بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Rabu, 28 Agustus 2013

Dunia Hanyalah Persinggahan (Al-Arba’un an-Nawawiyah, Hadis ke-40)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ – رضى الله عنهما – قَالَ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – بِمَنْكِبِى فَقَالَ « كُنْ فِى الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ، أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ » . وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُولُ إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
Dari Abdullah bin Umar ra., ia berkata, Rasulullah saw memegang kedua bahuku dan bersabda, ‘Jadilah kamu di dunia seolah-olah orang asing atau orang yang lewat.’  Ibn Umar berkata, ‘Jika engkau ada pada waktu sore maka jangan menunggu pagi hari.  Jika engkau ada pada waktu pagi maka jangan menuunggu sore hari.  Manfaatkanlah sehatmu sebelum sakitmu dan manfaatkanlah hidupmu untuk bekal matimu (HR al-Bukhari, Ibn Hibban dan al-Baihaqi).


Dalam riwayat lainnya, Ibn Umar ra., berkata: Rasulullah saw. memegang kedua bahuku dan bersabda:
« كُنْ فِى الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ وَعُدَّ نَفْسَكَ فِى أَهْلِ الْقُبُورِ ».
Jadilah kamu di dunia seolah-olah orang asing atau orang lewat dan hitunglah dirimu termasuk penghuni kubur (HR Ahmad, at-Tirmidzi, Ibn Majah, ath-Thabarani dan al-Baihaqi).

Dalam hadis ini, Rasulullah saw. memberikan pelajaran agung. Beliau mencontohkan bagaimana menyampaikan nasihat sehingga tertanam dan diingat oleh orang yang diajar atau diberi nasihat. Sebelum menyampaikan nasihat, Rasul saw. memegang bahu Ibn Umar ra. yang akan diberi nasihat.  Hal itu menarik perhatian dan antusiasme Ibn Umar atau orang yang diberi nasihat dan membuat kondisi orang itu siap menerima nasihat. Cara itu juga menunjukkan kedekatan dan memberi pesan bahwa nasihat yang akan diberikan adalah penting serta didasari oleh niat baik dan ketulusan.  Dengan cara itu nasihat yang disampaikan akan bisa membekas, tertanam kuat dan mempengaruhi perilaku.
Nasihat yang disampaikan oleh Rasul saw. merupakan pelajaran yang agung bagaimana menyikapi dunia.  Siapa saja yang mengambil nasihat itu tidak akan tertipu dan terpedaya oleh dunia.
Rasul saw. berpesan agar seorang Mukmin menganggap dirinya di dunia ini seperti orang asing atau orang yang lewat saja. Orang asing itu tidak memiliki tempat tinggal. Negeri tempat ia berada bukanlah kampung halamannya. Negeri itu hanya tempat ia menyelesaikan keperluannya untuk kemudian kembali ke kampung halamannya.  Begitu pula orang yang lewat. Dia akan terus berjalan meski kadang singgah sebentar untuk sekadar berteduh atau mencari bekal, lalu melanjutkan perjalanan menuju tempat tujuannya.  Jadi dunia ini bagi seorang Mukmin adalah tempat asing atau persinggahan saja.  Tempat tujuan atau kampung halaman bagi seorang Mukmin adalah akhirat yakni surga. Rasul saw. menegaskan:
« مَا لِى وَلِلدُّنْيَا إِنَّمَا مَثَلِى وَمَثَلُ الدُّنْيَا كَمَثَلِ رَاكِبٍ قَالَ فِى ظِلِّ شَجَرَةٍ فِى يَوْمٍ صَائِفٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا »
Tidak ada untukku dan untuk dunia ini, sesungguhnya permisalan aku dan dunia itu hanyalah seperti orang yang berkendaraan menempuh perjalanan, lalu ia bernaung di bawah pohon pada hari yang panas, lalu ia beristirahat sejenak, kemudian meninggalkan pohon itu (HR Ahmad, al-Hakim, Abu Ya’la dan Ibn Abi Syaibah).

