyyah dan partai politik Islam terjun ke arena demokrasi untuk mengulang kegagalan yang sama. FIS di Aljazair sudah menjadi contoh telanjang betapa demokrasi tidak akan pernah berpihak sedikitpun pada perjuangan Islam. Demokrasi mengkhianati sendiri kredonya bahwa suara mayoritas akan berkuasa. Secara keji dunia membiarkan dan bersekongkol terhadap FIS yang kemudian disembelih oleh pisau demokrasi.

Namun, pelajaran dari FIS ternyata tidak membuat jera sebagian umat ini. Di Mesir, Ikhwanul Muslimin akhirnya menjadi tumbal demokrasi pasca jatuhnya rezim Mubarak. Presiden Mursi yang terpilih secara konstitusional digulingkan oleh militer dukungan AS. Lagi-lagi kredo demokrasi tentang suara mayoritas tak berlaku bagi perjuangan Islam.

Katarak politik itu semakin nyata manakala ditawarkan pada mereka kewajiban menegakkan Khilafah sebagai solving problem, sebagian dari mereka ramai-ramai memberikan bantahan. Mereka menganggap bahwa ide ini utopia serta hanya romantisme sejarah. Padahal penolakan dan tuduhan yang mereka lontarkan sungguh amat lemah dan tak berharga dalam timbangan syariah Allah SWT.


Unifikasi yang Mustahil?

Di antara dalih yang kerap dikemukakan para penentang kewajiban menegakkan Khilafah adalah realitas Dunia Islam yang telah terbelah dalam konsep nation-state. Menurut mereka, mustahil dapat menyatukan seluruh wilayah Islam dalam sebuah negara besar semacam Khilafah. Pasalnya, setiap negeri-negeri Muslim telah terikat dengan konsep negara mereka masing-masing.

Pernyataan ini sebenarnya berangkat dari pragmatisme, bukan dari dalil syariah. Sesungguhnya tidak pantas seorang Muslim berpendapat dan bersikap tidak berdasarkan hukum-hukum syariah. Berdalih dengan realitas atau menjadikan pragmatisme sebagai cara berpikir adalah kemaksiatan di hadapan Allah SWT.

Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Rasulullah saw. menawarkan Islam ini kepada suku Aus dan Khazraj yang merupakan dua musuh bebuyutan? Keduanya memiliki akar sejarah permusuhan dan perbedaan yang nyata sehingga hampir-hampir sulit disatukan. Namun kemudian, dengan izin Allah SWT, Nabi saw. dapat melebur segala perbedaan di antara mereka dan justru menjadikan mereka berada dalam ikatan persaudaraan yang kokoh.

Islam pula yang dapat mempersatukan kaum Muhajirin dan Anshar dalam ikatan ukhuwah islamiyyah di bawah naungan Daulah Islamiyah pertama di Madinah. Bahkan Islam dapat membuat kaum Anshar berkorban dan mendahulukan kepentingan saudara-saudara mereka dari kaum Muhajirin (Lihat: QS al-Hasyr [33]: 9).

Islam bahkan mampu mempersatukan umat manusia dari Timur hingga ke Barat, dari Maroko hingga Sisilia dan Andalusia. Semuanya bersatu dalam kepemimpinan Khilafah Islam. Sungguh, peleburan aneka suku bangsa semacam ini belum terjadi kecuali hanya dalam Kekhilafahan Islam.

Unifikasi (penyatuan) bukanlah perkara yang mustahil. Pada zaman sekarang, karena kecanggihan teknologi transportasi dan informasi-komunikasi, dunia berubah menjadi sebuah ‘kampung kecil’. Berbagai penyatuan bangsa juga terjadi. Sebutlah Masyarakat Eropa yang menggabungkan banyak negara di Eropa. Bahkan mereka juga menyatukan mata uang ke dalam mata uang bersama Euro.


Beragam Pemikiran Umat

Sikap pesimis untuk memperjuangkan Khilafah yang juga muncul akibat pragmatisme tampak saat melihat keberagaman pemikiran Islam yang eksis di tengah umat, juga keragaman harakah dan parpol yang berjuang untuk Islam. Mana mungkin keberagaman pemikiran ini dapat dipersatukan karena masing-masing pasti memiliki landasan argumentasi. Keragaman mazhab yang dianut oleh umat juga memustahilkan adanya penyatuan umat dalam sebuah wadah bernama Khilafah.

Keadaan ini juga bukanlah sebuah hambatan untuk penyatuan umat dalam Khilafah karena sejumlah alasan. Pertama: bila perbedaan pendapat itu terjadi pada tingkatan muqallid, maka bisa dan boleh saja seorang muqallid berpindah pendapat menuju pendapat lain yang ia yakini lebih kuat dalilnya.

Apalagi bila perbedaan pendapat itu didasarkan pada kekeliruan penggunaan dalil dan penetapan fakta (tahqiq al-manath), maka lebih utama lagi bagi seorang muqallid untuk berpindah ke pendapat yang lebih kuat hujjah-nya. Misal, ada kelompok yang berpendapat bahwa persoalan utama umat hari ini adalah kerusakan akhlak. Hal ini berdasarkan kekeliruan penetapan fakta atas persoalan umat. Demikian pula kelompok yang berpendapat bahwa demokrasi adalah metode perubahan umat atau mereka yang mempertahankan nasionalisme bagi umat. Tampak jelas kelemahan bahkan kebatilan pendapat yang mereka ambil. Wajib bagi orang-orang yang bertaklid dalam masalah itu untuk berpindah ke pendapat lain yang lebih kuat dan benar.

Bila perbedaan itu terjadi di kalangan mujtahid maka bukan berarti tak bisa adanya penyatuan pendapat. Ini bisa terjadi dengan dua alasan. Pertama: bila seorang mujtahid telah memahami kelemahan pendapat yang ia ambil, dan atau ia meyakini ada mujtahid lain yang lebih kuat pendapatnya, maka syariah membolehkan dia untuk meninggalkan hasil ijtihadnya dan mengambil ijtihad ulama mujtahid lain.        

Hal ini adalah perkara yang lazim terjadi di Dunia Islam. Banyak sahabat ra. yang melepaskan pendapatnya lalu mengikuti pendapat sahabat yang lain. Begitupula para ulama yang melepaskan hasil ijtihadnya dan berpindah ke ijtihad ulama lain. Misal,  al-‘Amidi meriwayatkan bahwa Abu Musa ra. pernah meninggalkan pendapatnya lalu mengikuti pendapat Ali  ra. Zaid bin Haritsah ra. juga pernah melepaskan pendapatnya kemudian mengambil pendapat Ubay bin Kaab ra. Inilah sifat terpuji yang disebut oleh Allah SWT. yakni bila mereka telah mendengar pendapat lain yang lebih baik lalu mereka memilih pendapat tersebut dan meninggalkan pendapat sebelumnya yang lemah (Lihat: QS az-Zumar [39]: 18).

