بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Jumat, 29 November 2013

AL-AWWALUN : Para Sahabat Pelopor Kebaikan

 

“ Ya Allah ya Rabbi, jadikanlah Kami Hamba Yang Bisa Menjadi Pelopor Kebaikan Seperti Para Sahabat Rosulullah SAW” 

Yang pertama kali masuk Islam dari golongan wanita dan laki-laki adalah Sayyidah Khadijah binti Khuwailid.
Yang pertama masuk Islam dari golongan anak-anak adalah Ali bin Abi Thalib. Rasulullah saw, jika telah tiba waktu shalat maka beliau keluar menuju lembah-lembah di kota Makkah, dan Ali keluar menyertainya (padahal dia masih berumur sepuluh tahun) secara sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui oleh ayah dan kaumnya. Lalu mereka berdua melakukan shalat bersama, dan jika waktu sore tiba mereka berdua kemudian pulang.
Yang pertama kali masuk Islam dari kalangan laki-laki merdeka adalah Abu Bakar Shiddiq. Rasulullah saw bersabda: Tidaklah aku mengajak seseorang masuk Islam kecuali ia akan berwajah pucat mendengarnya, merasa ragu-ragu, dan berpikir panjang, kecuali Abu Bakar. Ia tidak menunda-nunda masuk Islam ketika aku menceritakan Islam kepadanya, dan juga tidak merasa ragu-ragu.
Orang yang pertama kali mengeraskan bacaan al-Qur’an di kota Makkah adalah Abdullah bin Mas’ud. Tatkala ia berada di depan para pemuka Quraisy, ia mengeraskan suaranya yang merdu dan membangkitkan minat pendengarnya, ketika membaca firman Allah Swt
Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan al-Qur’an. Dia menciptakan manusia, mengajarnya pandai berbicara. Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada-Nya. (TQS. ar-Rahman [55]: 1-6)
Sampai pada bacaan tersebut, ia dipukuli oleh kaum kafir Quraisy hingga jatuh pingsan. Ketika siuman, ia meminta ijin pada Nabi saw untuk mengulangi lagi apa yang dilakukannya itu pada malam berikutnya.
Wanita yang pertama gugur menjadi syahidah dalam Islam adalah Sumayyah bin Khubbath (Ibu Ammar bin Yasir).
Khatib yang pertama kali menyerukan agama Allah adalah Abu Bakar as-Shiddiq, ketika jumlah kaum Muslim mencapai tiga puluh sembilan orang. Abu Bakar mendesak Rasulullah saw untuk menampakkan Islam secara terang-terangan, maka Rasulullah saw bersabda: “Wahai Abu Bakar, jumlah kita masih sedikit”. Abu Bakar terus mendesak hingga akhirnya Rasulullah saw muncul dan kaum Muslim berpencar di beberapa sisi masjid. Abu Bakar kemudian berdiri menjadi khatib, sedang Rasulullah saw duduk mendengarkannya, sehingga Abu Bakar menjadi khatib pertama yang menyeru kepada Allah dan Rasulullah saw. Kaum musyrikin sangat marah kepada Abu Bakar dan kaum Muslim. Mereka memukulinya dengan sangat hebat. Abu Bakar diinjak-injak. Si fasik, Utbah bin Rabiah, mendekati beliau, kemudian ia memukulnya dengan dua sepatunya, yang meninggalkan bekas luka di wajah Abu Bakar sehingga sukar diketahui rupa hidung di wajahnya.
Pedang yang pertama kali dihunus dalam Islam, adalah pedang Zubair bin Awwam. Di masa-masa awal kemunculan Islam, tersiar kabar bahwa Rasululllah saw telah dibunuh. Yang dilakukan Zubair tidak lain kecuali segera menghunus pedangnya, kemudian dia mengitari jalanan Makkah bagaikan badai topan. Dan di daerah Makkah bagian atas dia bertemu dengan Rasulullah saw, yang segera menanyainya tentang apa yang terjadi? Zubair mengabarkan berita tersebut kepada Rasulullah saw. Lalu Rasulullah saw mendoakannya agar kebaikan diperuntukkan bagi dirinya dan kemenangan bagi pedangnya.
Rumah yang pertama kali digunakan untuk mengemban dakwah Islam adalah rumah Arqam bin Abi al-Arqam, yang berada di Bukit Shafa. Rumah itu seringkali digunakan Nabi Muhammad saw untuk duduk mengajarkan Islam. Rasulullah saw terus mengajarkan Islam di rumah Arqam hingga jumlah kaum Muslim mencapai empat puluh orang. Lalu mereka keluar menampakkan seruan kepada Allah.
Orang yang pertama kali berhijrah ke Habsyah; dialah Utsman bin Affan bersama isterinya Ruqayyah binti Rasulullah saw. Diriwayatkan dari Rasulullah saw, bahwasanya Utsman merupakan orang yang pertama kali berhijrah menyelamatkan agama Allah bersama keluarganya setelah Nabi Luth as.
Darah yang pertama kali tumpah dalam Islam. Di masa permulaan dakwah Islam, ketika itu Sa’ad bin Abi Waqash bersama beberapa orang sahabatnya sedang melaksanakan shalat di salah satu lembah di Makkah. Keberadaan mereka diketahui beberapa orang kaum musyrikin. Kaum musyrikin kemudian menentang dan mencela apa yang mereka lakukan, hingga akhirnya terjadi perkelahian diantara mereka. Pada saat itu, Sa’ad memukul salah seorang kaum musyrikin dengan rahang unta sehingga orang itu terluka (dan mati terbunuh), dan itulah darah yang pertama kali tumpah dalam Islam.
Duta pertama dalam Islam, adalah Mush’ab bin Umair. Rasulullah saw memilihnya untuk menjadi duta beliau, yang dikirim ke Madinah dalam rangka memahamkan dan mengajarkan agama Islam kepada kaum Anshar, menyeru penduduk Yatsrib kepada Islam, dan mempersiapkan Madinah menyongsong terjadinya hijrah, padahal disisi beliau ada beberapa sahabat yang lebih tua umurnya dan lebih dekat hubungannya daripada Mush’ab. Mush’ab bin Umair ra mengemban amanat itu dengan dibantu oleh nikmat yang telah dianugerahkan Allah kepadanya berupa akal yang cerdas dan perilaku yang mulia. Ia berhasil menjalankan misinya, dimana penduduk Madinah masuk Islam dan menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya.
Yang pertama kali membangun masjid adalah Utsman bin Affan.
Yang pertama kali menjadikan rumahnya sebagai masjid yang digunakan untuk shalat adalah Ammar bin Yasir.
Orang Anshar yang pertama kali masuk Islam adalah As’ad bin Zurarah al-Anshari. As’ad bin Zurarah dan Dzakwan bin Abdi Qais berangkat ke Makkah. Di sana mereka berdua bertengkar dengan Utbah bin Rabiah. Mereka berdua mendengar kabar tentang Rasulullah saw dan mendatanginya, lalu Rasulullah saw menyampaikan Islam dan membacakan al-Qur’an dihadapan keduanya. Kemudian mereka berdua masuk Islam dan tidak mendekati Utbah bin Rabiah lagi. Keduanya lalu pulang ke Madinah, dan menjadi orang yang pertama kali pulang ke Madinah membawa Islam.
Orang yang pertama kali memegang tangan Rasulullah saw pada malam Bai’at al-’Aqabah kedua adalah al-Barra bin Ma’rur. Al-Barra memegang tangan Rasulullah saw dan berkata: “Ya, demi Zat yang mengutusmu menjadi seorang Nabi dengan membawa agama yang haq, kami akan melindungimu sebagaimana kami melindungi anak isteri kami. Bai’atlah kami wahai Rasulullah. Demi Allah, sesungguhnya kami adalah ahli perang, ahli senjata, yang selalu kami wariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya”.
QADHA’ DAN QADAR
(Memahami pembahasan qadha' dan qadar dalam kitab Nizhamul Islam)

Ada sebagian kalangan melakukan tuduhan-tuduhan keji terhadap Hizbut Tahrir dengan menyatakan bahwa Hizbut Tahrir mengingkari takdir atau tidak mempercayai takdir. Hizbut Tahrir juga dituduh Muktazilah (Qadariyah) karena menurut para penuduh itu pemahaman Hizbut Tahrir tentang qadha’ dan qadar sangat mirip dengan Muktazilah. Tidak hanya itu, Hizbut Tahrir juga dituduh telah melakukan fitnah terhadap kalangan yang mengklaim Ahlussunnah wal Jamaah, bahwa Ahlussunah adalah sama seperti Jabariyah sebagaimana yang terdapat dalam kitab Nizhamul Islam.

