بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Jumat, 27 September 2013

SJ:Jihad dalam Perjuangan Untuk Menegakkan Daulah dan Ifadhah dalam Haji



بسم الله الرحمن الرحيم


Jawaban Soal:
1. Jihad dalam Perjuangan Untuk Menegakkan Daulah
2. Ifadhah dalam Haji

Pertanyaan pertama:                                      
Ada yang mengatakan bahwa Hizbut Tahrir bersandar pada fase Makkah dalam usahanya untuk menegakkan al-Khilafah dan bukan bersandar pada fase Madinah. Maka Hizbut Tahrir menilai aksi-aksi perang “jihad” pada fase dakwah untuk menegakkan al-Khilafah adalah menyalahi syara’, sebab Rasul saw tidak melakukan yang demikian … Dan orang yang mengatakan itu menambahkan, kenapa tidak diambil dalil-dalil penegakan Khilafah dari fase Madinah di mana jihad dilaksanakan dan diterapkan? Apakah ada jawaban yang mencukupi pada masalah ini? Semoga Allah memberikan balasan yang baik kepada Anda.

Jawab:
Dalam pertanyaan ini ada sejumlah perkara yang perlu penjelasan:
  1. Dalil-dalil yang ada, baik dari al-Kitab maupun dari as-Sunah, wajib diikuti menurut ketentuannya. Tidak ada perbedaan antara dalil-dalil yang dinyatakan di Makkah al-Mukarramah dan dalil-dalil di Madinah al-Munawarah.
  2. Dalil-dalil yang dituntut adalah dalil-dalil atas permasalahan terkait dan bukan dalil-dalil atas permasalahan lain:
  3. Misalnya, jika saya ingin mengetahui bagaimana berwudhu, saya mencari dalil-dalil wudhu itu bagaimana, baik dalil itu diturunkan di Makkah atau pun di Madinah; dan darinya diistinbath hukum syara’ wudhu sesuai ushul yang diikuti…  Dan saya tidak mencari dalil-dalil puasa untuk diambil darinya hukum wudhu dan tata cara wudhu.
  4. Contoh lain, jika saya ingin mengetahui hukum haji, maka saya juga akan mencari dalil-dalil haji itu bagaimana, baik diturunkan di Makkah ataupun di Madinah, dan darinya diistinbath hukum syara tentang haji sesuai ushul yang diikuti. Sudah tentu saya tidak mencari dalil-dalil shalat untuk saya ambil darinya hukum haji dan tata caranya.
  5. Misal lain, jika saya ingin mengetahui hukum-hukum jihad: fardhu ‘ain atau kifayah, defensif atau ofensif, hukum-hukum penaklukan dan penyebaran Islam yang menjadi konsekuensi jihad, penaklukan secara peperangan atau perjanjian, dll… Maka saya mencari dali-dalil jihad itu sendiri, baik diturunkan di Makkah atau di Madinah, dan darinya diistinbath hukum syara’ tentang jihad itu sesuai ushul yang diikuti. Sudah tentu saya tidak mencari dali-dalil zakat untuk saya ambil darinya hukum jihad dan rinciannya.
  6. Begitulah dalam setiap permasalahan, harus dicari dalil-dalilnya, baik yang diturunkan di Makkah atau di Madinah, dan diambil hukum syara’ untuk permasalahan tersebut dari dalil-dalil ini sesuai ushul yang diikuti.
  7. Sekarang kita tiba ke permasalahan penegakan Daulah Islamiyah, dan kita cari dalil-dalilnya, baik yang diturunkan di Makkah atau di Madinah, dan darinya diistinbath hukum syara’ sesuai ushul yang diikuti.
Sungguh kita tidak menemukan dalil-dalil penegakan Daulah Islamiyah kecuali yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sirah beliau di Makkah al-Mukarramah. Beliau menyeru kepada Islam secara rahasia, hingga beliau membentuk kutlah mukminah yang sabar… Kemudian beliau mendeklarasikan di tengah masyarakat di Makkah dan di berbagai musim … kemudian beliau meminta nushrah ahlul quwah. Maka Allah SWT memuliakan beliau dengan kaum Anshar, lalu beliau berhijrah kepada mereka dan menegakkan Daulah.
Inilah dalil-dalil penegakan Daulah, dan tidak ada dalil lainnya. Rasul SAW telah menjelaskannya untuk kita dalam sirah beliau dengan penjelasan yang mencukupi. Dan kita wajib berpegang kepadanya. Jadi topiknya bukan pada fase Makkah sebelum diwajibkannya jihad dan fase Madinah setelah diwajibkan Jihad. Akan tetapi topiknya adalah pembahasan tentang dali-dalil penegakan Daulah. Dalil-dalil penegakan Daulah itu tidak ada kecuali di Makkah sampai Rasulullah SAW berhijrah ke Madinah dan menegakkan Daulah.
Ini adalah satu hal, sementara jihad adalah hal lain. Seperti yang kami katakan, maka dalil-dalil penegakan Daulah diambil dari yang diduga kuatnya dan dalil-dalil jihad diambil pula dari yang diduga kuatnya. Dan yang ini berbeda dari yang itu, dan yang satu tidak bergantung pada yang lain. Karena itu, jihad tidak diabaikan dengan tidak adanya Daulah al-Khilafah. Rasul SAW bersabda:
«وَالْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِي اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِي الدَّجَّالَ، لَا يُبْطِلُهُ جَوْرُ جَائِرٍ وَلَا عَدْلُ عَادِلٍ»
Jihad terus berlangsung sejak Allah mengutusku sampai umatku yang terakhir memerangi dajjal, jihad itu tidak dibatalkan oleh kejahatan orang yang jahat dan keadilan orang yang adil. (HR al-Baihqai di Sunan al-Kubra dari Anas bin Malik)