Kedua: sesungguhnya syariah telah menetapkan sebuah mekanisme penyatuan perbedaan pendapat di tengah-tengah umat manakala Khilafah telah berdiri, yakni dengan adanya pengadopsian pendapat guna melakukan ri’ayatusy-syu’unil-ummah oleh Khalifah. Telah masyhur dibahas oleh para ulama bahwa khalifah memiliki wewenang untuk menetapkan pendapat yang akan ia gunakan dalam mengatur urusan umat. Khulafaur-Rasyidin telah melakukan hal ini dan menyatukan pendapat yang ada di tengah-tengah para sahabat dan kaum Muslim. Pendapat yang telah ditetapkan oleh Khalifah wajib ditaati, selanjutnya pendapat yang lain tidak boleh untuk diamalkan. Dalam hal ini berlaku kaidah:

أَمْرُ اْلإِمَامِ يرَْفَعُ الخِْلاَ ف
Perintah Imam/Khalifah menghilangkan perbedaan pendapat.

Dengan demikian perbedaan pendapat yang bersliweran di tengah umat bukanlah persoalan Dengan demikian perjuangan menegakkan Khilafah tak akan terhambat sama sekali oleh adanya ikhtilaf di tengah-tengah umat.


Metode yang Sumir?

Karena telah begitu lama dicekoki racun demokrasi, tidak sedikit politisi Muslim yang meragukan metode perjuangan dan tujuan perjuangan menegakkan Khilafah. Bagi mereka bukan saja tujuan menegakkan Khilafah yang utopis, tetapi metode perjuangannya pun dianggap sumir alias tidak jelas. Mereka berkeyakinan, hanya dengan terjun ke dalam sistem demokrasi, mereka bisa memperbaiki umat melalui mekanisme parlemen. Lewat parlemen dapat dihasilkan undang-undang yang memberikan kontribusi pada umat. Kemenangan parpol Islam dalam Pemilu hingga bisa menguasai mayoritas kursi Parlemen pada akhirnya memungkinkan mereka mendudukkan tokoh umat di tampuk kekuasaan sebagai kepala negara.

Sebelum menjawab persoalan ini, terlebih dulu harus disepakati apa sebenarnya yang menjadi landasan seorang Muslim dalam beramal, termasuk berdakwah: akal dan hawa nafsu ataukah wahyu? Bila akal dan hawa nafsu maka sebenarnya Allah SWT telah memperingatkan keburukan hal ini (Lihat, misalnya: QS al-Kahfi [18]: 103-104).

Seharusnya kaum Muslim bersepakat bahwa sunnah Rasulullah saw. adalah dalil atas setiap perbuatan setelah al-Quran, termasuk dalam urusan dakwah. Dalam hal ini Rasulullah saw. telah memberikan metode perubahan umat yang jelas melalui tahapan-tahapan dakwah yang beliau contohkan. Selama di Mekkah beliau dan para sahabat memfokuskan diri pada proses penyiapan kader-kader dakwah. Mereka juga melakukan pergolakan pemikiran dan perjuangan politik untuk menggoyang sistem jahiliah. Sama sekali Rasulullah saw. tidak pernah terlibat dalam keputusan para pejabat-pejabat musyrik Quraisy di Darun-Nadwah.  Beliau juga tidak pernah mengkompromikan risalah Islam dengan keinginan mereka.

Sepanjang dakwah di Makkah, beliau juga terus berusaha mencari orang-orang dan kabilah yang mau beriman dan memberikan dukungan kuat atas dakwah. Fase inilah yang dikenal dengan sebutan thalabun-nushrah. Pada setiap musim haji, berbagai kabilah dari luar Makkah beliau tawari Islam. Beliau pun meminta dukungan mereka terhadap dakwah Islam. Akhirnya, Allah SWT memberikan jalan kepada beliau berupa pertemuan dengan suku Aus dan Khazraj dari Yatsrib.

Setelah pertemuan itu, Rasulullah saw. tidak serta-merta berhijrah. Beliau mengirim Mush’ab bin Umair ra. untuk mempersiapkan Yatsrib. Tujuannya adalah agar Yatsrib benar-benar kondusif sebagai tempat berhijrah sekaligus sebagai cikal bakal Daulah Islamiyah pertama di dunia.

Karena itu, bagaimana bisa dikatakan bahwa metode dakwah Rasulullah saw. ini tidak jelas, sumir dan tak ada gambarannya?! Bagaimana bisa kaum Muslim melepaskan diri dari Sirah Rasulullah saw. dan menganggap sirah beliau seolah hanya dongeng atau bimbingan akhlak semata, tanpa ada syariah di dalamnya? Lalu mereka menganggap akal mereka lebih luhur ketimbang tuntunan yang Allah berikan pada setiap ucapan dan tindakan Nabi-Nya? Mereka memelintir Sirah Nabi saw. untuk membenarkan tindakan mereka. Mereka menggunakan Sirah Nabi saw. itu hanya bila sesuai dengan hawa nafsu mereka, bukannya menundukkan diri mereka pada syariah Islam.


Melawan Hegemoni Barat
Ada sebagian umat yang surut atau enggan berjuang menegakkan Khilafah karena merasa umat tak akan sanggup menghadapi hegemoni negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat. Mereka berpikir bahwa negara-negara Barat tidak memiliki kelemahan dan tak mungkin dihancurkan.

Sejarah telah mencatat kejatuhan sejumlah kerajaan dan negara di dunia. Uni Soviet yang dulu digadang-gadang menjadi negara besar ternyata ambruk hanya dalam tempo kurang dari satu abad. Amerika Serikat yang saat ini masih dimitoskan sebagai negara adidaya terbukti keropos dan menunggu saat kejatuhannya. Perekonomian negara ini telah terperosok dalam utang dan krisis. Kondisi sosial negara ini rusak. Militer mereka mengalami kekalahan perang di negeri-negeri Islam. Kepemimpinan mereka juga dilanda krisis pasca kegagalan Obama memperbaiki perekonomian dalam negeri dan skandal perselingkuhan yang kini dia hadapi.

Sebaliknya, Islamtelah dijanjikan oleh Allah SWT akan bangkit dan menjadi kekuatan besar di dunia. Rasulullah saw. pun telah menjanjikan akan kembalinya Khilafah ar-Rasyidah ‘ala minhaj an-Nubuwwah. Lalu bagaimana bisa seorang Muslim tidak memercayai janji-janji Allah dan Rasul-Nya, malah takut kepada musuh-musuh Allah yang jelas adalah mahlukNya?!

Kedigdayaan Barat, utamanya AS dan sekutu mereka Israel, lebih bertumpu pada mitos ketimbang realita. Kebesaran mereka dibangun lewat imaji yang dibangun media massa, film-film Hollywood dan antek-antek mereka yang telah menjadi penjaga kepentingan mereka di setiap negeri Muslim. Sekarang terbukti, kebesaran itu hanyalah topeng. Barat dan AS kini menghadapi kebangkrutan finansial, militer dan sosial.

Oleh karena itu tak ada alasan untuk meragukan jalan perjuangan untuk menegakkan Khilafah Islamiyah. Telah jelas tujuannya dan telah jelas pula metode dakwah yang harus ditempuh untuk meraihnya. Sesungguhnya kemenangan dakwah dan perjuangan umat akan mudah diraih manakala kita berada di atas jalan syariah-Nya, menundukkan diri pada tuntunan-Nya, menjadi insan yang ikhlas menerima setiap kebenaran.

WalLahu a’lam.. 

Sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2014/03/04/jalan-terang-menuju-khilafah-menjawab-keraguan/
 

Kamis, 24 September 2015

MAKNA POLITIK IBADAH HAJI 

oleh: KH Hafidz Abdurrahman 



Haji sebagai rukun Islam yang kelima merupakan bagian dari ibadah mahdhah. Sebagaimana ibadah mahdhah yang lain, Allah memang tidak pernah menjelaskan alasan disyariatkannya ibadah ini. Yang pasti banyak manfaat ibadah haji (QS al-Hajj [22]: 27-28). Ada yang bersifat individual dan komunal; ada yang berkaitan dengan hak-hak Allah dan makhluk. Di luar itu, ternyata haji memiliki makna politik. 

Ibadah haji adalah ibadah jamaah yang dilaksanakan pada waktu yang sama di tempat yang sama. Dimulai dari persiapan ibadah haji (tarwiyyah) di Mina pada tanggal 8 Dzulhijjah. Dilanjutkan dengan wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, dimulai menjelang matahari tergelincir (zawâl) hingga terbenam (ghurûb). Dilanjutkan dengan mabit (menginap) di Muzdalifah pada malam harinya. Kemudian dilanjutkan dengan jumrah Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah, tahallul shughrâ, menyembelih hadyu bisa di Mina atau di Makkah, dilanjutkan dengan thawaf Ifadhah dan sa’i di Masjid al-Haram. Lalu, kembali lagi ke Mina untuk mabit dan jumrah Ula, Wustha dan Aqabah pada tanggal 11 dan 12, bagi yang ingin meninggalkan Mina pada tanggal 12 Dzulhijjah (Nafar Awwal), ataupun 11, 12 dan 13 bagi yang ingin meninggalkan Mina pada tanggal 13 Dzulhijjah (Nafar Tsâni). Dengan berakhirnya rangkaian ini selesailah sudah ibadah haji seseorang.

Di tempat-tempat itulah, seluruh jamaah haji dari berbagai penjuru dunia berkumpul, bertemu dan berinteraksi. Mereka disatukan oleh akidah dan pandangan hidup yang sama. Di sana, mereka mempunyai tujuan yang sama. Pemandangan inilah yang disebut masyhad al-a’dham (pemandangan agung) yang dibanggakan oleh Allah dari penghuni bumi kepada para malaikat di langit. Nabi menyatakan, “Sesungguhnya Allah membanggakan Ahli Arafah (orang-orang yang berkumpul dan wukuf di Arafah) kepada penghuni langit.” (HR Ibn Hibban dari Abu Hurairah). Jika Allah saja membanggakan mereka di hadapan malaikat, maka umat Islam yang menyadari posisinya itu tidak akan merasa inferior, apalagi di hadapan orang-orang kafir, seperti Amerika, Inggris dan lain-lain.

Selain itu, mereka juga solid, terbukti bahwa mereka bisa melakukan manasik yang sama, pada waktu dan tempat yang sama, bukan digerakkan oleh kekuatan fisik pemimpin mereka, tetapi kekuatan akidah dan pemahaman agama mereka. Mereka bisa menyatu dan mengalir begitu kuatnya seperti air menuju tiap titik manasik, dan tidak ada siapapun kekuatan yang bisa membendung aliran mereka. Semuanya ini membuktikan bahwa umat ini adalah umat yang satu; umat yang kuat dan tidak bisa dikalahkan oleh siapapun, karena persatuan mereka.

Kekuatan yang luar biasa ini didukung oleh kekuatan mental dan spiritual mereka, sebagaimana yang ditanamkan ibadah. Sejak dari rumah mereka sudah pasrahkan semua harta, keluarga, jabatan dan apapun yang mereka tinggal kepada Allah, dan siap hidup-mati melaksanakan perintah-Nya dengan ketundukan dan kepatuhan mutlak. Dengan kata lain, mereka tidak lagi mempunyai penyakit Wahn atau Hubb ad-Dunya wa Karahiyyatu al-Maut (mencintai dunia dan takut mati). Di saat seperti itu, mereka akan siap melakukan apapun yang diminta oleh Allah dan memberikan segalanya. Meski diperintah untuk melaksanakan sesuatu yang tampak irasional, seperti mencium dan menyentuh Hajar Aswad, atau menyentuh Rukun Yamani, mencari batu dan melempar jumrah Aqabah; jumrah Ula, Wustha dan Aqabah. Jika saja kekuatan umat yang dahsyat ini ditransformasikan dalam kehidupan nyata pasca haji, maka umat ini akan menjadi umat terbaik, terkuat, superior dan adidaya tak terkalahkan.

Selain itu, masyhad a’dham ini juga membuktikan, bahwa umat Islam ini bisa bersatu dalam satu tujuan dan nusuk, sekalipun negeri, bangsa, warna kulit, mazhab, bahkan bahasa mereka berbeda. Namun, masyhad a’dham ini tidak akan tampak lagi, ketika mereka sudah kembali ke negeri asal mereka. Jika saja, realitas masyhad a’dham itu juga mereka transformasikan dalam kehidupan politik mereka, maka umat ini tidak akan lagi tersekat dengan nation state, yang selama ini menghalangi persatuan mereka. Sebaliknya, mereka hanya hidup dalam satu negara, di bawah satu bendera, La ilaha ill-Llah Muhammad Rasulullah, satu imam, satu sistem (syariah) dan satu tujuan. Itulah Khilafah.

Haji juga menampakkan fenomena lain. Sejak niat pertama melaksanakan ibadah, mereka harus mengenakan pakaian ihram yang putih dan tidak berjahit, mulai dari tarwiyah hingga tahallul shughra, tanggal 8-10 Dzulhijjah. Saat itu, semua orang sama. Tidak ada lagi budak, majikan, kepala negara, rakyat, kaya, miskin, kulit putih, hitam dan sebagainya. Semuanya dibalut dengan pakaian yang sama, putih-putih, tidak berjahit, dengan muka dan kepala terbuka, berpanas-panas, berdesak-desakkan dan melakukan nusuk yang sama.

Ini merupakan sya’air hajj (simbol haji) yang memanifestasikan sikap egalitarian yang sesungguhnya. Semuanya sama di hadapan Allah. Semuanya melakukan hal yang sama, dan semua diperlakukan dengan perlakukan sama, sebagai dhuyûf ar-Rahmân (tamu Allah). Bahkan Nabi pun menolak diperlakukan istimewa. Ketika ada seseorang menawarkan jasa kepada Nabi, untuk menyiapkan tempat mabit yang teduh di Mina, dengan tegas Nabi menolak, “Tidak, Mina adalah tempat bagi siapa saja yang lebih dahulu sampai.” (Hr. Ibn Khuzaimah dari ‘Aisyah).

Darah, harta dan tanah mereka, seluruh umat Islam di seluruh dunia, sama kedudukannya. Sama-sama dimuliakan. Maka, tidak boleh ditumpahkan dan dinodai oleh siapapun, sebagaimana kemuliaan dan kesucian tanah, bulan dan hari haram ini. Itulah proklamasi yang dikumandangkan oleh Nabi pada saat Haji Wada’, di padang Arafah (Hr. Bukhari-Muslim dari Ibn ‘Umar).