Pihak yang menuduh Hizbut Tahrir itu adalah dari kalangan Salafi. Mereka menuduh Hizbut Tahrir telah menyamakan Ahlussunah (Ibnu Taimiyah) dengan Jabbariyah. Padahal mereka keliru. Bahwa yang dimaksud Ahlussunah yang terdapat dalam kitab Nizhamul Islam itu adalah Ahlussunah versi Asy’ariyah, bukan Ahlussunah yang diusung Ibnu Taimiyah. Justru Ahlussunah versi Asy’ariyah inilah yang sering ‘diserang’ pemahamannya oleh kalangan Ahlussunah yang diusung Ibnu Taimiyah. Jadi, mereka telah keliru. Mereka menyangka Hizbut Tahrir telah menyamakan Ahlussunah versi Ibnu Taimiyah dengan Jabbariyah. Padahal yang dikritisi Hizbut Tahrir dalam kitab Nizhamul Islam adalah Ahlussunah yang versi Asy’ariyah. Dari sini kelihatan sekali bahwa kalangan Salafi terlalu terburu-buru dalam melakukan justifikasi. Bagaimana bisa membahas mutakallimin tetapi kok membahas Ahlussunah versi Ibnu Taimiyah? Bagaimana bisa? Justru, orang yang memahami konteks permasalahannya, pasti akan berkesimpulan bahwa Ahlussunah yang dimaksud di sini adalah versi Asy’ariyah, bukan Ibnu Taimiyah.

Pembahasan qadha’ dan qadar, secara khusus telah dibahas oleh Hizbut Tahrir dalam satu bab tersendiri, yaitu qadha’ dan qadar dalam kitab Nizhamul Islam. Pembahasan yang sama juga bisa dijumpai dalam kitab Syakhshiyatul Islamiyah jilid I. Pembahasan ini sengaja diberikan ruang khusus, karena Hizbut Tahrir ingin menempatkan sesuai dengan proporsinya. Hizbut Tahrir tidak ingin terjebak dalam pembahasan yang melelahkan dan terjebak dalam diskusi yang tidak produktif sebagaimana yang dilakukan para mutakallimin (ahli kalam), termasuk Jabbariyah, Muktazilah, dan Ahlussunnah (Abu Hasan Al Asy’ari). Apa yang dimaksud dengan diskusi yang tidak produktif? Tentang hal ini bisa Anda baca dalam catatan saya yang berjudul Kesalahan-kesalahan Ilmu Kalam.

Secara fundamental, Hizbut Tahrir telah meletakkan suatu paradigma baru dalam pembahasan qadha’ dan qadar, yaitu membahas perbuatan manusia secara relevan (kaitannya) dengan pahala dan dosa. Atau dengan kata lain, pembahasan ini berkaitan dengan hukum perbuatan manusia. Hizbut Tahrir tidak meletakkan pembahasan qadha’ dan qadar sebagaimana paradigma mutakallimin, dimana mereka meletakkan pembahasan qadha’ dan qadar tetapi tidak dikaitkan dengan pahala dan dosa. Para mutakallimin justru melakukan kesalahan dengan meletakkan pembahasan qadha’ dan qadar, tetapi dikaitkan dengan “penciptaan” perbuatan manusia (khalqul af’al) dan tertulisnya perbuatan manusia dalam Lauhul Mahfuzh.

Contoh:
Kalau seorang koruptor ditanya, “Mengapa kamu korupsi?” tentu si penanya akan pusing jika si pencuri menjawab, “Saya korupsi karena perbuatan saya ini sudah ditetapkan Allah dalam Lauhul Mahfuzh.” Atau koruptor itu akan mengatakan begini, “Saya korupsi, karena perbuatan saya ini merupakan takdir Allah atas saya.” Atau, “Saya korupsi, karena sudah ditakdirkan oleh Allah.”

Contoh lain:
Seorang anggota dewan telah menjual barang tambang minyak milik rakyat kepada pihak asing, sehingga rakyat banyak yang kesusahan dikarenakan mahalnya biaya untuk mendapatkan minyak. Lalu ditanyakan kepada orang tersebut, “Mengapa Anda menjual tambang minyak milik rakyat itu kepada pihak asing?” Lalu orang tersebut berkata, “Saya berbuat seperti ini karena sudah menjadi takdir bagi saya untuk berbuat begini.”

Jika hal ini dibahas, yaitu tentang “siapa yang menciptakan perbuatan manusia” tentu tidak akan terpecahkan secara memuaskan dan tidak akan selesai. Pembahasan hal seperti ini, sama persis dengan pembahasan qadha’ dan qadar yang dilakukan oleh mutakallimin. Mereka berdebat habis-habisan tentang “siapa yang menciptakan perbuatan manusia” dan “tertulisnya perbuatan manusia di Lauhul Mahfuzh”. Perdebatan panjang ini berlangsung hingga puluhan hingga ratusan tahun. Dan sesungguhnya, perdebatan ini sama sekali tidak produktif dan sangat melelahkan kaum muslim. Maka perdebatan dengan topik ini, harus ditinggalkan!

Karena itulah, Hizbut Tahrir mengajarkan kepada seluruh syababnya untuk tidak menjadikan masalah “tertulisnya perbuatan manusia di Lauhul Mahfuzh” atau “siapa yang menciptakan perbuatan manusia” sebagai asas (dasar) pembahasan qadha’ dan qadar. Alasannya, hal itu tidak berhubungan dengan “pahala dan dosa” atau “halal dan haram” bagi manusia. Jadi, harus dicari paradigma (asas) baru yang relevan (nyambung) dengan pahala dan dosa. Apa itu? Yaitu: Hukum perbuatan manusia itu sendiri!

Hizbut Tahrir kemudian melakukan pengkajian yang mendalam tentang fakta perbuatan manusia dari segi: apakah manusia itu dipaksa untuk berbuat (musayyar) atau diberi kebebasan untuk memilih perbuatan (mukhayyar). Dan setelah dikaji secara mendalam, ternyata ada dua jenis perbuatan manusia:

Pertama,
adakalanya perbuatan itu musayyar (dipaksa), misalnya manusa tidak bisa terbang dengan tubuhnya sendiri, manusia mengalami suatu kecelakaan di luar kuasanya, dan sebagainya. Segala perbuatan atau fakta saat manusia berstatus musayyar inilah yang (oleh Hizbut Tahrir) disebut dengan qadha’. Yang menetapkan qadha’ adalah Allah, dan manusia tidak akan dimintai pertanggungjawaban tentang hal ini. Tidak ada hitungan pahala dan dosa, atau halal-haram dalam masalah ini.