Ibn Hajar al-Ashqalani menyatakan dalam Fath al-Bârî:

Dalam hal itu ada isyarat untuk mengutamakan zuhud di dunia dan mengambil dunia secukupnya saja. Layaknya seorang musafir, ia tidak memerlukan lebih dari apa yang dia butuhkan sampai ke tujuan perjalanannya. Demikianlah seorang Mukmin di dunia ini; ia tidak memerlukan lebih dari apa yang mengantarkan dirinya sampai ke tujuan (akhriat).
Yang lain berkata, hadis ini merupakan pokok dalam mendorong untuk bersikap lapang dari dunia, zuhud di dunia, menganggap rendah dunia dan qana’ah di dunia dengan sekadar atau secukupnya saja.
An-Nawawi berkata, makna hadis terebut: janganlah cenderung pada dunia; jangan menjadikan dunia sebagai kampung halaman; jangan bisiki dirimu untuk tetap di dunia; jangan terkait hatimu dengan dunia, sebagaimana seorang asing tidak terkait hatinya dengan sesuatu selain yang ada di kampung halamannya.
Yang lain berkata, ‘âbir as-sabîl adalah orang yang lewat di jalan menuju kampung halamannya. Seseorang di dunia itu seperti seorang hamba yang diutus tuannya dalam satu keperluan ke negeri lain. Ia akan segera melakukan apa yang mesti ia lakukan di situ, lalu segera kembali ke kampung halamannya dan tidak terkait dengan apa pun di situ.
Yang lain berkata, yang dimaksud adalah agar seorang Mukmin mendudukkan dirinya di dunia sebagai orang asing sehingga tidak terkait dengan apa pun di negeri asing. Hatinya hanya terkait dengan kampung halaman tempat ia kembali. Ia menjadikan keberadaan dirinya di dunia sekadar untuk menyelesaikan keperluannya dan menyiapkan kepulangannya ke kampung halamannya.  Begitulah orang asing.
Pemisalan lain, ia hendaknya seperti musafir. Ia tidak diam di tempat itu, tetapi terus berjalan ke negeri tempat tinggalnya.
Adapun ucapan Ibn Umar ra. adalah pesan bahwa sakit, miskin dan kematian akan menghalangi orang dari beramal.  Sakit, miskin dan kematian itu bisa datang kapan saja. Karena itu, hendaknya setiap orang tidak menunda-nunda untuk beramal ketika ia sehat, tidak miskin, dan masih hidup.
Ibn al-Mubarak dalam Az-Zuhd dan Ibn Abi ad-Dunya dalam Mushannaf-nya menyebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Sesungguhnya dunia itu berjalan pergi. Sesungguhnya akhirat itu berjalan mendekat. Masing-masing memiliki anak-anak. Karena itu, jadilah kalian anak-anak akhirat, dan jangan menjadi anak-anak dunia.  Sesungguhnya hari ini adalah hari amal dan tidak ada hisab, sementara esok adalah hari penghisaban dan tidak ada lagi amal.”
Sungguh, dunia ini bukanlah tempat mengumpulkan kekayaan, mencari kemegahan, mengejar prestise dan menikmati segala bentuk kesenangan.  Dunia ini hanya tempat mencari bekal menuju akhirat.  Dunia hanyalah tempat bercocok tanam, yang hasilnya dipanen di akhirat. Karena itu, hendaknya setiap kita hanya menanami dunia dengan amal-amal shalih agar kita menuai hasil keridhaan Allah dan surga di akhirat.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb.
http://hizbut-tahrir.or.id/2013/08/27/dunia-hanyalah-persinggahan-al-arbaun-an-nawawiyah-hadis-ke-40/

Sabtu, 10 Agustus 2013

Idul Fitri: Momentum untuk Kembali ke Ketaatan Sejati


Orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka segera mengingat Allah lalu memohon ampunan atas dosa-dosa mereka;  siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui (TQS Ali Imran [3]: 135).

Seusai shaum Ramadhan, disyariatkan Hari Raya Idul Fitri sebagai hari penuh kegembiraan.  Wajarlah kaum Mukmin merasa gembira pada saat hari raya tersebut. Namun, kegembiraannya bukanlah karena pesta dan hiburan; bukan pula karena telah bebas dari kungkungan puasa. Sebab, kebahagian seperti itu merupakan kebahagiaan yang lahir dari keterpaksaan, atau setidaknya, bahagia jauh dari kewajiban. Kebahagiaan yang ada adalah kebahagiaan karena telah berhasil menunaikan salah satu kewajiban dan kesiapan untuk menunaikan kewajiban-kewajiban berikutnya. Kebahagiaan tersebut lahir dari:
Pertama, harapan akan bertemu dengan Allah Swt. penuh rasa senang, gembira, dan bahagia.  Puasa yang telah dijalaninya dengan baik akan mengantarkannya untuk memperoleh kebahagiaan tersebut, bukan kebahagiaan sehari saat Idul Fitri semata, melainkan kebahagiaan hakiki di akhirat kelak.  Kebahagiaan demikian dilandasi oleh sabda Rasulullah saw.:

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ
Bagi orang yang puasa ada dua kebahagiaan yang membahagiakannya. Ketika berbuka (termasuk berbuka pada saat Idul Fitri, pen.) ia bahagia dan ketika ia bertemu dengan Rabb-nya ia pun bahagia karena puasanya itu (HR al-Bukhari).