Karena itu, jihad tetap berlangsung sesuai hukum-hukum syara’nya baik khilafah sudah tegak atau belum tegak.
Demikian juga perjuangan penegakan al-Khilafah tidak boleh diabaikan, meskipun  hukum-hukum jihad terabaikan. Perjuangan untuk al-Khilafah tetap berlangsung sampai al-Khilafah tegak. Sebab, bagi kaum Muslimin yang memiliki kemampuan, haram di pundaknya tidak ada baiat untuk khalifah … Imam Muslim telah mengeluarkan dari Abdullah bin Umar ia berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
«مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ، لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»
Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, niscaya ia menjumpai Allah pada Hari Kiamat kelak tanpa memiliki hujjah. Dan siapa saja yang mati dan di pundaknya tidak ada baiat, ia mati dengan kematian jahiliyah

Atas dasar itu, jihad tetap berlangsung dan perjuangan untuk al-Khilafah tetap berlangsung sampai ditegakkan. Dan yang satu tidak bergantung pada yang lain. Keduanya adalah dua masalah. Masing-masing dicari dalil-dalil syara’nya dan darinya diistinbath hukum syara’ khusus dengan permasalahan tersebut sesuai ushul yang diikuti.
  1. Karena itu, Hizb berpegang kepada metode Rasul SAW yang beliau jelaskan di Makkah sampai beliau mendirikan Daulah di Madinah. Tidak adanya penggunaan aktivitas perang selama tahapan dakwah untuk menegakkan Daulah bukan masalah fase Makkah dan fase Madinah, akan tetapi dalil-dalil penegakan Daulah tidak lain hanyalah yang Rasul SAW jelaskan di Makkah sampai beliau menegakkan Daulah di Madinah. Jadi masalahnya adalah metode penegakan Daulah. Dalam hal ini tidak ada metode yang Rasul SAW jelaskan kecuali metode yang ada dalam sirah Rasul SAW di Makkah.
Seandainya masalahnya adalah tentang aktivitas-aktivitas Daulah Islamiyah dan strukturnya … niscaya kami mengambilnya dari dalil-dalil yang Rasul SAW jelaskan di Madinah, sebab Daulah ditegakkan di sana.
  1. Kesimpulan:
  2. Hukum-hukum suatu masalah diambil dari dalil-dalil yang dinyatakan pada masalah tersebut baik diturunkan di Makkah atau di Madinah. Hukum-hukum puasa diambil dari dalil-dalil puasa, hukum-hukum shalat diambil dari dalil-dalil shalat, hukum-hukum jihad diambil dari dalil-dalil jihad dan hukum penegakan Daulah diambil dari dalil-dalil penegakan Daulah… begitulah.
  3. Sesungguhnya berpegang kepada metode Rasul saw di Makkah al-Mukarramah untuk menegakkan Daulah adalah karena tidak ada dalil-dalil untuk penegakan Daulah kecuali dalil-dalil yang dijelaskan di Makkah al-Mukarramah … Seandainya di situ ada dalil-dalil yang dinyatakan di Madinah untuk menegakkan Daulah niscaya juga beristidlal dengannya juga.
Kami memohon kepada Allah SWT pertolongan dan taufiq untuk menegakkan Daulah Islamiyah, al-Khilafah ar-Rasyidah, sehingga Islam dan kaum Muslimin menjadi mulia dan kekufuran dan orang-orang kafir menjadi hina, kebaikan tersebar ke seluruh penjuru dunia dan Allah Maha Perkasa atas yang demikian itu.

Pertanyaan kedua:
Saya memikirkan firman Allah di surat al-Baqarah:
فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ * ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. (198) Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (TQS al-Baqarah [2]: 198-199)

Ayat pertama (artinya) “Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam.” Memberi pengertian bertolak (ifadhah) dari Arafat ke Masy’ar al-Haram, yakni ke Muzdalifah. Sedangkan ayat kedua setelahnya, (artinya) “kemudian bertolaklah …” memberi pengertian bahwa di situ ifadhah (bertolak) lain dari Muzdalifah ke Mina. Apakah ini berarti ada dua ifadhah: pertama, orang-orang yang berhaji wukuf di Arafah dan bertolak ke Muzdalifah; dan kedua, orang-orang yang berhaji berdiam di Mudalifah dan bertolak ke Mina, mengingat apa yang kami ketahui adalah bahwa wukuf di Arafah dan dari situ dilakukan ifadhah …?
Saya mohon penjelasan masalah ini. Semoga Allah memberi Anda balasan yang baik.