Kedua,
adakalanya manusia bebas memilih perbuatan (mukhayyar). Misalnya, makan nasi, minum khamr, mencari nafkah dengan jalan korupsi, bekerja sebagai petani, bekerja sebagai kaki tangan penjajah, dan lain-lain sesuai dengan kehendak atau pilihannya sendiri. Di sinilah manusia memanfaatkan qadar, yaitu karakter khusus yang melekat pada segala sesuatu. Misalnya, api yang memiliki karakter membakar. Tetapi manusia mau menggunakannya untuk membakar sate atau membakar jasad manusia, itu pilihan manusia. Contoh lain, manusia memiliki kecerdasan. Manusia mau memanfaatkan kecerdasannya itu untuk berpihak kepada orang Islam atau orang kafir, itu pilihan manusia. Dalam konteks mukhayyar ini, manusia akan dimintai pertanggung jawaban. Yang menetapkan qadar hanya Allah semata. Api memiliki karakter panas, itu hak Allah. Manusia memiliki kecerdasan, itu juga karena pemberian Allah. Tetapi dalam hal pemanfaatannya, manusia tetap akan dimintai pertanggungjawaban. Tetap akan ada hitungan pahala dan dosa.

Oleh karena itu, berdasarkan hal tersebut, koruptor tadi harus tetap dihukum, sekalipun dia berkeyakinan bahwa perbuatannya tersebut tertulis dalam Lauhul Mahfuzh. Sebab, yang ia pertanggungjawabkan adalah perbuatan korupsinya (korupsi merupakan perbuatan dosa), bukan keyakinannya itu. Sebab, keyakinannya itu tidak ada hubungannya dengan pahala dan dosa atau halal dan haram.

Kita akan mengatakan kepada koruptor itu, “Silahkan saja kamu yakin bahwa perbuatan kamu tertulis di Lauhul Mahfuzh, tetapi kamu harus tetap dihukum, karena kamu telah berdosa disebabkan menyalahi larangan Allah dan Allah tidak pernah memaksamu berbuat dosa. Ingat, korupsi itu haram hukumnya.”

Oleh karena itu, inilah yang harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita merasa sedang dalam kondisi futur, tidak semangat, kemudian kita bermaksiyat, mungkin akan terlintas dalam benak kita, “saya melakukan ini atas perbuatan saya sendiri atau sudah menjadi takdir saya?” Jika kita masih berpikir seperti ini, maka itu artinya kita berpikir sebagaimana para mutakallimin. Selayaknya kita tidak berpikir seperti itu. Tetapi hendaknya kita memikirkan, “perbuatan saya ini, apa hukumnya?” Dengan demikian, kita akan terpuaskan dengan jawabannya, bahwa “perbuatan ini hukumnya haram!”. Tetapi jika kita masih mempertanyakan, siapa yang menciptakan perbuatan kita, maka jawabannya, dijamin tidak memuaskan dan akan berpotensi menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih membingungkan. Jadi, mulailah berpikir yang mampu untuk dipikirkan, bukan memikirkan sesuatu yang tidak mampu kita pikirkan.

BERBAGI PENGALAMAN

Suatu ketika saya pernah berdialog dengan salah seorang kawan. Beliau aktif dalam pengajian di kalangan saudara-saudara Wahabi di salah satu pusat kajian di kota saya. Pada saat itu kami sedang membahas tentang kenaikan harga BBM yang akan dilakukan oleh pemerintah. Kemudian kawan saya tersebut menyatakan bahwa kenaikan harga BBM ini terjadi karena kehendak Allah, sambil mengutip sebuah hadis berikut.

Pada zaman Nabi saw. pernah terjadi bahwa harga-harga melambung tinggi. Kemudian para sahabat merasa resah dan mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah saw. seraya berkata, “Wahai Rasulullah, harga-harga barang banyak yang naik, maka tetapkan keputusan yang mengatur harga barang.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang menetapkan harga, yang menyempitkan dan melapangkan rezeki, Sang Pemberi rezeki. Sementara aku berharap bisa berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku disebabkan kezalimanku dalam urusan darah maupun harta.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, Ibnu Majah, dan dishahihkan Al-Albani)

Berdasarkan hal tersebut, kawan saya itu beranggapan bahwa Allah-lah yang Maha menetapkan harga. Saya tidak tahu apa maksudnya. Kemudian saya bertanya kepadanya, “Berarti kenaikan harga BBM ini adalah kehendak Allah?” Lalu dia menjawab, “Ya.” Lalu saya konfirmasi lagi, “Padahal yang berencana menaikkan harga BBM ini adalah Menteri ESDM, Jero Wacik. Lalu menurut Anda, yang menaikkan harga BBM itu Allah atau Jero Wacik? Allah atau manusia?” Teman saya lalu menjawab, “Itu sudah ketetapan Allah.” Lalu saya berkata kepadanya, “Jawaban Anda belum menjawab pertanyaan saya. Jadi, menurut Anda, siapa yang menaikkan harga BBM, Allah atau manusia?” Maka dia pun tidak bisa memberikan jawaban selain jawaban, “Itu sudah ketetapan Allah.”

Jawaban “itu sudah ketetapan Allah” menunjukkan bahwa sebenarnya pembahasan tentang kenaikan harga BBM ini digiring ke arah pembahasan akidah, yaitu tentang khalqul af’al (penciptaan perbuatan). Padahal, selayaknya pembahasan ini dijauhkan dari akidah. Sebab, jika dikaitkan dengan pembahasan akidah, maka yang akan terjadi adalah sebagaimana diskusi antara saya dengan teman saya di atas. Suatu diskusi yang membingungkan. Siapa yang menaikkan harga BBM? Allah atau manusia? Jika jawabannya Allah, pasti akan muncul pertanyaan: bukankah kenaikan harga BBM ini akan membuat rakyat menjadi susah? Membuat rakyat susah itu perbuatan yang zalim atau tidak? Jika zalim, akankah Allah berbuat zalim kepada hamba-Nya? Jika memang ini menaikkan harga BBM ini adalah perbuatan Allah, lalu apakah kita harus pasrah dan berdiam diri ketika melihat minyak yang sudah menjadi hak kita justru diangkut ke luar negeri? Lalu, jika jawabannya adalah manusia, pasti akan muncul pertanyaan: bukankah tadi di atas dikatakan bahwa Allah-lah yang Maha menetapkan harga? Ini suatu pembahasan yang membingungkan.

Oleh karena itu, sangat tidak tepat jika pembahasan tentang kenaikan harga BBM ini digiring kepada persoalan akidah. Sebab, jika digiring kepada persoalan akidah, jelas sekali bahwa orang tersebut tidak mengetahui fakta persoalan yang sesungguhnya. Faktanya, Indonesia adalah negeri yang memiliki harta kekayaan yang melimpah, termasuk cadangan minyak bumi. Persoalannya, pemerintah Indonesia justru telah menyerahkan pengelolaannya kepada pihak asing. Akibatnya, justru rakyat Indonesia tidak mendapatkan apa-apa selain kekecewaan dan kekecewaan. Inilah fakta sesungguhnya. Maka sangat tidak tepat jika persoalan kenaikan harga BBM ini diarahkan pada persoalan akidah. Jika tidak tepat, lalu yang tepat seperti apa?

Pembahasan yang tepat adalah mengarahkan persoalan kenaikan harga BBM ini kepada persoalan hukum, bukan persoalan akidah. Apa maksudnya? Maksudnya adalah menghukumi perbuatan ‘menaikan harga BBM’, bukan membahas ‘siapa yang menaikkan harga BBM’. Jika ditanyakan tentang hukum ‘menaikkan harga BBM’ tentu jawabannya adalah haram. Sebab, Rasulullah saw. telah bersabda, “Kaum muslim itu berserikat dalam tiga hal: air, padang gembalaan, dan api (sumber energi).” (HR. Abu Dawud)

Jika kaum muslim berserikat atas tiga hal tersebut, itu artinya ketiga hal tersebut adalah milik kaum muslim (rakyat). Maka haram hukumnya menyerahkan barang milik kaum muslim kepada pihak asing. Inilah pemahaman yang tepat tentang persoalan ‘menaikkan harga BBM’. Inilah yang diajarkan Hizbut Tahrir kepada saya. Yaitu tidak membahas ‘siapa yang menciptakan perbuatan: Allah atau manusia?’ tetapi membahas ‘apa hukum perbuatan manusia?’.