Kedua, kebahagiaan akan ampunan dari Allah Swt. yang diberikan kepadanya.  Shaum dan qiyâmul lail yang telah ia lakukan penuh kesungguhan diyakini akan menjadi wasilah diampuninya dosa.  Allah Swt. berjanji untuk memberikan ampunan tersebut. Rasulullah saw. menegaskan:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Siapa saja yang mendirikan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap (balasan Allah Swt.) niscaya diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu (HR al-Bukhari).

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فَرَضَ صِيَامَ رَمَضَانَ وَسَنَنْتُ قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ احْتِسَابًا خَرَجَ مِنَ الذُّنُوبِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah mewajibkan shaum Ramadhan dan aku telah mensunnahkan salat malamnya (tarawih). Karena itu, siapa saja yang shaum Ramadhan dan melaksanakan qiyâm Ramadhan dengan mengharap (ridha Allah SWT) niscaya ia akan keluar dari dosa-dosanya laksana hari ia dilahirkan ibunya (HR Ahmad).
Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS al-Baqarah [2]: 183).
Ayat ini menegaskan bahwa orang yang menunaikan puasa dengan benar sejatinya menjadi orang yang bertakwa, yakni orang yang memelihara dirinya dari kemaksiatan. Sebab, puasa itu mematahkan syahwat sebagai pangkal kemaksiatan (Lihat: Tafsîr Jalalayn).  Karenanya, kata Imam al-Qurthubi, dalam tafsirnya, puasa menyebabkan ketakwaan.
Berdasarkan hal tersebut maka Idul Fitri atau Lebaran tersebut harus dipandang sebagai kelahiran kembali orang-orang yang mendapatkan ampunan dari Allah Swt. dan menjelma menjadi orang bertakwa. Lebaran bukanlah akhir dari ketaatan, melainkan awal dari ketakwaan baru. Karenanya, Lebaran akan bermakna hanya jika setiap Muslim menampakkan ketakwaan tersebut dalam aktivitas sehari-hari. Di antara aktivitas yang lahir dari ketakwaan dan akan menjadikan Idul Fitri bermakna tersebut adalah:
  1. Lebih taat kepada Allah Swt. setelah Ramadhan.
  2. Memelihara amalan-amalan rutin Ramadhan. Shaum, shalat, zikir, sedekah, membaca dan mengkaji al-Quran, shalat berjamaah, istighfar, bangun malam, memperbanyak amalan sunat, dan aktivitas lain yang selama ini dilakukan pada bulan Ramadhan dilakukan pula di luar Ramadlan. Semangat untuk taat pada bulan Ramadhan tetap dikobarkan setelah itu. Karenanya, semangat dalam mencegah diri dari perbuatan maksiat anggota tubuh (mata, telinga, lisan, tangan, kaki) serta akal dan hati, keikhlasan, kesabaran, keistiqamahan, semangat jihad fi sabîlillâh, dan semangat dakwah akan terus menyala bahkan nyalanya lebih besar lagi sejak Lebaran.
  3. Lebih meningkatkan silaturahmi dan ukhuwah islamiyah.
  4. Lebih meningkatkan upaya mengetahui hukum-hukum Allah Swt. dengan cara menuntut ilmu.  Setiap Muslim yang berharap Lebarannya lebih bermakna akan terus meningkatkan pengetahuan dan pemahamannya tentang hukum Allah Swt.
  5. Lebih giat berdakwah. Bulan Ramadhan merupakan bulan diturunkannya al-Quran sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia.  Tidak mungkin petunjuk itu sampai bila tidak didakwahkan. Atas dasar inilah dakwah merupakan karakter kaum Mukmin.
  6. Terus bertobat dengan tobat yang sebenar-benarnya (tawbatan nashûhâ). Sekalipun Allah Swt. menjamin mengampuni orang-orang yang benar-benar puasa Ramadhan,  kaum Mukmin tidak akan terlena dengan itu.  Mereka tetap bertobat sebagai salah satu karakter orang bertakwa, seperti tercantum dalam firman Allah Swt.:

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka segera mengingat Allah lalu memohon ampunan atas dosa-dosa mereka;  siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui (QS Ali Imran [3]: 135).
Sekali lagi, hasil dari Ramadhan adalah ketakwaan. Apabila sikap pasca Ramadhan tidak menunjukkan meningkatan ketakwaan, maka kita patut merenungkan sabda Rasulullah saw.:

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ اْلجُوْعِ وَ اْلعَطَشِ
Banyak di antara orang yang berpuasa tetapi hasilnya hanya lapar dan dahaga (HR Ibn Huzaimah).

Walhasil, orang yang akan mendapatkan makna Lebaran sebenarnya adalah orang yang berhasil meraih ketakwaan dengan puasanya itu. Tanpa takwa, Lebaran hanyalah sebuah kehampaan. Sebab, Idul Fitri bukanlah diperuntukkan bagi orang yang mengenakan pakaian baru, tetapi dipersembahkan bagi orang yang ketaatannya bertambah. Singkatnya, Idul Fitri sejatinya membawa setiap Muslim kembali ke ketaatan sejati. 

http://hizbut-tahrir.or.id/2013/08/05/idul-fitri-momentum-untuk-kembali-ke-ketaatan-sejati/

Jumat, 02 Agustus 2013

Baca dan Amalkanlah Selalu Isi al-Quran

Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Quran dan mengajarkannya kepada orang lain (HR al-Bukhari).

Sejatinya setiap Muslim adalah pengemban al-Quran. Mengemban al-Quran sama dengan mengemban dakwah. Sebab, al-Quran turun kepada Baginda Nabi saw. memang untuk didakwahkan. Allah SWT. berfirman:

نَزَلَ بِهِ ٱلرُّوحُ ٱلْأَمِينُ ﴿١٩٣﴾ عَلَىٰ قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ ٱلْمُنذِرِينَ ﴿١٩٤﴾
Al-Quran itu dibawa turun oleh Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan (TQS asy-Syu’ara [26]:193-194).

Karena itu, sudah selayaknya setiap Muslim senantiasa berinteraksi dengan al-Quran, ‘bersahabat’ dengan al-Quran, bahkan selalu merasa sangat bergantung pada al-Quran. Sebagaimana seorang prajurit di medang perang sangat bergantung pada senjatanya, demikian pula seharusnya pengemban dakwah; selalu bergantung pada al-Quran. Apa jadinya prajurit berperang tanpa senjata? Apa jadinya pengemban dakwah ‘berlaga’ di medan dakwah tanpa al-Quran di hati dan pikirannya?
Banyak sekali hadis Nabi saw. yang menekankan tentang perlunya setiap Muslim, apalagi pengemban dakwah, untuk selalu membaca, mengkaji, memahami, menghapal dan mengamalkan al-Quran. Bahkan sering Baginda Nabi saw. mengutamakan sebagian Sahabat atas Sahabat lainnya karena keunggulan sebagian mereka atas sebagian yang lain dalam hal penguasaan dan pengamalan mereka terhadap al-Quran.
Dalam sejarah, ketika Nabi saw. hendak mengirim seorang utusan ke suatu wilayah, misalnya, beliau biasanya memilih Sahabat yang paling banyak hapalan al-Qurannya. Ketika hendak mengubur para syuhada Perang Uhud, Nabi saw. pun memerintahkan untuk mendahulukan Sahabat yang paling banyak hapalannya. Begitu pula dalam hal kepemimpinan shalat berjamaah. Nabi saw. bersabda:

يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ
Hendaklah yang memimpin suatu kaum adalah orang seorang yang paling banyak membaca/menghapal/mengamalkan Kitabullah (HR Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibn Majah).

*****
Rasul saw. bersabda:

إِنَّ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ
Sesungguhnya sebaik-baik ucapakan adalah Kitabullah… (HR Ahmad).