Jawab:
Sesungguhnya ya Akhi, yang ada hanya satu ifadhah, yaitu dari Arafah ke Muzdalifah. Inilah yang disebut ifadhah. Untuk menjelakan hal itu saya jelaskan makna kedua ayat tersebut:
Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat”, yakni jika kalian mendorong diri kalian dengan banyak dari Arafat, diambil dari fâdhu al-mâ` jika mengalir deras, jadi itu diambil dari ifâdhah al-mâ` yaitu disiramkan/dialirkan dengan banyak.
Dan ‘Arafat disini bukanlah bentuk jamak untuk ‘Arafah, akan tetapi itu adalah makna tempat yang sudah dikenal dalam haji, yaitu isim dalam bentuk lafazh jamak, sehingga tidak dijamakkan dan tidak ada tunggalnya. Artinya di situ tidak ada bagian-bagian dalam wukuf di mana tiap-tiapnya disebut ‘Arafah, kemudian dibentuk jamak menjadi ‘Arafât, akan tetapi ‘Arafah dan ‘Arafât maknanya satu yakni nama tempat yang sudah dikenal. Huruf ta’ dalam ‘Arafât bukan ta’ at-ta’nits dan karena itu disharaf yakni tidak menghalangi sharaf.
(Artinya) “dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.” Yakni jika kalian sebelum kedatangan Rasul saw dengan membawa petunjuk, dan penjelasan hukum-hukum syara’ untuk haji dan lainnya, niscaya kalian termasuk orang-orang sesat.
Masy’aril Haram adalah Muzdallifah seluruhnya seperti yang dikatakan Ibn Umar ra. Muzdalifah juga disebut dengan bentuk jamak.
“Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”, yakni jadikanlah hai penduduk Makkah ifadhah kalian semisal manusia lainnya, dari ‘Arafah ke Muzdalifah dan bukan dari Muzdalifah. Artinya wukuf kalian adalah di Arafah dan bukan di Muzdalifah. Dalam hal ini ada pembatalan apa yang menjadi kebiasaan Quraisy pada masa jahiliyah di mana mereka wukuf di Muzdalifah dan tidak wukuf di ‘Arafah seperti manusia lainnya. Dahulu pada masa jahiliyah, Quraisy tidak berwukuf di Arafah di mana merupakan al-hall, akan tetapi mereka wukuf di Muzdalifah sebab termasuk al-haram. Mereka mengatakan, kami adalah penduduk Baitullah al-haram maka kami tidak keluar dari al-haram. Mereka menyebutnya “al-hums” dan mereka wukuf secara khusus di Muzdalifah berbeda dengan manusia seluruhnya. Maka di dalam ayat yang mulia ini Allah SWT memerintahkan Quraisy untuk bertolah (ifadhah) sebagaimana orang-orang bertolak tanpa perbedaan, dan agar Quraisy memohon ampunan kepada Allah disebabkan kesalahan mereka sebelumnya berhaji tidak berdasarkan petunjuk. Dan Allah SWT maha pengampun untuk hamba-hamba-Nya yang mukhlis lagi Maha Penyayang kepada mereka.
Imam al-Bukhari dan Muslim telah mengeluarkan dan lafazh al-Bukhari dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Aisyah ra.:
«كَانَتْ قُرَيْشٌ وَمَنْ دَانَ دِينَهَا يَقِفُونَ بِالْمُزْدَلِفَةِ، وَكَانُوا يُسَمَّوْنَ الحُمْسَ، وَكَانَ سَائِرُ العَرَبِ يَقِفُونَ بِعَرَفَاتٍ، فَلَمَّا جَاءَ الإِسْلاَمُ أَمَرَ اللَّهُ نَبِيَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَأْتِيَ عَرَفَاتٍ، ثُمَّ يَقِفَ بِهَا، ثُمَّ يُفِيضَ مِنْهَا» فَذَلِكَ قَوْلُهُ تَعَالَى: ((ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ))»
Dahulu Quraisy dan yang beragama mengikuti Quraisy, mereka wukuf di Muzdalifah, mereka menyebutnya al-hums, dan seluruh orang arab wukuf di Arafah. Ketika datang Islam, Allah SWT memerintahkan Nabi-Nya saw agar datang ke Arafah dan wukuf disitu kemudian bertolak (ifadhah) dari situ. Yang demikian itu firman Allah SWT: (artinya) “kemudian bertolaklah kami dari tempat orang-orang bertolak”.