Terlepas dari pembahasan tersebut, sebenarnya hadis di atas adalah hadis yang berkaitan dengan kasus tas’ir (pembatasan/pematokan harga), bukan menaikkan harga. Rasulullah (selaku kepala negara) tidak mau menetapkan pembatasan harga/pematokan harga, karena Rasulullah tidak ingin ketika pada hari kiamat beliau tertahan masuk surga oleh hak orang lain hanya karena beliau telah melakukan pembatasan harga. Jadi, hadis di atas adalah dalil tentang haramnya melakukan pembatasan harga oleh kepala negara (khilafah).

Contoh:
Misalnya kepala negara khilafah menetapkan bahwa harga gandum dalam negeri, satu kuintal seharga 200 dinar. Maka siapa pun yang menjual gandum 1 kuintal, harganya tidak boleh melebihi 200 dinar. Hal seperti inilah yang disebut tas’ir (pembatasan harga). Ini tidak boleh. Mengapa tidak boleh? Sebab, pada hakikatnya seorang penjual bebas menjual barang dagangannya sesuai harga yang dia inginkan. Dia bisa menjual 1 kuintal gandum itu dengan harga 178 dinar, 200 dinar, atau lebih dari itu, namun masih dalam konteks kewajaran, misalnya 205 dinar atau 210 dinar. Inilah yang dikhawatirkan oleh Rasulullah dengan kalimat “aku berharap bisa berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku disebabkan kezalimanku dalam urusan darah maupun harta”. Sebab, jika (misalnya) Rasulullah menetapkan pembatasan harga 200 dinar, padahal ketika seorang penjual bisa menjual 1 kuintal gandum seharga 210 dinar, itu artinya ada rezeki dari si penjual gandum yang ditahan oleh Rasulullah, yaitu 10 dinar. Tetapi karena ada pembatasan harga, maka 10 dinar yang sebenarnya bisa didapatkan di penjual gandum, akan hilang sia-sia. Hal seperti inilah yang ditakutkan Rasulullah dan disebut oleh beliau sebagai bentuk kezaliman.

 
 
 
Tatkalah Rasulullah SAW mengutus Mus’ab Bin Umair keYasrib (Madinah) sebagai duta dakwah dalam rangka akselerasi dan perluasan dakwah. Ketika telah sampai di sana maka beliau mendatangis etiap orang-orang di rumah-rumah, kabilah-kabilah kemudian mengajaknya masukI slam dan membacakan Al Qur’an kepada mereka hingga pancaran cahaya Islam menerangi setiap rumah-rumah terutama dari kaum Anshar. Hingga suatu hari Mus’ab Bin Umair dan As’ad bin
Zurarah keluar kepemukiman Bani ‘Abdul Asyhal dan pemukiman Bani Shafar hingga akhirnya mereka bertemu dengan dua orang yang menjadi simpul kekuatan di tengah-tengah kaumnya. Mereka selalu menjadi tempat sandaran kaumnya serta segala perkataan mereka pasti akan di dengar dan di ikuti oleh kaumnya, Kedua orang tersebut adalah Usaid Bin Hudair dan Sa’ad Bin Mu’adz. Kemudian Mus’ab bin Umair menjelaskan Islam serta membacakan ayat-ayat Al Qu’ran kepada mereka hingga keduanya terpancar cahaya Islam di wajah mereka dan mereka pun menerima Islam dengan senang hati. Kemudian Sa’ad berdiri untuk bergegas mensucikan diri dan pakaiannya, serta mendeklarasikan keimanannya dengan membaca syahadat dan setelah itu melaksanakan sholat dua rakaat.

Pasca deklarasi keimanannya, lalu Sa’ad berdiri menghadap kaumnya, dia berkata: wahai Bani “Abdul Asyhal, apa yang kalian ketahui tentang kedudukanku di tengah-tengah kalian?” Mereka menjawab serentak, “Engkau adalah pemimpin kami dan yang paling cerdas di antara kami serta memiliki pribadi  yang baik”. Sa’ad kembali berkata, “ sesungguhnya ucapan kaum laki-laki dan wanita kalian kepadaku adalah haram, hingga kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.”. Tidak berapa lama keduanya (Usaid Bin Hudair dan Saad bin Muadz) berkata, “Demi Allah, tidak akan ada laki-laki maupun wanita, saat sore hari di pemukiman Bani ‘ Abdul Asyhal, kecuali dia akan menjadi Muslim dan Muslimah”.

Pada kesempatan yang lain, sebelum menghadapi pasukan Qurais di Badar. Rasul Saw bersabda “Wahai Manusia, bantulah diriku!” Maka Sa’ad selaku pemegang panji Anshar berkata, :sepertinya Engkau ragu pada kami, Wahai Rasulullah.  Dan sepertinya Engkau khawatir bahwa orang-orang Anshar, sebagaimana yang nampak pada pandanganmu, tidakakan menolongmu, kecuali di negerinya. Saya bicara atas nama orang Anshar, dan memberi jawaban berdasarkan sikap mereka. Berangkatlah bersama  kami, sesuai dengan apa yang Engkau kehendaki. Ikatlah tali siapa pun yang Engkau kehendaki. Dan putuskanlah ikatan siapa saja yang Engkau kehendaki.  Dan ambillah dari harta kekayaan kami yang Engkau kehendaki. Dan berikanlah yang mana saja yang Engkau kehendaki. Apa saja yang Engkau ambil niscaya lebih kami sukai dari pada yang Engkau tinggalkan. Demi Allah, kalau seandainya Engkau menempuh perjalanan bersama kami hingga kebarak Al Ghamad (kota Habasyah), kami semuanya akan tetap bersamamu. Dan demi Allah, kalau seandainya Engkau mengajak kami untuk menyeberangi lautan sekalipun, pasti kami akan lalui bersamamu. Ucapan penegasan Sa’ad tentunya membuat Wajah Rasul Saw yang mulia memancarkan cahaya kebahagian.

Subahallah sikap pendirian dan pengorbanan Sa’ad kepada kemuliaan Islam dan Kaum Muslimin sangat menggugah hati kita, betapa besar sumbangsi beliau. Sa’ad benar-benar telah mewakafkan diri dan kedudukan serta penyerahan secara totalitas hidupnya hanya untuk Islam. Cahaya kebenaran Islam telah menerangi hati dan pikirannya, telah menjelma menjadi sosok pribadi yang hidup dan matinya hanya untuk Islam. Dia pun tampil sebagai pembela dan penjaga Islam yang kokoh dan terpercaya serta menyadari bahwa apalah artinya sebuah kedudukan yang terhormat serta pengaruh di tengah-tengah umat jika tak memberikan kontribusi apa-apa terhadap Islam.

Hingga ketika Allah memanggil Sa’ad keharibaan, maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda : " 'Arsy Allah yang Maha Pengasih berguncang karena kematian Sa'ad bin Mu'adz ". ( HR. Muttafaq 'alaih ). Ibnu Umar r.a berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda : " Hamba shalih yang ( kematiannya ) telah mengguncang "Arsy, membuat pintu-pintu langit terbuka dan 70.000 malaikat hadir mengiringinya.Padahal mereka belum pernah turun ke bumi seperti ini sebelumnya, merasa kesempitan kemudian Allah memberinya keleluasaan.Hamba shalih yang di maksud adalah Sa'ad bin Mu'adz ". ( HR. Bukhari Muslim ).

Begitu mulianya kedudukan Sa’ad Bin Muadz di mata Allah SWT dan penduduk langit lainnya hingga singgasana  Allah berguncang serta Jenazah beliau di antarkan oleh 70.000 malaykat, tidak lain karena pengaruh dan kekuatan yang beliau miliki telah Dia wakafkan untuk kemulian dan kemenangan Islam, melalui dialah sehingga Islam, Rasul dan kaum Muslimin memiliki benteng  yang kokoh untuk pertama kalinya sehingga Islam bisa terimplementasikan dalam konteks kehidupan bernegara untuk pertama kalinya serta telah menjadikan dirinya dan kaumnya sebagai pembela dan penjaga Islam yang terpercaya. Allahu Akbar.