Tidak hanya itu, baginda SAW pun menegaskan, bahwa satu nyawa orang Islam lebih mulia bagi Allah, ketimbang Ka’bah. Karena hancurnya Ka’bah lebih ringan bagi-Nya, ketimbang hilangnya satu nyawa orang Islam (as-Sakhawi, al-Maqashid al-Hasanah, juz I/381). Padahal, siapa pun yang berdiri di hadapan Ka’bah, pasti akan merasa kecil. Tentu mereka akan lebih tidak sanggup lagi ketika menyaksikan darah dan nyawa orang Islam ditumpahkan.

Jika kesadaran itu ditransformasikan dalam kehidupan nyata, maka di hadapan sesama Muslim mereka merasa sama, sebaliknya mereka akan merasa superior di hadapan orang-orang kafir. Mereka tidak rela, jika tanah dan harta mereka dirampok oleh negara-negara kafir penjajah. Mereka juga tidak akan rela, saudara mereka dibantai atau ditangkap dan dipenjarakan atas pesanan negara-negara Kafir penjajah, sekalipun dilakukan dengan menggunakan tangan saudara mereka, sesama Muslim. Jika kesadaran itu ada, mereka pasti bangkit, dan merdeka. Semua kekuatan yang menghalangi kebangkitan mereka pun akan mereka libas, termasuk para penguasa antek penjajah.

Ketika dua tanah Haram, Makkah dan Madinah, dijadikan sebagai tempat pelaksanaan ibadah haji dan ziarah bagi jamaah haji, maka bagi mereka yang mempunyai modal pengetahuan sejarah tentang kedua tanah itu, pasti akan merasakan pengaruh yang luar biasa dalam diri mereka. Betapa tidak, di sana mereka bisa menyaksikan langsung lembah Aqabah, tempat di mana Nabi dibaiat menjadi kepala Negara Islam pertama. Mereka juga bisa menyaksikan Hudaibiyyah, tempat di mana perjanjian Hudaibiyyah dilakukan, yang menjadi pintu masuk Fathu Makkah (Pembebasan Kota Makkah). Ketika mereka menyusuri kawasan al-Judriyyah, sebelah atas Masjid al-Haram, mereka akan menemukan masjid ar-Râyah (masjid Bendera). Di situlah pada tahun 8 H, Nabi bersama 10.000 tentaranya berhenti di tempat itu, dan menancapkan Rayatu al-Uqab, bendera berwarna hitam dengan tulisan La ilaha Ill-Llah Muhammad Rasulullah, menandai jatuhnya kota Makkah ke tangan kaum Muslim. Di tempat itu pula, Nabi melakukan shalat dua rakaat.

Ketika kita ziarah ke Madinah, di sana kita akan menemukan Masjid Nabawi yang menjadi pusat pemerintahan Nabi. Di sana, Nabi dan dua sahabat mulia baginda dimakamkan. Di masjid itu, selain ada Raudhah, surga Allah di bumi, juga ada tiang-tiang (usthuwanah) yang bersejarah: (1) Usthuwanah al-Hirs, tempat di mana dahulu ‘Ali bin Abi Thalib senantia menjaga Nabi; (2) Usthuwanah al-Wufûd, tempat di mana Nabi menerima para tamu, terutama delegasi dari berbagai kabilah dan negara; (3) Usthuwanah al-Taubah, tempat Abu Lubabah bertaubat, karena merasa sangat bersalah telah membantu Yahudi Bany Quraidzah yang telah berkhianat pada Rasulullah SAW.

Di luar Masjid Nabawi, lurus dengan Bâb as-Salâm, ada Sûqu an-Nabi (pasar Nabi), Saqîfah Banî Sa’âdah, tempat di mana Abu Bakar dibaiat menjadi kepala Negara Islam kedua, menggantikan Nabi. Masih banyak yang lain.

Ketika kita menyaksikan tempat-tempat bersejarah itu, semangat dan kesadaran politik kita akan bangkit. Karena kita sadar, bahwa Nabi dan generasi terbaik umat ini dahulu mendirikan Negara Islam dimulai dengan perjuangan yang luar biasa. Sejak merintis di Makkah hingga berdirinya negara itu di Madinah, Nabi dan para sahabat berjuang siang-malam. Bahkan, ketika negara itu telah berdiri, manusia-manusia paling mulia di muka bumi itu justru tidak pernah beristirahat. Tidak kurang 50 perang besar dan kecil mereka arungi dalam kurun 10 tahun. Maka, wajar jika hanya dalam waktu 9 tahun, seluruh Jazirah Arab telah berhasil mereka taklukkan.

Semua memori kita itu akan melecutkan semangat dan kesadaran yang membuncah dalam diri kita. Dengan begitu, ketika kita berhaji tidak saja mendapatkan haji mabrur, tetapi juga menjadi pribadi yang berbeda. Di dalam dirinya telah tertanam semangat, kesadaran dan tekad yang kuat untuk mengembalikan kejayaan Islam, sebagaimana yang dilakukan oleh baginda SAW dan para sahabat. Itulah makna politik ibadah haji yang seharusnya kita petik.