Atas dasar makna ini, maka kata tsumma merupakan kata sambung (‘athaf) terhadap akhir ayat sebelumnya:
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal (TQS al-Baqarah [2]: 197)

Yakni bahwa di dalam ayat tersebut ada “dikedepankan dan diakhirkan dari sisi makna (taqdîman wa ta`khîran min haitsu al-ma’nâ). Seolah-olah urutan maknanya sebagai berikut: Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. Kemudian bertolaklah dari tempat dimana orang-orang banyak bertolak dari ‘Arafah dan bukan dari Muzdalifah seperti yang dahulu dilakukan Quraisy pada masa jahiliyah. Dan jika kalian bertolak dari ‘Arafah dan kalian laksanakan perintah Allah maka pergilah kalian ke Muzdalifah dan ingatlah kepada Allah di Masy’aril Haram –yakni Muzdalifah- dan pujilah Allah atas petunjuk-Nya kepada kalian setelah sebelumnya kalian sesat tidak mendapat petunjuk”.
Tampaknya, yang mendorong munculnya pertanyaan adalah si penanya membaca bahwa ‘tsumma” merupakan huruf ‘athaf yang memberi pengertian urutan dalam aktivitas-aktivitas disertai kelonggaran dengan makna terjadinya apa yang sesudah kata tsumma terjadi setelah apa yang sebelum kata tsumma secara longgar yakni setelah tenggat tertentu. Dan menurut hal itu maka pemahaman kedua ayat itu:
Dipahami dari ayat sebelumnya “Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam” yakni di Muzdalifah jadi orang-orang yang berhaji telah sampai ke Muzdalifah.
Dan dari ayat kedua dipahami “kemudian bertolaklah dari tempat seperti orang-orang banyak bertolak”, disertai makna tsumma yang ada di dalam benaknya, bahwa maknanya: kalian telah sampai ke Muzdalifah dan setelah kalian mengingat Allah dan shalat fajar bertolaklah ke Mina. Artinya maknanya seperti yang dia pandang “kemudian bertolaklah dari tempat orang-orang bertolak” adalah: kemudian bertolaklah dari Muzdalifah ke Mina. Tampaknya inilah sebab munculnya pertanyaan pada dirinya.
Masalahnya tidak demikian. Penjelasannya dari dua sisi:
Pertama, bahwa apa yang telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim seputar turunnya ayat tersebut membuat makna “kemudian bertolaklah dari tempat orang-orang bertolak” yakni bertolaklah dari ‘Arafah dan bukan dari Muzdalifah. Allah telah memfardhukan kepada orang-orang yang berhaji untuk bertolak dari ‘Arafah dan demikian pula Quraisy.
Kedua, bahwa kata “tsumma” berarti urutan disertai kelonggaran dan bahwa apa disebutkan sesudah kata tsumma dari sisi kejadiannya terjadi setelah apa yang disebutkan sebelum kata tsumma. Akan tetapi ini tidak semua makna tsumma. Namun kata tersebut (tsumma) juga dipakai pada makna selain ini. Di antara penggunaannya adalah dari sisi kejadiannya apa yang disebutkan sesudah tsumma justru terjadi lebih dahulu sebelum apa yang disebutkan sebelum kata tsumma. Akan tetapi ini perlu qarinah dan dilakukan untuk menonjolkan tujuan yang dituntut. Orang arab mengatakan: “apa yang kamu lakukan hari ini membuatku takjub kemudian apa yang engkau perbuat kemarin lebih menakjubkan”. Disini “apa yang engkau perbuat kemarin” diathafkan ke “apa yang engkau perbuat hari ini”, artinya pengathafan yang belakangan kepada yang sebelumnya tanpa sesuai dengan urutan di antara keduanya. Hanya saja makna yang masyhur dari kata tsumma adalah apa yang disebutkan sesudah kata tsumma terjadi belakangan sesudah apa yang disebutkan sebelum kata tsumma dengan ada jangka waktu di antara keduanya. Karena itu, kami katakan bahwa penggunaan kata tsumma seperti makna lain itu memerlukan qarinah. Dan maksud dari penggunaan seperti itu adalah menonjolkan perkara yang dituntut sebab perbedaan alur pada penggunaan oleh orang arab yang fasih terjadi untuk suatu tujuan dan bukannya tanpa tujuan.
Dengan mengkaji ucapan orang arab sebelumnya itu kita temukan bahwa qarinah yang menunjukkan bahwa apa yang disebutkan sesudah tsumma terjadi lebih dahulu sebelum apa yang disebutkan sebelum tsumma adalah penggunaan yang jelas kata “kemarin” setelah tsumma dan penggunaan “hari ini” sebelum tsumma.
Adapun perkara yang ingin ditonjolkan pada ucapan mereka ini adalah mengecilkan nilai apa yang diperbuat hari ini. Jadi zahir ucapan itu adalah pujian terhadap apa yang dilakukan kemarin dan hakikatnya adalah celaan terhadap kemampuannya … dan bukannya mengalami kemajuan aktivitas justru menurun dari sebelumnya. Jadi aktivitas hari ini lebih rendah dari aktivitas kemarin.
Dan dalam ayat yang mulia itu qarinahnya adalah sebab turunnya seperti yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
Sedangkan tujuan yang diinginkan untuk ditonjolkan adalah membatalkan apa yang menjadi kebiasaan Quraisy yaitu wukuf di Muzdalifah dan tidak pergi untuk wukuf di Arafah. Artinya bahwa Allah SWT, setelah di dalam ayat sebelumnya menyebutkan bertolaknya mereka dari Arafah ke Muzdalifah, kembali lagi menyebutkan bahwa bertolaknya dari Arafah ke Muzdalifah itu adalah wajib bagi Quraisy seperti halnya orang-orang lainnya.
Saya harap perkara ini telah menjadi jelas, dan bahwa ifadhah adalah dari Arafah dan bahwa ayat yang belakangan “tsumma afîdhû … -kemudian bertolaklah …- adalah dalam makna sebelum “faidzâ afadhtum min ‘arafât … -jika kalian telah bertolak dari Arafah …-. Dan pengedepanan dan pengakhiran dalam bahasa arab dilakukan untuk suatu tujuan, dan tujuan di sini adalah menghilangkan kebiasaan jahiliyah berupa deskriminasi Quraisy dari manusia lainnya.