Maka sudah saatnya kepada simpul-simpul kekuatan di tengah-tengah umat, baik militer, tokoh Ormas, tokoh Orpol dll, maka hendaknyalah bersegerah menggunakan kedudukan dan kekuatan yang meraka miliki untuk membela dan menjaga Islam dalam konteks kehidupan bernegara. Hanya dengan itulah semoga mendapatkan kedudukan dan kemuliaanakan di dapatkan sebagaimana yang di dapatkan oleh Sa’ad Bin Muadz. Insya Allah..

Sumber : dari berbagai sumber.

Rabu, 20 November 2013

Arsip Sejarah: Surat Duta Besar Inggris Inggris Meminta Bantuan Kepada Khilafah Ustmani (1558) dengan Penuh Hormat Melawan Armada Spanyol

 
Duta Besar Inggris yang Meminta Bantuan Kholifah : Memohon Kepada Daulah Ustmani yang Mulia dan Bermartabat  dan Aturan Hukum Islam

Surat , yang ditulis pada 1588 atas permintaan Ratu Inggris, saat ini disimpan di Royal English Archives di Berkshire, Inggris. Dalam surat ini, Duta Besar Inggris di Istanbul, William Harborne, mendorong Sultan Murad III untuk melemahkan kekuatan Armada Spanyol yang disebutnya “tidak terkalahkan” untuk mencegah serangan lanjutan atas Inggris.
“Permintaan ini ditujukkan kepada Sultan yang terhormat yang kepadanya kami berterima kasih, yang dilindungi alam semesta, dan yang memiliki kekuatan, kekayaan, dan kesucian. Pelayanmu telah diwajibkan oleh Tuhan untuk menjaga hubungan damai dan suci antara Anda dan Ratu Inggris. Pelayanmu telah menerima tugas ini dengan setia dan rela selama sembilan tahun sebelumnya, dan berharap bahwa Yang Mulia akan memanfaatkan kekuatan dan diberi kekuasaan untuk memusnahkan musuh kita bersama, yakni orang-orang pagan.
Dengan nama Allah, saya menyerukan kepada Anda untuk mengasihi pelayanmu yang berdosa ini, jika Anda tidak begitu ingin untuk menunjukkan kekuatan melawan orang-orang pagan  ini [Raja Spanyol] sedemikian rupa, maka mohon kirimkan setidaknya enam puluh atau delapan puluh kapal untuk melemahkan mereka. Selanjutnya, Tuanku adalah seorang wanita yang karena sifat alaminya tidak suka akan peperangan; maka, atasnya berlaku kehendak Allah tentang masalah ini dalam kapasitasnya. Jika ditinggalkan oleh seorang teman setia, yang meletakkan baik hidupnya maupun kekayaanya dalam kepercayaan Anda, makan hal ini akan mengejutkan dunia pada saat yang kritis ini.
Yang Mulia, segera dikirimkanya armada Anda untuk Ratu saya akan menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Daulah Uthmani sesuai dengan perintah Allah SWT dan hukum Islam. Jika Anda berkenan, orang-orang Spanyol yang sombong itu, Paus yang tidak sah, dan para pendukung mereka tidak hanya akan kehilangan harapan untuk meraih kemenangan, melainkan mereka juga harus dihukum karena kesombongan mereka. Tuhan hanya melindungi orang-orang yang dekat kepada-Nya, melalui tangan Anda, Dia akan menghukum dan menghancurkan orang-orang pagan, dan meninggalkan orang-orang yang tetap menyembah Allah yang benar yang kita kenal. Semoga Allah memberikan kemenangan dan memberkati mereka yang berada di jalan yang benar.”
Sultan Murad III menanggapi surat tersebut dan menyatakan, “Sebagaimana teman-teman kami yang kami hormati dan lindungi di masa lalu, Ratu Inggris juga akan diperlakukan sama pada hari ini.”(sumber : Ottoman History Picture Archives)

http://hizbut-tahrir.or.id/2013/11/20/arsip-sejarah-surat-duta-besar-inggris-inggris-meminta-bantuan-kepada-khilafah-ustmani-1558-dengan-penuh-hormat-melawan-armada-spanyol/

Selasa, 12 November 2013

Kezaliman dan Akibatnya

 

Salah satu tindakan yang haram di dalam Islam adalah melakukan tindakan zalim dan melampaui batas. Dalam bahasa Nabi Muhammad SAW, tindakan demikian dinamakan dengan al-baghyu. Al-Baghyu (bentuk masdar) berasal dari kata: baghayabghi, yang berarti “menghendaki”. Dalam perkembangannya, kata ini sering digunakan untuk makna yang negatif; kadang-kadang diartikan durhaka, melanggar hak, permusuhan, penganiayaan atau pelacuran. Dalam Alquran kata al-baghyu diulang sebanyak 11 kali, dengan arti yang berbeda-beda, sesuai dengan konteksnya. Kata al-baghyu dapat diartikan negatif, misalnya, pada surat Al-Baqarah [2]:90, An-Nisaa’ [4]: 19, dapat diartikan: penganiayaan atau perzinaan. Pada surat Hud [10]: 23, dapat diartikan “durhaka”, pada surat Al-An’am dapat diartikan “dosa”.

Dalam arti negatif, al-baghyu sering dimaknai sebagai tindakan zalim  atau melampui batas. Al-Baghyu dikaitkan dengan sikap atau tindakan lalim terhadap orang lain (Lihat: Tafsir al-Muyassar, VIII/459).
Al-Baghyu (kezaliman) bisa saja menyangkut badan, jiwa atau nyawa seseorang, yakni berupa tindakan menyakiti orang lain baik secara psikis (misal: melalui kata-kata yang penuh cacian dan penghinaan) maupun fisik (seperti: pemukulan, penyiksaan, pemerkosaan ataupun pembunuhan tanpa alasan yang dibenarkan). Seorang suami yang mencaci-maki dan menghinakan istrinya, apalagi sampai memukulnya tanpa alasan yang dibenarkan, misalnya, jelas telah melakukan tindakan al-baghyu (zalim). Demikian pula seorang anak yang durhaka terhadap kedua orangtuanya, baik dengan ucapan maupun tindakan.

Al-Baghyu (kezaliman) juga bisa menyangkut harta seseorang, yakni berupa tindakan mencuri, merampas, atau merampok harta orang lain dsb. Al-Baghyu (kezaliman) juga bisa terjadi saat seseorang tidak memenuhi kewajibannya terhadap orang lain. Seorang majikan, misalnya, yang telat membayar upah karyawannya—apalagi jika tidak membayarnya—jelas telah melakukan tindakan al-baghyu (lalim). Apalagi jika ia mempekerjakan karyawannya secara tidak manusiawi.

Al-Baghyu (kezaliman) juga bisa dilakukan oleh penguasa terhadap rakyat. Penguasa yang menelantarkan rakyatnya, tidak mengurus rakyatnya dengan sungguh-sungguh, tidak memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya, atau membiarkan rakyatnya banyak yang miskin, jelas adalah penguasa yang lalim. Apalagi jika ia merampas hak-hak rakyatnya, seperti menjual sumberdaya alam milik rakyat kepada pihak swasta atau asing. Semua ini merupakan kezaliman yang nyata.