Sumber: https://www.facebook.com/har1924/posts/496870980473819

Jumat, 07 Februari 2014

H.M. Ismail Yusanto: Perubahan Besar Tak Melalui Jalan Demokrasi

Pengantar:
Tahun 2014 disebut-sebut sebagai ‘tahun politik’ karena Pemilu lima tahunan bakal digelar pada bulan ini. Rencananya, Pemilu Legislatif dilaksanakan tanggal 9 April pada tahun ini. Untuk itu, umat Islam tentu membutuhkan semacam ‘panduan’ bagaimana seharusnya menyikapi ‘pesta demokrasi’ lima tahunan ini, tentu dari sperpektif Islam.
Untuk membahas sejumlah persoalan terkait Pemilu ini, tentu dalam hubungannya dengan nasib umat Islam dan perubahan di negeri ini, serta bagaimana seharusnya umat bersikap, baik terhadap Pemilu maupun terhadap demokrasi itu sendiri, al-waie kembali mewawancarai Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), H.M. Ismail Yuanto. Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana pandangan HTI tentang partisipasi dalam Pemilu Legislatif mendatang?
Secara normatif, sikap Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sangat jelas. HTI di Indonesia sebagai bagian dari HT di seluruh dunia tengah berjuang untuk penerapan syariah Islam secara kaffah melalui penegakan  Khilafah. HTI  menginginkan di negeri ini bisa tegak syariah Islam, baik sebagai bagian dari Kekhilafahan atau mungkin justru menjadi pusat Kekhilafahan itu sendiri. Karena itu perjuangan ke arah sana harus terus dilakukan secara sungguh-sungguh.
HT  berjuang di Indonesia dengan segenap corak, rona dan dinamika kehidupan sosial politik ekonomi yang ada, termasuk menyangkut Pemilu 2014 yang tentu hasilnya akan membawa implikasi penting bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, khususnya terhadap dakwah Islam.
Pemilu mendatang adalah bagian dari sistem demokrasi untuk memilih anggota legislatif dan presiden. Pemilu sebagai bentuk wakâlah hukumnya mubah, tetapi tetap dengan catatan: untuk apa Pemilu tersebut diselenggarakan? Bila dalam kerangka dan untuk tegaknya syariah dan kepemimpinan Islam,  hukumnya boleh, dan demikian sebaliknya. Proses politik yang diselenggarakan untuk mengokohkan kerangka sistem politik sekular itu tidaklah sesuai dengan Islam, karena Islam mewajibkan penegakkan sistem Islam, yakni Khilafah yang di dalamnya diterapkan syariah Islam secara kaffah.
Apakah itu artinya HTI golput?
HTI tidak pernah menyatakan atau menganjurkan golput. HTI memberikan panduan sebagaimana secara ringkas dinyatakan di atas. Berdasar panduan tersebut, umat bisa bersikap. Individu berhak untuk enetapkan sikapnya dalam menghadapi Pemilu nanti. Sesuai dengan prinsip penyelenggaraan Pemilu yang bebas dan rahasia, orang lain tidak perlu tahu tentang pilihan sikap politik seperti apa yang (hendak) diambil oleh seseorang.
Dari semua Pilkada, angka golput selalu tinggi. Banyak pihak khawatir golput akan makin besar pada Pemilu nanti. Bagaimana menurut Ustadz?
Ada beberapa faktor yang menyebabkan golput berkembang. Berdasarkan faktor pemicunya, bolehlah kita sebut: Pertama, ‘golput teknis’, artinya orang tidak memilih lebih karena alasan teknis; misalnya TPS-nya jauh atau mungkin  lagi kurang enak badan, hujan deras dan sebagainya. Kedua, ‘golput psikologis’, yakni ketika seseorang merasa tidak perlu memilih karena tidak ada satu pun partai yang menyenangkan dirinya. Berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh kader dari berbagai partai membuat orang makin kecewa terhadap parpol yang ada. Karena itu kemudian ia tidak mau memilih. Ketiga, ‘golput ideologis’, yakni ketika seseorang tidak memilih karena alasan ideologi. Dalam pandangannya, tidak ada satu pun partai yang bersesuaian dengan ideologinya. Meski secara teknis bisa saja ia datang ke TPS, ia memutuskan tetap tidak memilih.
Berapa banyak masing-masing jenis golput itu, sejauh ini belum ada survey yang bisa menjelaskan fenomena ini. Namun apapun jenis golputnya, orang tidak bisa menyalahkan mereka yang memilih sikap ini. Kalau ada yang harus disalahkan tidak lain adalah parpol dan kader partai yang telah banyak mengecewakan publik karena kinerjanya yang jauh dari harapan baik karena perilaku yang korup maupun karena buruknya peraturan perundangan serta kebijakan yang dihasilkan ketika yang bersangkutan duduk sebagai pejabat publik.
Soal fatwa golput haram?
Pada intinya, dalam fatwa itu dinyatakan: Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama, sedangkan imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.
Benar, kepemimpinan adalah perkara yang sangat penting dalam Islam.   Dengan adanya seorang pemimpin, kepemimpinan (imamah) dan pengaturan (imarah) masyarakat agar tercipta kemaslahatan bersama dapat diwujudkan. Oleh karena itu, benar pula bahwa memilih pemimpin dalam Islam yang memenuhi syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama (Islam) dan memperjuangkan kepentingan umat Islam, agar terwujud kemaslahatan bersama dalam masyarakat adalah sebuah kewajiban. Namun, kewajiban yang dimaksud di sini adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah); bila kepemimpinan yang islami telah terwujud maka kewajiban itu bagi yang lainnya telah gugur.
Benar pula, memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan adalah haram. Namun, harus dikatakan, meski secara personal pemimpin tersebut telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan, sebagai pemimpin ia wajib memimpin semata-mata berdasarkan syariah Islam saja, karena kemaslahatan bersama yang dimaksud hanya akan benar-benar terwujud bila pemimpin mengatur masyarakat dengan syariah Islam. Tanpa syariah Islam, yang terjadi bukan kemaslahatan, tetapi mafsadat atau kerusakan seperti yang terjadi sekarang ini.  Perlu diingatkan, bahwa telah ditetapkan melalui fatwa MUI sebelumnya bahwa sekularisme hukumnya haram. Karena itu memimpin berdasarkan sekularisme juga  harus dinyatakan haram. Jadi, memilih pemimpin yang akan memimpin dengan sekularisme atau menolak syariah Islam demi mempertahankan sekularisme juga seharusnya dinyatakan haram.
Adapun ketetapan bahwa tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram,  tidaklah tepat, karena kewajiban memilih pemimpin adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah), bukan kewajiban perorangan (fardhu ain). Itu pun dengan catatan, jika pemimpin yang dipilih atau diangkat tersebut adalah pemimpin yang benar-benar akan menjalankan syariah Islam.
Tentu, bagi siapa saja yang akan turut memilih pemimpin, wajib ia memilih pemimpin yang memenuhi kriteria agama (Islam), dan yang dipastikan akan memimpin berdasarkan syariah Islam semata. Karena itu anjuran untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar, tidaklah tepat. Mestinya, bukan dianjurkan, tetapi diwajibkan.