16 Dzulqa’dah 1434 H
22 September 2013 M

http://hizbut-tahrir.or.id/2013/09/27/sjjihad-dalam-perjuangan-untuk-menegakkan-daulah-dan-ifadhah-dalam-haji/

Senin, 23 September 2013

Pengkhianat Pengecut Tembak Pengemban Dakwah di Rusia

Syuhada' Pejuang Khilafah
Hizbut Tahrir di Rusia melaporkan bahwa pada tanggal 15 September 2013 di Kizlyar, Republik Dagestan pada sekitar jam 11 malam, Gapalov Abdullah, saudara kita dan aktivis Hizbut Tahrir, ditembak oleh para pengkhianat pengecut.

مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَىٰ نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ ۖ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; Maka di antara mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya),
(QS Al-Ahzab,33:23)

Dia adalah salah seorang pengemban dakwah yang paling aktif membawa panji-panji dakwah, seorang yang bijak dan teguh dengan posisinya. Dia juga merasa gelisah atas permasalahan umat dan aktif membimbing masyarakat. Allah mengambil yang terbaik. Kami bersedih untuk berpisah dengannya namun pada saat bersamaan juga merasa bahagia dengan tempatnya di akhirat.

Bahkan lebih jauh, kejahatan ini mengungkapkan kelemahan dan sikap pengecut Rusia. Setelah semua yang mereka lakukan untuk melawan orang-orang yang hanya bersenjatakan kata-kata kebenaran. Dan mereka tidak bisa melakukan sesuatu yang lebih baik daripada melenyapkannya secara fisik. Apakah para tiran itu bisa memecahkan masalah, apakah mungkin untuk percaya bahwa dengan cara itu mereka dapat menghentikan dakwah ini? Untuk menganggapnya demikian, itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki ideologi dan memiliki pemikiran reaksioner. Pembunuhan tidak pernah bisa dan tidak akan bisa menghentikan Hizbut Tahrir, sebaliknya, dakwah hanya akan tumbuh, dan Rusia pasti akan menjawab atas kejahatan yang mereka lakukan. Kami tidak memerlukan para penjahat untuk menghukum para penjahat lainnya. Kami akan menunggu untuk datangnya seorang Khalifah, yang akan meminta pertanggung jawaban atas sesuatunya secara penuh. Kami juga berjanji untuk melanjutkan dakwah di Rusia dengan kejelasan, ketegasan dan keberanian.
Kami menyampaikan belasungkawa kami kepada keluarga, kerabat dan teman-teman Abdullah, dan kami meminta kepada Allah SWT untuk memperkuat mereka dengan kesabaran. Kami meminta kepada Allah SWT agar Dia memberikan hamba-Nya keagungan rahmat-Nya dan mempersiapkan baginya tempat di surga bersama para nabi, para sahabat, para syuhada dan orang-orang yang benar.
إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ
Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali.”
(QS Al-Baqarah,2:156)

Kantor Media Hizbut Tahrir Rusia
Senin, 10 Dzul Qi’ddah 1434 H
16-09-2013
REF : 1434 H/09

http://hizbut-tahrir.or.id/2013/09/22/pengkhianat-pengecut-tembak-pengemban-dakwah-di-rusia/

Mewaspadai Tipu Daya Setan

Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

"Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya `auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak  beriman"
(TQS al-A”raf [7]: 27)

            Setan adalah musuh bagi manusia. Sebagaimana layaknya musuh, maka yang diinginkan setan terhadap manusia  adalah kecelakaan., kesengsaraan, dan kerugian. Sebaliknya, dia tidak menyukai manusia mendapatkan kebahagiaan dan keberuntungan. Lebih dari itu, setan pun melakukan berbagai tipu daya untuk mewujudkan keinginannya. Realitas demikian mengharuskan manusia untuk hati-hati dan waspada terhadap bujuk rayu setan. Jangan sampai tertipu dan terpedaya oleh musuh Allah SWT itu. Kesengsaraan dan kerugianlah yang bakal didapat manusia jika mengikuti ajakan dan bisikannya.
Inilah di antara pesan penting ayat ini.