Di luar itu, al-baghyu juga identik dengan sikap memberontak terhadap penguasa (imam/khalifah) yang sah, yang juga terlarang di dalam Islam, yang sering dikenal dengan istilah bughat.
Al-Baghyu (kezaliman) ini termasuk dosa yang tidak bisa dianggap ringan. Sebabnya, banyak nash yang menegaskan tentang balasan yang keras bagi para pelaku tindakan zalim tersebut. Bahkan balasan keras yang berupa hukuman dari Allah SWT tidak hanya akan dirasakan oleh pelakunya di akhirat saja, tetapi juga akan dia rasakan akibatnya di dunia. Abu Bakrah ra menuturkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Tidak ada dosa yang lebih utama untuk disegerakan azabnya oleh Allah SWT atas pelakunya di dunia—sementara di akhirat ia akan tetap diazab—daripada memutuskan silaturahmi dan bertindak zalim (al-baghyu).” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Dalam hadits di atas, tindakan zalim disetarakan dosanya dengan dosa memutuskan silaturahmi, yang juga merupakan dosa yang tidak bisa dianggap ringan.
Al-Baghyu (kezaliman) juga merupakan salah satu dosa di antara banyak dosa yang mesti diwaspadai berdasarkan apa yang dijelaskan oleh Baginda Rasulullah SAW. Dalam hal ini, Abu Hurairah ra berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya umatku bakal ditimpa penyakit sosial.’ Para sahabat bertanya, ‘Apa itu penyakit sosial?” Beliau bersabda, ‘Keburukan, kesombongan, saling membanggakan diri, saling bersaing meraih dunia, saling membenci, saling iri-dengki hingga saling menzalimi (al-baghyu) serta membuat kerusuhan dan pembunuhan.’” (HR Ibn Abi ad-Dunya’).

Sufyan bin Uyainah berkata bahwa seseorang telah berkata berdasarkan penuturan kakeknya, bahwa Nabi Muhammad SAW pernah menasihati seseorang dengan bersabda, “Aku melarang kamu atas tiga perkara: Janganlah kamu membatalkan janji dan membantu orang lain untuk membatalkan janjinya; kamu harus waspada terhadap tindakan zalim (al-baghyu) karena siapa saja yang berbuat zalim kepada orang lain maka Allah pasti akan menolong orang yang dia zalimi; kamu harus hati-hati terhadap tindakan makar karena makar yang buruk tidak akan menimpa kecuali kepada pelakunya, sementara Allah ‘Azza wa Jalla tetap akan menuntut dirinya.” (HR Ibn Abi ad-Dunya’).
Semoga kita bisa menghindari segala bentuk kezaliman terhadap orang lain supaya kita terhindar dari hukuman Allah SWT yang amat cepat kedatangannya. Wama tawfiqi illa bilLah. []