Hukum memilih memilih pemimpin tidak sama dengan memilih wakil rakyat. Hukum memilih pemimpin yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar melalui penerapan syariah Islam secara kaffah adalah fardhu kifayah. Adapun memilih wakil rakyat yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar adalah mubah; hukumnya mengikuti hukum wakalah (perwakilan) saat seseorang boleh memilih, boleh juga tidak. Karena itu, bagi umat Islam yang akan memilih wakilnya mestinya juga bukan sekadar dianjurkan, tetapi diwajibkan untuk memilih yang akan benar-benar mampu mengemban amar makruf nahi mungkar. Sebaliknya, mestinya harus dinyatakan pula bahwa memilih wakil rakyat yang sekular dan tidak mengemban amar makruf nahi mungkar hukumnya haram.
Ada yang mengatakan, Pemilu dan demokrasi adalah jalan dan mekanisme politik yang ada saat ini. Jika mau memperbaiki  masyarakat, ya ikut mekanisme itu. Jika tidak berpartisipasi, itu cerminan sikap tak bertanggung jawab?
Kita memang harus ambil bagian dalam memperbaiki masyarakat. Kita tidak boleh tinggal diam. Persoalannya, apa yang harus diperbaiki dan bagaimana caranya? Kalau kita menelaah sungguh-sungguh, penyebab utama dari timbulnya kerusakan di seluruh sendi kehidupan masyarakat adalah sistem dan ideologi sekularisme-kapitalisme, selain pemimpin yang tidak amanah. Oleh karena itu, harus ada usaha keras untuk menghentikan sistem dan ideologi itu. Nah, HT tengah berjuang ke arah sana melalui cara yang berbeda dengan mekanisme politik yang sudah dikenal selama ini. Jadi, tidak bisalah, hanya karena memilih jalan berbeda lantas  orang mengatakan HT sebagai tidak bertanggung jawab.
Bagaimana dengan pendapat bahwa kalau orang Islam tidak mau berpartisipasi dalam Pemilu, nanti kekuasaan dan kepemimpinan akan dipegang oleh orang sekular, bahkan orang kafir?
Pernyataan tadi adalah pernyataan hipotetis, yang tidak pernah menemukan faktanya. Faktanya, tetap saja banyak orang Islam masuk ke sana. Memang akan bagus bila yang masuk ke sana adalah Muslim yang baik. Namun, masuknya seorang Muslim yang bertakwa di parlemen dalam sistem demokrasi sekular ini hanya akan berguna dalam satu kondisi, yakni ketika mereka menjadikan parlemen sebagai mimbar dakwah dalam rangka melakukan perubahan mendasar (taghyir), menghentikan sistem sekular dan menggantinya dengan sistem Islam; mengoreksi penguasa; menjelaskan kebobrokan sistem sekular itu; sekaligus menyadarkan umat akan kewajiban untuk terikat pada ajaran Islam dan selalu berjuang melakukan amar makruf nahi mungkar.
Bila itu tidak dilakukan, keberadaan mereka di parlemen justru bisa menimbulkan bahaya besar, antara lain:  akan digunakan oleh pemerintah yang sedang berkuasa dan partai-partai sekular sebagai justifikasi untuk melawan umat Islam yang tengah berusaha melakukan perubahan mendasar (taghyir), bahwa yang di parlemen juga Muslim, dan faktanya juga terlibat dan rela terhadap sistem yang ada. Jika para wakil rakyat yang duduk di parlemen itu bisa melakukan perbaikan parsial, pada dasarnya itu merupakan salah satu bentuk tambal-sulam terhadap baju tua, yang sebenarnya wajib diganti semuanya. Tambal-sulam hanya akan memperpanjang usia sistem yang rusak; akan  memalingkan perasaan umat sehingga justru malah tidak terdorong untuk melakukan perubahan mendasar dengan cepat.
Kalau tidak lewat Pemilu atau demokrasi, adakah jalan lain untuk memperbaiki masyarakat?
Ada. Melalui jalan dakwah politis, seperti yang tengah dilakukan oleh HTI saat ini.
Bukankah demokrasi dan Pemilu jalan yang paling aman, damai dan memungkinkan?
Banyak orang lupa, perubahan politik terjadi tidak melulu melalui Pemilu. Bahkan bisa dibilang, semua perubahan politik besar justru terjadi bukan melalui jalan Pemilu. Lihatlah bagaimana pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru, begitu juga berakhirnya rezim Orde Baru oleh gerakan reformasi. Semua terjadi bukan melalui Pemilu. Perubahan besar di Timur Tengah juga terjadi bukan melalui pemilu. Oleh karena itu, sungguh aneh kalau orang memutlakkan Pemilu sebagai jalan perubahan untuk mencapai cita-cita politik.
Apalagi dalam kenyataannya, dalam konteks cita-cita politik Islam, Pemilu tidak pernah memberikan kesempatan kepada kekuatan politik Islam untuk benar-benar meraih tujuan politik islaminya. Lihatlah apa yang terjadi di Aljazair, begitu juga di Palestina, Turki dan yang terakhir di Mesir saat Presiden Muhammad Mursi yang meraih jabatan itu melalui Pemilu kemudian secara keji dikudeta oleh pihak militer dengan dukungan negara Barat. Bukan hanya mengkudeta Mursi, militer Mesir juga (bakal) membubarkan Ikhwanul Muslimin setelah sebelumnya membantai ribuan pendukung Mursi. Peristiwa ini seolah mengulangi apa yang sebelumnya terjadi pada FIS di Aljazair dan Erbakan di Turki. Keduanya memenangi Pemilu, bahkan Erbakan sempat menjabat sebagai Perdana Menteri Turki selama 2 tahun sebelum akhirnya dihentikan oleh militer. Di Aljazair, hasil Pemilu yang dimenangi oleh FIS dibatalkan, bahkan kemudian FIS menjadi partai terlarang dan lebih dari 30 ribu anggotanya, termasuk Ali Belhaj dan Abbas Madani—dua tokoh utama FIS—dipenjara.
Artinya, Pemilu dalam sistem demokrasi hanya memberikan jalan bagi kekuatan politik Islam untuk meraih tujuan politiknya, termasuk dalam melahirkan peraturan perundangan dan kebijakan publik, sepanjang hal itu tidak membahayakan kepentingan Barat dan keberlangsungan sistem sekularisme. Sekali muncul kekuatan politik Islam yang berhasil meraih kekuasaan, yang dengan kekuasaan itu bakal menegakkan Islam yang sebenarnya, seperti FIS yang memang telah menyiapkan konstitusi baru bagi Aljazair yang sepenuhnya berdasar Islam, atau dikhawatirkan condong pada Islam seperti Erbakan di Turki atau Mursi di Mesir, negara Barat tak segan akan menghentikan kekuatan politik itu dengan segala cara (at all cost). Karena itu, bagaimana kita masih saja terus percaya pada jalan ini, dan menggantungkan masa depan cita-cita politik kita padanya?
Lalu bagaimana jalan islami agar Islam bisa sampai ke tampuk kekuasaan?
Melalui dakwah politik sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw. Dimulai dari tahap pembinaan dan pengkaderan (marhalah tatsqif wa takwin),  interaksi dengan umat (tafa’ul ma’a al-ummah) dan tahap istilam al-hukmi (penyerahterimaan kekuasaan) melalui dukungan ahlun-nushrah. Dari tahap pembinaan dan pengkaderan lahir kader dakwah yang ber-syakhsiyyah Islam dan pengembangan tubuh jamaah. Dari interaksi dengan umat melalui berbagai kegiatan seperti yang selama ini dilakukan, ide-ide Islam berkembang dan menjadi opini publik.  Pada saat yang sama, dilakukan kontak dengan the influenzial people (ashabul fa’aliyat) serta ahlul-quwwah baik dari kalangan penguasa maupun pemimpin militer sedemikian sehingga mereka paham, bersetuju dan mendukung bahkan memberikan nushrah atau pertolongan pada dakwah sehingga tercapai tujuan politik, yakni tegaknya syariah dan Khilafah. []