Waspada terhadap Setan
Allah SWT berfirman: Ya Banî Âdam lâ yaftinannakum al-syaythân (hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan). Khithâb atau seruan ayat ini ditujukan kepada Banî Âdam. Jika dalam ayat sebelumnya diterangkan tentang telah diturunkannya pakaian buat manusia beserta kegunaannya dan tentang pakaian yang terbaik, maka dalam ayat ini manusia diperintahkan agar tidak tertipu oleh bujuk rayu setan.
Diterangkan al-Syaukani, sekalipun secara dhahir larangaan ayat ini ditujukan kepada setan: lâ yaftinannakum al-syaythân, namun sesungguhnya larangan tersebut ditujukan kepada Bani Adam. Bahwa mereka tidak boleh terjatuh dalam fitnah setan dan terpengaruh dengannya. Dijelaskan oleh al-Alusi, bahwa larangan tersebut berarti: Janganlah sekali-kali setan itu menjatuhkan kamu ke dalam fitnah dan bencana; dengan cara membisikkan kepada kamu sesuatu yang dapat mencegahmu masuk surga, lalu kamu mengikutinya.
Dalam Alquran kata fitnah menunjukkan kepada beberapa pengertian. Terkadang menunjuk kepada azab yang diterima manusia, seperti pada QS al-Dzariyat [51]: 13, 14). Terkadang bermakna sesuatu yang mengantarkan terjadinya azab, seperti dalam QS al-Taubah [9]: 49. Ada pula yang bermakna ikhtibâr (ujian atau cobaan), seperti QS Thaha [20]: 40, al-Ankabut [29]: 1-2, dan lain-lain. Dalam konteks ayat ini, kata fitnah berarti menyesatkan atau yang semakna dengannya.
Dikatakan al-Baghawi, ayat ini berarti berarti lâ yudhillannakum al-syaythân (janganlah sekali-kali setan itu menyesatkan kamu). Al-Samarqandi juga mengatakan bahwa: Janganlah sekali-kali setan itu dapat menyesatkanmu dari ketaatan kepada-Ku sehingga mencegahmu masuk surga. Tidak jauh berbeda, al-Nasafi juga memaknainya: Janganlah sekali-kali setan itu menipu dan menyesatkanmu agar tidak memasuki surga. Dengan sedikit perbedaan redaksi, al-Qurthubi memaknainya: Janganlah sekali-kali setan itu memalingkan kamu dari agama. 
            Dengan demikian ayat ini menerangkan kepada manusia agar tidak tertipu dan terpedaya oleh setan, sehingga menjadi tersesat dan terpalingkan dari agama-Nya, dan berakibat pad gagalnya mereka memasuki surga-Nya. Sebaliknya, justru terjerumus ke dalam neraka-Nya.
Perintah agar waspada terhadap tipuan setan ini cukup banyak disebutkan dalam beberapa ayat lainnya, seperti firman Allah SWT: Dan janganlah kamu sekali-kali dipalingkan oleh setan; sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu (TQS al-Zukhruf [43]: 62). Juga QS Yasin [36]: 62.
Setelah diserukan agar tidak tertipu, terpalingkan, dan tersesatkan oleh setan, kemudian diingatkan dengan peristiwa yang telah menimpa bapak-ibu seluruh manusia, yakni Adam dan Hawa`. Dengan kelicikannya, setan berhasil menipu keduanya sehingga dikeluarkan dari surga. Allah SWT berfirman: Kamâ akhraja abawaykum min al-jannah (sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga).
Peristiwa tentang dikeluarkannya bapak-ibu manusia itu telah diberitakan dalam ayat-ayat sebelumnya. Dalam ayat 19 diberitakan tentang karunia Allah SWT yang diberikan kepada Adam dan istrinya. Keduanya dipersilakan untuk memakan semua yang ditemui di surga kecuali suatu pohon tertentu. Namun setan membisikkan tipuan kepada keduanya. Kepada Adam dan Hawa, setan mengatakan bahwa mereka dilarang mendekati pohon agar mereka tidak menjadi malaikat atau menjadi orang yang kekal di surga (ayat 20). Untuk meyakinkan keduanya, setan pun bersumpah bahwa dia benar-benar pemberi nasihat kepada keduanya (ayat 21). Dalam ayat lainnya, setan menyebut pohon itu sebagai syajarah al-khuldi (pohon keabadian, QS Thaha [20]: 120).
Akhirnya, Adam dan istrinya itu terbujuk oleh tipuan setan. Keduanya memakan buah yang dilarang untuk didekati itu. Akibatnya, keduanya pun dikeluarkan dari surga. Yang mengeluarkan keduanya dari surga sesungguhnya adalah Allah SWT. Akan tetapi dalam ayat ini peristiwa tersebut dinisbatkan kepada setan. Hal disebabkan keduanya tertipu oleh bujuk rayu setan yang menyesatkan sehingga menyebabkan mereka dikeluarkan dari surga. Penisbatan kepada setan juga disebutkan dalam TQS al-Baqarah [2]: 36.
Kemudian Allah SWT berfirman: yannzi’u ‘anhumâ libâsahumâ liyuriyahumâ saw`âtihimâ (ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya `auratnya). Sebagaimana menjadi penyebab dikeluarkannya Adam dan istrinya dari surga, maka setan juga menjadi penyebab ditanggalkan pakaian dari keduanya. Dengan memakan pohon yang terlarang itu, maka pakaian keduanya ditanggalkan dari tubuhnya. Allah SWT berfirman: Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga (TQS al-A’raf [7]: 22). Lihat juga dalam QS Thaha [20]: 21.
Peristiwa ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi manusia. Mengikuti bujuk rayu setan hanya berujung kepada penderitaan dan kesengsaraan. Betapa pun bagus dan indahnya ajakan setan, sesungguhnya merupakan racun yang membahayakan bagi manusia.