Minggu, 03 November 2013

SISTEM PENDIDIKAN NEGARA KHILAFAH


Pendidikan adalah asset berharga bagi bangsa. Kualitas pendidikan menentukan kualitas generasi suatu bangsa. Kalimat-kalimat tersebut sepertinya tidak asing lagi di telinga kita, bahkan dijadikan sebagai motivasi dalam setiap pidato para pemangku kekuasaan dalam perbaikan sistem pendidikan di negeri ini. Namun pada faktanya ternyata potret buram pendidikan Indonesia dari tahun ke tahun semakin memburuk. Kualitas SDM hasil didikan di Indonesia kian buruk, lulusan yang di hasilkan berfokus hanya agar menjadi seorang pekerja pabrik tanpa di motivasi menghasilkan karya sendiri, pengangguran juga terus meningkat pada tahun 2006, jumlah pengangguran dari lulusan universitas telah mencapai 385.000 orang (Kompas, 22/9/2006). Bukan hanya itu degradasi moral yang semakin ambruk terjadi di negeri ini kasus contek mencontek bukan hal baru bahkan sudah terbiasa, yang ga nyontek sok pinter and yang ga nyontekin termasuk teman yang pelit maka kudu dimusuhin. Ini terjadi pada Siami bocah kelas enam SD yang memegang penuh kejujuran, tidak mau memberikan jawaban ujian malah di usir bahkan di cemooh oleh orang tua murid yang lain (www.wordpress.com, 13/06/2011).
Begitu juga dengan fenomena UN tiap tahun UN tiap tahun pula terjadi kebocoran soal. Tahun 2010 kebocoran terjadi di 8 daerah Medan, Jakarta, Aceh, Jambi, Lampung, Jawa Timur , Palu dan Banten (SMAN1 Serang dan SMAN3 Serang) (antara/FINROLL News). Plagiarisme pun marak terjadi di Indonesia bahkan di bidang ilmiah yang terjadi di beberapa perguruan tinggi negeri dan biasanya terjadi pada program master dan doktor, contoh seperti kasus dugaan plagiat (penjiplakan) karya ilmiah yang diduga melibatkan guru besar Untirta, Prof Dr Sholeh Hidayat. (radarbanten.com, 16/02/2010). Ketua senat akademik IPB, Prof.Ir  Dudung Darusman bahwa kasus plagiat terjadi di semua perguruan tinggi baik PTN maupun PTS, namun ada yang terungkap dan ada yang tidak terungkap.(tempo interaktif).
Adapun Program RSBI/SBI, kenyataannya hanya dinikmati segelintir anak bangsa dari keluarga mampu yang sanggup membayar harga berkisar dari Rp 30 juta hingga Rp 60 juta dengan biaya bulanan sekitar Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta per bulan.  Jelas anak orang miskin DILARANG KERAS untuk bisa menikmati RSBI (yang dipandang sekolah ‘unggulan’). Selain itu program ini juga mengharuskan sekolah berikut kepala sekolah berbondong-bondong melakukan studi banding ke luar negeri untuk mengekor konsep Negara-negara barat, seperti yang dilakukan oleh 41 orang Kepala SMP se-Semarang bersama Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang studi banding ke singapura terkait dengan pengembangan SBI (beritasore.com/3 juni/2008). Demikian juga yang dilakukan 30 kepala sekolah SD-SMP-SMA kota bandung, sukarela mengeluarkan biaya 10 juta untuk melakukan kunjungan ke tiga negara (malaysia,thailand dan singapura) untuk melakukan studi banding terkait SBI.  Dengan demikian semakin banyak lah dana negeri ini yang mengalir keluar demi kepentingan para Kapitalis.
Sarana dan prasarana juga menunjukkan keprihatinan. Di banten, sebanyak 200 dari 710 gedung SD yang ada di kabupaten serang, hingga kini masih dalam kondisi rusak berat.(indopos.com)
Indonesia adalah negeri dengan penduduk ke empat terbesar di dunia, dari segi kuantitas SDM tidak di ragukan lagi potensinya, apalagi negeri ini adalah negeri dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Hal ini yang menjadi sasaran penjajah kapitalis untuk memperoleh keuntungan salah satunya melalui pendidikan. Dengan kapitalisasi dalam dunia pendidikan akan terwujud SDM yang pro kapitalis yang cenderung pada kebijakan ekonomi kapitalis. Pendidikan semakin mahal, dan hanya bisa di akses oleh orang2 ber-Uang, orang miskin dilarang sekolah.. Orientasi pendidkan peserta didik pun tidak lebih dari sekedar ingin cepat lulus, dapat kerja yang layak dan segara mungkin mengembalikan modal yang telah dikeluarkan untuk sekolah/kuliah. Kurikulumnya yang diterapkan senantiasa mengalami perubahan yang cepat dan terkesan terburu-buru, mulai dari kurikulum KBK (Kurikulum berbasisi kompetensi), KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dan berbagai variasi lainnya.Perubahan kurikulum yang begitu cepat mengakibatkan banyak kebingungna pada guru maupun siswa. Mata pelajaran pendidikan agama yang di ajarkan tidak proporsional anak didik lebih banyak belajar mengenai demokrasi, HAM, Pluralisme, yang merupakan ajaran pokok kapitalisme.
Dari segi Lalu seperti apa sistem pendidikan yang benar, sistem pendidikan yang menghasilkan generasi berkualitas ? Mari kita telaah sejarah.
Dalam Islam, negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan, bukan hanya persoalan yang berkaitan dengan kurikulum, akreditasi, gaji guru, metode pengajaran, dan bahan-bahan ajarnya, tetapi juga mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. (Bunga Rampai Syari'at Islam.hal 73).  Negara wajib menyempurnakan sektor pendidikan melalui sistem pendidikan bebas biaya bagi seluruh rakyatnya.  Dalil yang menunjukkan bahwa pendidikan bebas biaya menjadi tanggung jawab Khilafah Islam, ialah berdasarkan perbuatan Rasulullah SAW dan ijma sahabat.
Rasulullah SAW telah menentukan tebusan tawanan Perang Badar berupa keharusan mengajar sepuluh kaum Muslim dan ijma sahabat telah menetapkan tentang penetapan khalifah dalam memberi gaji kepada para pengajar dari Baitul maal dengan jumlah tertentu.
Negara Khilafah wajib menyelenggarakan pendidikan berdasarkan apa yang dibutuhkan manusia di dalam kancah kehidupan bagi setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan dalam dua jenjang pendidikan; jenjang pendidikan dasar (ibtidaiyah) dan jenjang pendidikan menengah (tsanawiyah). Negara wajib menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh warga negara secara cuma-cuma. Mereka diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melanjutkan pendidikan tinggi secara cuma-cuma. Negara Khilafah menyediakan perpustakaan, laboratorium, dan sarana ilmu pengetahuan lainnya, selain gedung-gedung sekolah, kampus-kampus, untuk memberi kesempatan bagi mereka yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti fiqh, ushul fiqh, hadits dan tafsir, termasuk di bidang pemikiran, kedokteran, teknik kimia serta penemuan, inovasi, dan lain-lain, sehingga di tengah-tengah umat lahir sekelompok mujtahid, penemu, dan inovator.
Sistem pendidikan negara Khilafah disusun dari sekumpulan hukum syara dan berbagai peraturan administrasi yang berkaitan dengan pendidikan formal. Hukum-hukum syara  yang berkaitan dengan pendidikan formal terpancar dari akidah Islam dan mempunyai dalil-dalil yang syar'i seperti mengenai materi pengajaran dan pemisahan antara murid laki-laki dan perempuan. Sedangkan berbagai peraturan administrasi di bidang pendidikan merupakan sarana dan cara yang diperbolehkan yang dipandang efektif oleh pemerintah dalam menjalankan sistem pendidikan dan merealisasikan tujuan pendidikan. Peraturan-peraturan administrasi di bidang pendidikan merupakan urusan duniawi yang dapat dikembangkan yang diubah sesuai dengan kondisi. Begitu pula halnya dengan sarana pelaksanaan hukum-hukum syara yang berkaitan dengan pendidikan dan kebutuhan pokok bagi umat, sama dengan dibolehkannya mengambil apa pun yang pernah dihasilkan oleh umat-umat lain, berupa berbagai eksperimen, keahlian, dan penelitian yang hukumnya mubah. Sejarah Islam pun telah mencatat kebijakan para kholifah yang menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya. Sejak abad ke IV H para kholifah membangun berbagai perguruan tinggi dan berusaha melengkapinya dengan berbagai sarana dan prasarana seperti perpustakaan. Setiap PT dilengkapi dengan auditorium, asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama, PT tersebut juga di lengkapi taman rekreasi, kamar mandi, dapur dan ruang makan.
Sejarah telah mencatat tentang keberhasilan Khilafah Islamiyyah dalam menerapkan sistem pendidikan yang mampu mencetak generasi yang berkualitas dan diakui oleh pihak lawan. Cukuplah pengakuan dari  Robert Briffault dalam Buku “Making of Humanity” yang menyatakan: “Dibawah kekuasaan orang-orang Arab dan Moor (kaum Muslimin) kebangkitan terjadi, dan bukan pada abad ke-15 Renaissance sesungguhnya berlangsung.  Spanyol-lah tempat kelahiran Eropa, bukan Italia.  Setelah terus menerus mengalami kemunduran, Eropa terperosok ke dalam masa kegelapan, kebodohan dan keterbelakangan.  Sedangkan pada saat yang sama, kota-kota Sarasin (kaum Muslimin) seperti Baghdad, Kairo, Cordova dan Toledo menjadi pusat-pusat peradaban dan aktivitas pendidikan.  Disanalah kehidupan baru muncul dan berkembang menuju tahap baru evolusi umat manusia.  Sejak saat pengaruh kebudayaan mereka mulai dirasakan, sampai kemudian menggerakkan roda kehidupan.  Melalui para penerusnya di Oxford (yaitu penerus kaum Muslim di Spanyol), Roger Bacon belajar bahasa Arab dan ilmu-ilmu Arab.  Bukanlah Roger Bacon atau orang-orang yang sesudahnya yang berhak menyandang penghargaan karena telah memperkenalkan metode eksperimental.  Roger Bacon tidak lebih hanyalah salah satu orang yang mempelajari ilmu penge tahuan dan metode milik kaum Muslim untuk kepentingan orang Kristen-Eropa; dan dia tidak pernah jemu mengatakan bahwa Bahasa Arab dan Ilmu pengetahuan kaum Muslim merupakan satu-satunya jalan bagi para koleganya untuk mendapatkan pengetahuan yang sejati.  Perdebatan mengenai siapa sesungguhnya yang menemukan metode eksperimental… merupakan salah satu wujud ketidakpahaman kolosal dari para pendiri peradaban Eropa.  Sejak masa Roger Bacon , metode eksperimental milik kaum Muslim telah tersebar luas dan dimanfaatkan secara antusias di seluruh Eropa” (Robert Briffault,”The Making of Humanity”London.1938).