http://hizbut-tahrir.or.id/2014/02/04/h-m-ismail-yusanto-perubahan-besar-tak-melalui-jalan-demokrasi/

Senin, 27 Januari 2014


Sistem ini semakin membuatku muak, 
seorang ibu tua harus rela menjual barang dagangannya dengan harga murah,
karena persaingan yang semakin 'tak manusiawai dan ku yakin harga itu 'tak mampu memberi laba yang banyak untuk mencukupi kehidupan keluarganya...
Seorang laki-laki tua dengan kakinya yang lemah dan terlihat gemetar tiap hari harus menyusuri jalan setapak itu untuk menjajakan kue camilan pada setiap orang yang ditemuinya... 
meski ku tau, kalaupun semuanya laku terjual, mungkin penghasilan bapak tua itu sama dengan uang jajan buat bensin motor kita...

Yaa Allah...
betapa sesak dada ini, aku semakin benci dengan kedzoliman ini..
Mayoritas muslimah mengumbar aurat, mengundang syetan, merayu laki-laki untuk berbuat keji, mendatangkan murka Alllah, melunturkan hafalan, mengikis aqidah dan iman, menghapus rasa malu dan takut kepada Allah..
 
Aku semakin jijik hidup pada masa seperti ini, marah dan geram..
dimana seorang bapak tega menzinai putri kandungnya hingga kemaluannya membusuk dan mengalami koma, dan akhirnya meninggal...
bahkan ada juga sampai punya anak dengan anak kandungnya sendri...
seseorang yang mau nikah dengan kuda dan berharap punya anak darinya...
seseorang yang mau menikah dengan anjing karena alasan 'tak akan sakit hati soalnya kalau manusia bisanya mengkhianati..
na'udzubillah...
Kehidupan apa ini...??!!..
Inikah yang diagung-agungkan demokrasi..?!!
yang mengatasnamakan HAM yang akhirnya menepis alkan adanya Tuhan dalam mengatur kehidupan..?!!
tidakkah mereka lupa bahwa mereka diciptakan hanya dari setets air mani yang hina dan najis..!!??
tapi ketika mereka menjadi manusia mereka menjadi PENENTANG YANG NYATA... (QS. Yaasin: 77)

Aku amat benci dengan sistem, ini yang hingga detik ini banyak umat yang belum sadar bahwa mereka hanyalah seorang HAMBA, yang seharusnya tau kedudukannya HANYA untuk MENGABDI pada Robbnya yang telah menciptakan mereka tanpa keberatan hati sedikitpun apapun resiko yang harus diterima..
mereka lupa akan jati dirinya sabagai seorang HAMBA...
Namun jauh lebih dari itu, RahmatMu lebih terpampang indah, kamipun 'tak mampu menyadarinya dan 'tak mampu menerawanginya, karena DUNIA yang masih begitu berat kami tinggal... Astzghfirullah...
Sampai kapankah kami seperti ini..!!??
Sampai Engkau mengganti dengan kaum lain, yang mereka jauh lebih taat dan mencintaiMu dengan tulus..?!? Na'udzubillah...

Sebuah seruan yang harus mereka dengar: "...Wahai siapapun engkau yang mengaku HAMBA Allah, bukalah mata dan hatimu, dengarlah kalimat dan ayat-ayat Rabbmu melalui Islam ini..."
Dengarkan azam ini yaa Robbi... bahwa mulai detik ini kami serahkan hidup dan mati kami hanya untuk Mu..
Yaa Rabb.. selamatkan kami dari segala virus dan nafsu sesat yang dapat membawa keluar dari syariahMu.. jadikan kami menjadi salah satu PEJUANG yang ditangan kami khilafah tegak, mudahkan kami tercapainya RidhaMu, bukan ditangan umat yang lain...
Perlombaan untuk meraih cintam Mu, bukan meraih perlombaan untuk kebahagiaan dunia yang fana..
Teguhkanlah para PEJUANG_Mu yaa Rabb..
Allahumma Aamiin yaa mujibassailiin...

~Muslimah~

Minggu, 05 Januari 2014

 بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Yaa Aziz...
Jika cinta adalah pengorbanan,
tumbuhkan niat dari semua pengorbanan hamba semata-mata tulus untuk-Mu,
agar hamba ikhlas menerima apapun keputusan-Mu..

Yaa Robbi...
Jika rindu adalah rasa sakit yang tidak menemukan muaranya,
penuhilah rasa sakit hamba dengan rindu kepada-Mu,
dan jadikan kematian hamba sebagai muara pertemuan hamba dengan-Mu..

Yaa Robb...
Jika sayang adalah sesuatu yang mengindahkan,
ikatlah hamba dengan keindahan-mu,
agar damai senantiasa hamba rasakan saat terucap syukur hamba atas ni'mat dari-Mu dan dalam ketaatan ini kepada-Mu..

Yaa Allah...
Jika kasih adalah kebahagiaan yang tiada ujungnya,
tumbuhkan kebahagiaan dalam qalbu hamba disaat hamba persembahkan yang terbaik untuk-Mu..

Yaa Allah...
Qalbu hamba hanya cukup untuk satu cinta,
jika hamba tiada dapat mengisinya dengan cinta kepada-Mu,
kemanakah wajah hamba hendak hamba sembunyikan dari-Mu...??!!!

Yaa Kariem...
Dunia yeng Engkau bentangkan begitu luas,
bagai belantara yang tiada dapat hamba tembus,.
Maka sinarilah dengan secercah nur-Mu yang agung di malam yang gelap gulita,
agar hamba tiada tersesat dalam menapakinya..

Yaa Ghofur...
Berikan alas kaki buat hamba agar jalan yang hamba tapaki terasa ni'mat meski penuh dengan bebatuan dan duri-duri tajam.
Hamba tau semua ini  hanyalah milik-Mu,
suatu saat jika Engkau kehendaki semuanya akan kembali jua kepada-Mu..

Hamba pasrahkan semuanya kepada-Mu..
Yaa Ilahi...
ketika hati menangis,
hanya Engkau saja yang tahu.
Yaa Robbana...
Ketika cinta melalui dien-Mu ini tiada mampu tersampaikan pada umat ini,
ampuni mereka Yaa Robb, sebab tiadalah mereka paham betapa agungnya dien-Mu,
ampuni hamba yaa ilahi, tiada tampakkan indah dien-Mu,
sehingga mereka enggan mengambil hukum-Mu..
Astaghfirullah...

Yaa Robbana...
Yaa Rohman Ar-Rohiim yang tiada terkira..
Syukur hamba melangitpun tak tercapai,
ampuni hamba yang terkadang lalai pada-Mu, dalam setiap kewajiban dan amanah-Mu..

Yaa Robb...
diwaktu-waktu yang mulia ini,
hamba yang lemah dan ringkih ini benar-benar memohon pada-Mu,
teguhkan dan muliakanlah kami selalu di jalan-Mu Yaa Robb...
Ampuni segala khilaf dan dosa hamba.
Astaghfirullahal'adziim..
Sehingga surga sebagai tempat muara kami kembali. Faghfirlii yaa robbna...
Allahumma aamiin...