Musuh Tak Terlihat
Kemudian Allah SWT memberitakan tentang posisi setan dan para pengikutnya dengan firman-Nya: Innahu yarâkum huwa wa qabîluhu (sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu). Dhamîr huwa (dia) pada kata innahu dalam ayat ini kembali kepada setan. Sedangkan qabîluhu bermakna shanfuhu wa jinsuhu (golongan dan bangsanya). Mereka adalah jin. Demikian penjelasan al-Thabari dalam tafsirnya. Menurut al-Qurthubi, qabîluhu berarti junûduhu (para tentaranya). Mujahid dan Qatadah menafsirkannya sebagai jin dan setan. Sedangkan Ibnu Zaid memaknainya sebagai keturunannya.
Dengan demikian, setan dan beserta keturunan, golongan, dan tentaranya itu dapat melihat manusia. Akan tetapi tidak sebaliknya. Manusia tidak bisa melihat mereka. Allah SWT berfirman: min haytsu lâ tarawnahum (dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka). Mereka bisa melihat manusia dari tempat yang tidak dapat dilihat manusia.
Diterangkan al-Alusii, kalimat ini merupakan ta’lîl (penjelasan sebab) bagi larangan sebelumnya. Juga sebagai ta`kîd (mengukuhkan) untuk waspada. Sebab, musuh jika datang dari arah yang tidak diketahui, tentu lebih berat dan menakutkan. Bahkan menurut al-Syaukani, kewaspadaan terhadapnya layak hingga puncak kewaspadaan.

Wali bagi Orang Tidak Beriman
Ayat ini kemudian diakhiri dengan firman-NyA: Innâ ja’alnâ al-syayâthîna awliyâ` li al-ladzîna lâ yu`mimanû (sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman). Pengertian awliyâ` di sini adalah qurunâ` wa a’wân[an] (teman dan pembantu). Demikian menurut al-Baghawi. Sedangkan Ibnu Jarir al-Thabari menafsirkan sebagai nusharâ (para penolong). Mufassir itu menafsirkannya ayat ini dengan ungkapan: Kami jadikan setan-setan itu sebagai penolong orang-orang kafir yang tidak mentauhidkan Allah dan membenarkan rasul-Nya. 
            Berkenaan dengan dijadikan-Nya setan sebagai kawan, pemimpin, dan penolong bagi orang kafir, menurutnya al-Jazairi dalam Aysar al-Tafâsîr, hal itu sesuai dengan sunnah-Nya dalam makhluk ciptaan-Nya. Bahwa setan itu merepresentasikan puncak keburukan dan kejahatan. Sedangkan orang-orang yang tidak beriman, hati mereka gelap lantaran tidak ada cahaya keimanan. Itu berarti menyediakan diri bagi setan dan segala kerusakan dan kejahatan yang dibisikkan setan kepada mereka seperti syirik dan kemaksiatan dengan aneka ragamnya. Oleh karena itu, kedekatan dan pertemanan antara setan dan orang kafir itu menjadi sempurna. Patut dicatat, siapa pun yang mengikuti setan, maka akan ditempatkan ke dalam neraka Jahannam (lihat QS al-A’raf [7]: 18).
Demikianlah. Manusia harus ekstra waspada kepada setan itu. Manusia jangan sampai tertipu dan terjerumus oleh tipu dayanya. Peristiwa diturunkannya bapak dan ibu manusia, Adam dan Hawa harus dijadikan sebagai pelajaran berharga manusia. Jika dahulu setan telah berhasil mengeluarkan bapak-ibu manusia dari surga, maka musuh Allah SWT itu berupaya keras untuk mencegah dan menghalangi anak cucunya bisa masuk surga.
Oleh karena itu, waspadalah dengan tipu dayanya. Janganlah mengikuti perintah dan ajakannya. Sebaliknya, manusia harus berpegang teguh pada petunjuk-Nya seraya selalu memohon pertolongan-Nya (lihat QS al-Mukminun [23]: 97). Semoga kita termasuk yang mendapat perlindungan-Nya dari godaan dan bisikan setan yang terkutuk itu. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.

Ikhtisar:
  1. Setan adalah musuh yang nyata bagi manusia
  2. Manusia tidak boleh terpedaya oleh tipu daya dan bujuk rayunya.
  3. Kewaspadaan kepada setan harus semakin ekstra mengingat dia bisa melihat manusia, sedangkan manusia tidak melihatnya
  4. Setan merupakan kawan, pemimpin, dan penolong bagi orang-orang kafir
http://hizbut-tahrir.or.id/2013/09/23/mewaspadai-tipu-daya-setan/