Generasi terbaik ini selain mereka ilmuan kebanyakan dari mereka juga ulama. Sebenarnya kebanyakan  ilmuan Islam lebih dahulu menemukan penemuan besar dibandingkan ilmuan barat. Masih kita ingat beberapa nama terkenal ilmuan Islam seperti  al-khawarizmi (penemu angka nol ),  Abbas ibnu firnas (peletak dasar teori pesawat terbang ), ibnu hayyan (ahli kimia, astronomi), ibnu sina (kedokteran), abu al rahyan (ilmu bumi,matematika, dan astronomi, antropologi, psikologi dan kedokteran ), abu ali hasan ibn al-haitsam (fisikawan terkenal dalam hal optik dan ilmu ilmiah), dsb
Bagaimana bisa seperti itu?
Allah S.W.T sebenarnya telah menetapkan kualitas generasi yang dihasilkan dari proses pendidikan dalam Islam adalah generasi yang secara individual berkualitas  ulul albab (intelektual) secara generasi adalah  khoiru ummah. Ada 2 faktor penyebabnya2:       
1) Paradigma yang berkembang di masyarakat Islam, akibat faKtor aqidah yang menjadikan ilmu  “sudara kembar” dari iman. Menuntut ilmu sebagai ibadah, salah satu jalan mengenal Allah, ahli ilmu sebagai pewaris para nabi. Paradigma ini menggantikan paradigma jahiliyah, juga paradigma Romawi, Persia atau India kuno yang menjadikan ilmu sesuatu yang privilese kasta tertentu dan rahasia bagi awam. Motivasi pencarian ilmu dimulai dari hadist-hadist seperti “ mencari ilmu itu hukumnya fardu atas muslim laki2 dan muslim perempuan ”, ”carilah ilmu dari buaian ibu sampai liang lahat “, “ carilah ilmu, walau sampai ke negeri cina
2) Peran negara sangat kuat (seperti yang telah dipaparkan sebelumnya) dalam menyediakan stimulus-stimulus positif dalam perkembangan ilmu. Dalam Islam politik mempunyai makna pengaturan urusan ummat. Negara merupakan lembaga yang mengatur urusan tersebut secara praktis. Di sisi lain, ummat memberikan koreksi kepada pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Sementara tujuan politik Islam adalah memelihara kehidupan masyarakat dengan hukum-hukum Islam dalam aspek-aspek penting manusia dan kehidupan yaitu: memelihara keturunan, memelihara akal, memelihara kehormatan, memelihara jiwa manusia, memelihara harta, memelihara agama, memelihara keamanan, dan memelihara negara. Termasuk bidang pendidikan, demi tercapainya tujuan politik Islam yakni memelihara akal, maka Negara berkewajiban mendorong manusia untuk menuntut ilmu, melakukan tadabbur, ijtihad dan berbagai perkara yang bisa mengembangkan potensi akal manusia dan memuji eksistensi orang2 berilmu. (lihat TQS almaidah:90-91, TQS Azzumar : 9, TQS Al-mujadilah:11).
Daulah khilafah tidak akan menyelenggarakan pendidikan secara diskriminatif. Pendidikan bebas bea yang bermutu dari tingkat dasar hingga menengah akan disediakan untuk seluruh warga Negara tanpa membedakan agama, mahzab, ras, suku bangsa maupun jenis kelamin. Sehingga tidak ada dalam kamus sejarah Islam bahwa pemerintahan mencari keuntungan atau menarik bayaran dari rakyat dalam menyelenggarakan pendidikan. Karena paradigma Negara menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan primer rakyat yang wajib di penuhi. Hal ini kemudian menjadi ruh dalam politik ekonomi Islam yakni jaminan terpenuhinya pemuasan kebutuhan primer baik secara individu yaitu sandang, pangan, dan papan serta  kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan yaitu keamanan, pengobatan dan pendidikan. Politik dalam negeri Islam akan menjamin tercegahnya pendidikan sebagai bisnis atau komoditas ekonomi. Apalagi sampai menarik bayaran atau tarif tertentu kepada rakyat yang kemudian memunculkan diskriminasi.
Tujuan umum pendidikan dalam sistem pendidikan khilafah
  • Berkepribadian islam
  • Menguasai tsaqofah Islam
  • Menguasai ilmu kehidupan ( sains, teknologi dan seni ) sesuai syariat Islam.
Tujuan asas pendidikan dalam daulah khilafah yaitu membangaun kepribadian Islam, dengan cara menjalankan pembianaan, pengaturan, dan pengawasan di seluruh aspek pendidikan melalui penyusunan kurikulum, pemilihan guru yang kompeten. Karena kualifikasi  yang  pencapaiannya harus diamati dalam kehidupan sehari-hari bukan sekedar menilai dengan jawaban-jawaban dalam ujian tertulis atau lisan.
Metode pengajaran
Metode pengajaran berupa penyampaian dan penerimaan pemikiran dari pengajar kepada pelajar. Cara penyampaian dan penerimaan pemikiran melalui cara mendengar atau membaca, maka yang menyampaikan baik lisan maupun tulisan dengan mengambaran fakta yang belum pernah diperoleh sebelumnya seolah-olah merasakan fakta tersebut. Pendidikan bukan hanya untuk kepuasan intelektual semata, tetapi membentuk kepribadian  Islam (pola pikir dan pola sikap islam).
Teknik dan sarana pengajaran
Penggunaan teknik pengajaran yang tepat adalah dengan menginsifkan metode rasional (aqliyah) pada siswa, karena metode tersebut  merupakan landasan bagi proses berfikir yang cemerlang dan kebangkitan yang berasaskan islam.
Ujian dalam sistem pendidikan khilafah lebih dikenal dengan pemberian “ijazah”. Seorang siswa yang telah bertahun-tahun menekuni suatu ilmu dan telah nampak penguasannya atas ilmu tersebut, maka diselenggarakan suatu sidang yang dihadiri oleh para ulama dan ilmuwan. Dalam sidang itu siswa akan ditanyai mengenai ilmu yang dia tekuni. Apabila terlihat tanda kecakapan dan keistimewaan pada dirinya,ia diberi hak untuk perbuatan-perbuatan. (1)mengajarkan ilmunya ; (2) meriwayatkan hadist Rosululloh SAW dari guru-gurunya; (3) berfatwa  ; (4) mengobati penyakit bila ia sudah menguasai ilmu kedokteran; (5) meracik obat-obatan, dll sesuai dengan kepandaiannya. Teknik yang dipakai dalam ujian adalah ujian lisan.
Dalam kekhilafahan Islam tidak terdapat sistem ujian karena akan menghambat para siswa untuk melanjutkan studinya, bahkan bisa menjadi suatu paksaan bagi siswa untuk mempelajari bidang ilmu yang tidak dikuasainya. Kekhilafahan Islam akan mengadakan diskusi dan wawancara langsung bersama siswa untuk mengetahui sejauh mana kemampuannya dalam mengajar dan pemahaman mengenai ilmu yang ia pelajari dan kreativitas serta keterampilannya dalam “mencipta” dan mengajarkan sesuatu. (Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, Abdurrahman al Baghdadi)
Pembiayaan pendidikan dalam khilafah
Pembiayaan  pendidikan untuk seluruh tingkatan sepenuhnya tanggung jawab negara yang diperoleh dari baitul maal. Sumber baitul maal dari (1) fa’i dan kharaj yang merupakan kepemilikan negara seperti ghonimah, jizyah dan pajak. (2) pos kepemilikan umum seperti dari tambang miyak dan gas, hutan dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). Adapun pendapatan dari zakat mempunyai peruntukan sendiri  untuk 8 golongan mustahik bukan untuk pendidikan Zalum, 1983; an-nabhani , 1990 dikutip dari alwaie mei 2007)
Bagaimana agar semua itu terwujud
Islam akan menjadi rahmatan lil alamin jika diterapkan secara sempurna dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah. Terlanjutnya kembali kehidupan Islam akan menjamin terpenuhinya seluruh hak-hak ummat termasuk pendidikan. Upaya mewujudkannya kembali adalah dengan berdakwah sebagaimana yang telah dicontohkan oleh rosul. Berdakwah mengikuti metode rosul yang memerlukan pengorbanan dan perjuangan yang tidak setengah hati dalam maenjalankannya. Allah akan membeli jiwa dan harta kita dengan surga.
Lingkungan kampus merupakan lingkungan yang paling efektif dalam menjalankan mobilitas dakwah. Hal ini disebabkan kampus adalah basisnya para pemuda yang tengah matang-matangnya dalam berpikir. Aktivitas dakwah harus dilihat dari makna komunitas bukan personal per personal.  Banyak hambatan yang terjadi dalam dakwah kampus contohnya kuliah di sebuah kampus yang bisa dikatakan “hedonis”. Kegiatan-kegiatan mahasiswanya termasuk banyak, hanya kecenderungannya lebih ke arah hura-hura. Walaupun masih ada yang ke arah social ataupun peningkatan minat dan bakat. Organisasi keislaman yang ada akhirnya cenderung lebih menjadi eksklusif dan kurang berinteraksi dengan kebanyakan mahasiswa terbentuk oleh lingkungan hedonis ini sangat miris sekali.dicuekin sering dianggap ngomong ga penting pun tak jarang, ini merupakan tantangan dakwah kampus.
    Opini dalam dakwah sangatlah penting walau banyak hambatan jangan pantang menyerah untuk terus beropini. Opini dakwah dapat dilakukan melalui :
  • Penyebaran dan pendiskusian buletin dakwah.
  • Opini dakwah lewat jejaring sosial yang sangat digemari oleh kaum mahasiswa saat ini.
  • Mengadakan aksi simpatik pada moment-moment tertentu
  • Mengadakan dialog pemikiran
  • Mengadakan seminar-seminar keislaman
  • Mengadakan acara bersama dengan Lembaga Dakwah kampus lainnya.
  • Mengadakan bedah buku 


http://mhtichapterkampus-serang.blogspot.com/2013/01/sistem-pendidikan-negara-khilafah.html