By: Muslimah_05012014

Rabu, 01 Januari 2014

Penghancur Agama




Hancurnya agama Anda, kata Syaikh Abdul Qadir Jailani, adalah karena 4 hal: (1) Anda tidak mengamalkan apa yang Anda ketahui; (2) Anda mengamalkan apa yang Anda tidak ketahui; (3) Anda tidak mencari tahu apa yang Anda tidak ketahui; (4) Anda menolak orang yang mengajari Anda apa yang tidak Anda ketahui (Jailani, Al-Fath ar-Rabbani wa Faydh ar-Rahmani, hlm. 43. Beirut: 1998).
1.   Tidak mengamalkan apa yang diketahui.
Allah Swt. telah mencela orang yang banyak tahu agama, bahkan banyak ngomong masalah agama, tetapi tidak melaksanakan apa yang dia ketahui dan sering dia diomongkan: Sungguh besar kebencian Allah karena kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan (TQS ash-Shaff [61]: 3).
Lebih dari itu, banyak tahu agama tetapi tidak mengamalkannya adalah sia-sia. Sebabnya, Allah Swt. menilai seseorang bukan dari ilmunya (yang banyak), tetapi dari amalnya: (Dialah Allah) Yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji manusia, siapa yang terbaik amalnya (TQS al-Mulk [67]: 2).
Dalam ayat ini, Allah menggunakan frasa ahsanu-’amala (amal terbaik), bukan aktsaru-’ilma (ilmu terbanyak). Maknanya, sebagaimana kata Nabi saw., “Selalu waspada (wara’) terhadap larangan-larangan Allah dan senantiasa bersegera menjalankan ketaatan kepada-Nya.” (Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, XVIII/207).
Karena itu, sangat disayangkan jika orang banyak tahu agama tetapi sedikit mengamalkan agamanya. Misal: Masih banyak Muslim yang tahu bahwa shalat, shaum dan zakat itu wajib, namun mereka tidak melaksanakannya. Banyak Muslimah yang tahu menutup aurat/berjilbab itu wajib, tetapi enggan melakukannya. Banyak pejabat, pegawai pemerintah, polisi, jaksa, hakim dll yang tahu suap dan korupsi itu haram/dosa, namun mereka tetap melakukannya. Banyak Muslim yang tahu bahwa menegakkan syariah Islam itu wajib, tetapi tidak berusaha memperjuangkannya, seolah-olah itu bukan urusannya. Banyak ulama yang tahu menegakkan Khilafah itu wajib. Mereka pun tahu kewajiban menegakkan Khilafah itu merupakan Ijmak Sahabat dan ijmak para ulama salafush-shalih. Namun, alih-alih berusaha menegakkannya, bahkan ada yang menganggap upaya tersebut tidak relevan untuk saat ini, ’memecah-belah’, ’mengancam’ NKRI, dll. Banyak tokoh kiai yang tahu bahwa riba itu haram tetapi tidak pernah mencegah Pemerintah yang nyata-nyata berutang ke luar negeri dengan bunga (riba) yang sangat ’mencekik’. Banyak pula aktivis dakwah yang tahu menjaga amanah dan memelihara akad itu wajib, tetapi sering melalaikan dan mengabaikannya.
2.   Mengamalkan apa yang tidak diketahui.
Tidak sedikit orang yang awam agama melakukan banyak hal yang dia sendiri tidak tahu status hukumnya; apakah halal atau haram. Misal: Tidak sedikit Muslim berbisnis saham/valas, melakukan transaksi kredit barang lewat lembaga leasing seperti menjamur saat ini, terlibat dalam bisnis asuransi, menjadi staf keuangan bank berbasis riba, mengadu untung dalam kuis via sms, dll. Tidak sedikit Muslim/Muslimah yang memandang baik profesi sebagai artis (penyanyi, penari, pemain film/sinetron dll)—yang biasanya akrab dengan atraksi membuka aurat, berkhalwat dan ber-ikhtilat, serta ragam maksiat lainnya; bahkan mereka berlomba-lomba meraihnya. Tidak sedikit pula Muslim yang memandang mulia demokrasi dan HAM, mempraktikkannya, bahkan bangga menjadi pejuangnya. Semua itu mereka lakukan karena mungkin tidak tahu keharamannya. Padahal Rasulullah saw.  telah bersabda (yang artinya), “Siapa saja yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka tertolak (haram, pen.).” (HR Muslim).
3.   Tidak mencari tahu apa yang tidak diketahuinya.
Banyak Muslim/Muslimah yang sadar dirinya awam dalam agama, tetapi tidak terdorong untuk mempelajari dan mendalami agama (taffaquh fi ad-din). Mereka seolah enjoy dengan kebodohannya dalam agama. Tidak sedikit pula hal ini melanda para aktivis dakwah. Misal: tidak sedikit aktivis dakwah yang malas belajar bahasa Arab, padahal mereka tahu mempelajarinya sangat urgen dalam upaya memahami agama demi bekal dakwah mereka; bahkan mereka tahu di antara faktor kemunduran umat adalah karena diabaikannya bahasa Arab.
4.   Menolak orang yang mengajari apa yang tidak diketahuinya.
Tidak sedikit Muslim yang—karena kesombongannya—menolak ketika orang lain mengajari (baca: mendakwahi)-nya. Padahal Rasulullah saw. telah bersabda (yang artinya), “Sombong itu menolak kebenaran.” (HR Muslim dan Abu Dawud).
Tidak sedikit pula yang enggan belajar kepada orang lain hanya karena orang lain itu lebih muda, karena lebih rendah tingkat pendidikan formalnya, karena dari kelompok/mazhab/harakah/partai yang berbeda, atau karena faktor-faktor lain.
******
Keempat hal di atas memang telah menghancurkan agama pada diri seorang Muslim ataupun di tengah-tengah masyarakat.
Akibatnya nyata: Hukum-hukum Allah dicampakkan dan dijauhkan. Hukum-hukum thaghut diterapkan dan dilestarikan. Kewajiban-kewajiban agama banyak ditinggalkan. Larangan-larangannya sering dilakukan dan bahkan jadi kebiasaan. Yang halal disembunyikan. Yang haram ditonjolkan. Yang sunnah enggan diamalkan. Yang bid’ah malah dibesar-besarkan. Adat menjadi ibadat. Ibadat bercampur dengan khurafat dan maksiat.
Demikianlah, akhirnya Islam sekadar sebutan; al-Quran sekadar jadi bacaan; as-Sunnah pun terlupakan.
Saat itu, sebagaimana isyarat Nabi saw., Islam kembali menjadi sesuatu yang asing, persis sebagaimana awal kedatangannya. Sabda Nabi saw. “Islam mulanya datang sebagai sesuatu yang asing dan nanti akan kembali dianggap asing. Berbahagialah orang-orang yang dipandang asing, yakni mereka yang selalu melakukan perbaikan-perbaikan di tengah-tengah masyarakat yang berlomba-lomba melakukan kerusakan-kerusakan.” (HR Ahmad). 
Wama tawfiqi illa billah. 

By: Ustdz. Arief B. Iskandar

Pidato Penaklukan Constantinople…محمد الفاتح


Wahai tentara sekalian…
itu Konstantin di hadapan kalian
Allah memberi kita taufik ntuk menyiapkan bekal dan kekuatan…
kita memiliki senjata baru…
meriam-meriam yang belum ada sebelumnya
Aku wasiatkan kalian untuk taqwa kepada Allah..
dan ku nasehatkan untuk selalu bersabar
dan jangan melangkah sekalipun
kecuali kalian selalu ingat Allah
Kita berperang untuk meninggikan kalimat Allah
bukan karena ghonimah atau harta…
dan yang paling ku khawatirkan ialah dosa-dosa kalian
lalu ia menyerang kalian hingga tekad kalian lemah
dan melemahkan kekuatan kalian…
Bertaubatlah kalian…pasti Allah membantu…
Wahai tentara…kita sudah mencapai pantai Selatan
dan insyaallah sekarang yang setelahnya…
berjalanlah di negeri yang telah Allah janjikan…
untuk diwariskan kepada kalian…
dan aku berharap kabar gembira nabi adalah bagian kita…
Yaa Allah…
Bukakanlah Konstantin dengan tangan kami…
dan bantulah kami dengan pertolonganMu yaa Kariim
Yaa Allah kabulkanlah doa kami…


_________________________________________________________
“Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan” [H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad 4/335]
Bisyaroh Rasulullah yang memberikan semangat pada sahabat untuk berjuang mewujudkannya. Hingga akhirnya penantian selama 800 tahun lebih itupun terwujud. Sosok muhammad Al Faith yang telah mewujudkan bisyaroh itu, perjuangan yang memakan waktu 54 hari perang berbuah hasil, dan pada tanggal 29 mei 1453 Konstantinopel berhasil dibebaskan oleh kaum muslimin dan hidup sejahtera dalam naungan Daulah Khilafah…