Karena itu, wajar jika membaca, mengkaji, menghapal dan mengamalkan al-Quran merupakan ibadah yang paling utama. Dalam hal ini, Khabbab bin al-Art, seorang Sahabat Nabi saw., pernah berkata kepada seseorang, “Ketahuilah sesungguhnya tidak ada cara yang lebih mudah untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan sesuatu yang Dia cintai melebihi firman-firman-Nya (yakni al-Quran).”
Aktivitas membaca, mengkaji, menghapal dan mengamalkan al-Quran sesungguhnya juga merupakan tanda bukti cinta seorang Muslim kepada Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, hendaknya ia membaca Al-Quran.” (HR as-Suyuthi).
Abdullah bin Mas’ud, yang amat gemar membaca al-Quran, juga pernah berkata, “Siapa saja yang mencintai al-Quran, berarti ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.”
Dengan kata lain, kecintaan pada al-Quran merupakan bukti atas kecintaan kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Begitu pula sebaliknya.

*****
Nabi saw. bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Utsman bin Affan ra.:

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Quran dan mengajarkannya kepada orang lain (HR al-Bukhari).

Al-Hafiz Ibnu Katsir dalam kitabnya, Fadhâ’il al-Qur’ân (hlm. 126-127), “Maksud dari sabda Rasulullah saw., ‘Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Quran dan mengajarkan kepada orang lain,’ adalah bahwa mereka itu orang-orang Mukmin yang selalu mengikuti dan meneladani para rasul. Mereka telah menyempurnakan diri sendiri dan menyempurnakan orang lain.”
Terkait dengan hadis ini, Imam Abu Abdurrahman as-Sulami tak pernah berhenti mengajarkan al-Quran selama empat puluh tahun di Masjid Agung Kufah karena ia begitu memahami makna hadis ini.
Pada kesempatan lain, Rasulullah saw. pernah bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah ra.:

مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ تَعَالَى يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Tidaklah suatu kaum berkumpul di suatu rumah Allah, membaca kitab Allah dan mempelajarinya, melainkan akan diturunkan kepada mereka ketenangan; mereka akan diliputi oleh rahmat, dikelilingi oleh malaikat dan akan disebut-sebut Allah di hadapan orang-orang yang ada di sisi-Nya (para malaikat) (HR Abu Dawud, Ahmad dan ad-Darimi).

Abu Umamah ra. juga pernah mendengar Rasulullah saw., bersabda:

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي شَافِعًا ِلأَصْحَابِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Bacalah oleh kamu al-Quran, sesungguhnya (al-Quran) itu datang pada Hari Kiamat menjadi syafaat bagi pembacanya (HR Muslim).

Dengan semua keutamaan itu, wajarlah jika para Sahabat berlomba-lomba membaca, mempelajari dan mengamalkan kandungan al-Quran. Dalam hal membaca, misalnya, ada yang mengkhatamkan al-Quran dalam sehari semalam, bahkan ada yang khatam dua kali dalam sehari semalam. Dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah saw. menyuruh Abdullah bin Umar agar mengkhatamkan al-Quran seminggu sekali. Begitu pula para Sahabat seperti Usman bin ‘Affan, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab; telah menjadi wiridnya untuk mengkhatamkan al-Quran pada setiap hari Jumat. Namun demikian, paling tidak, hendaknya setiap Muslim bisa mengkhatamkan al-Quran sebulan sekali. (HR Ahmad).
Itulah standar yang diberikan oleh Rasulullah saw. dalam membaca al-Quran. Bagaimana dengan kita? Mudah-mudah kita mengamalkan standar yang paling minimal dalam hal mengkhatamkan al-Quran: sebulan sekali. Jika saat ini mungkin terasa berat dan sulit sekali, terutama karena faktor kemalasan, hendaklah kita segera sadar, bahwa hati kita mungkin sedang dipenuhi dengan kotoran. Sebab, sebagaimana kata Utsman bin Affan ra. “Jika hatimu bersih, niscaya ia tidak akan pernah kenyang dari firman-firman Tuhannya (al-Quran).”
Perkataan Utsman ini bermakna, bahwa kecintaan dan interaksi kita dengan al-Quran merupakan ukuran kebersihan hati kita. Jika suatu ketika kita merasa berat untuk membaca al-Quran, sangat boleh jadi itu adalah pertanda bahwa hati kita kotor. Untuk membersihkannya, paksakanlah untuk membaca al-Quran, insya Allah ayat-ayat al-Quran yang kita baca pun akan membersihkan kotoran-kotoran tersebut.
Wa mâ tawfîqî illâ billâh. [] abi

http://hizbut-tahrir.or.id/2013/07/29/baca-dan-amalkanlah-selalu-isi-al-quran/