Pohon Pun Menangis Ketika Ditinggalkan Rasulullah SAW


KEBIJAKAN KHILAFAH TERHADAP  JEJAK KEHIDUPAN NABI DAN PARA SAHABAT
Andai saja bukan karena kebijakan Khilafah di masa lalu, kita yang hidup saat ini tidak akan lagi menemukan jejak-jejak kehidupan Nabi SAW dan para sahabatnya. Padahal, bagi kita itu sangat penting. Karena, melalui semuanya itu, kita bisa mengingat kembali apa yang mereka lakukan untuk kita. Dengan begitu, kesadaran dan semangat kita pun terlecut, kita pun bangkit untuk mengambil tanggungjawab terhadap Islam dan umatnya, sebagaimana yang mereka lakukan di masa lalu.
Itulah yang mendorong para khalifah di masa lalu membuat kebijakan monumenisasi jejak-jejak kehidupan Nabi dan para sahabat. Selain karena memang, keduanya bisa dijadikan sumber hukum. Karena, perbuatan, perkataan dan diamnya Nabi adalah hadits. Sedangkan kesepakatan para sahabat adalah ijmak, yang juga merupakan dalil syara’.
Mari kita mulai dari Masjid Nabawi. Jika kita berada di Raudhah Syarifah, di sana ada Mihrab Nabi. Mihrab ini baru dibangun oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz, untuk mengabadikan tempat yang digunakan Nabi SAW saat menjadi imam shalat di Masjid Nabawi. Dulu, selama periode pemerintahan Nabi SAW dan empat khalifah yang pertama, tidak ada Mihrab di dalam Masjid Nabawi. Pada tahun 91 H, Khalifah Umar bin Abdul Aziz pertama kali melakukan shalat di sini, di tempat yang bentuk Mihrab. Jika kita berdiri di dalam Mihrab ini dan melakukan shalat, tempat sujud kita akan terletak di tempat, di mana kaki Nabi SAW berpijak. Dinding tebal mihrab ini menutupi tempat sujud Nabi SAW  yang sebenarnya.
Persis di ujung kanan depan Mihrab ini, ada tiang yang menempel. Tiang ini disebut Ustuwanah Mukhallaqah. Jabir ra meriwayatkan sebagaimana disebutkan dalam riwayat Bukhari, “Nabi SAW bersandar pada sebatang pohon kurma (yang awalnya terletak pada tempat dimana tiang ini berada) ketika melakukan khutbah Jumat. Lalu, kaum Ansar dengan hormat menawarkan kepada Nabi SAW, kami dapat membuat sebuah mimbar untukmu, jika engkau menyetujuinya”. Nabi SAW menyetujuinya dan sebuah mimbar yang terdiri dari tiga anak tangga dibuat.
Ketika Nabi SAW duduk di atas mimbar ini untuk berkhutbah, para sahabat mendengar batang pohon kurma itu menangis seperti anak kecil. Nabi SAW  mendekati pohon yang sedang menangis ini dan kemudian memeluknya. Pohon ini lalu diam, setelah sebelumnya terisak-isak seperti onta betina. Pohon kurma ini menangis, karena dia tidak digunakan lagi oleh Nabi. Sejak itu, batang pohon tersebut diberi sejenis pewangi yang disebut Khaluq. Tiang ini pun kemudian dikenal dengan Ustuwanah Mukhallaqah (Tiang yang diberi pewangi).
Demikian halnya dengan posisi mimbar dan rumah Nabi SAW yang menandai tempat di mana Raudhah Syarifah berada, hingga kini tetap terjaga karena jasa para khalifah di masa lalu. Termasuk, tempat di mana Rasulullah melakukan iktikaf di Masjid Nabawi sambil membawa tempat tidurnya, yang ditandai dengan Ustuwanah Sarir (Tiang Tempat Tidur); tempat di mana Rasul  menerima delegasi dari berbagai suku, kabilah termasuk negara lain, yang ditandai dengan Ustuwanah Wufud (Tiang Delegasi); tempat di mana ‘Ali bin Abi Thalib menunggu instruksi Nabi, baik dari maupun untuk Nabi, diabadikan dengan Ustuwanah Haris (Tiang Pengawal).
Semuanya ini masih terjaga, karena jasa khalifah di masa lalu. Bahkan, dua tiang yang terakhir ini sekaligus menjadi bukti otentik, bahwa Masjid Nabawi dahulu bukan hanya tempat beribadah, tetapi juga pusat pemerintahan. [Hafidz Abdurrahman]

 http://hizbut-tahrir.or.id/2013/09/22/pohon-pun-menangis-ketika-ditinggalkan-rasulullah-saw/

Selasa, 17 September 2013

Nafais Tsamarat: Prilaku yang Sempurna




Al-Imam adz-Dzahabiy berkata: “Kesempurnaan perilaku  seseorang itu tercermin dalam kehati-hatiannya (wara’) dalam hal makanan, kehati-hatian dalam berucap, menjaga lisan, kontinyu dalam berdzikir, tidak banyak bergaul dengan orang-orang awam, menangisi kesalahan yang telah dilakukan, membaca al-Quran dengan tartil dan penuh
Allah Ghoyatuna
penghayatan, membenci diri apabila ia mengajak untuk memikirkan dzat Allah SWT,  Memperbanyak shaum sunnah, merutinkan sholat tahajud, rendah hati di hadapan sesama muslim, menghubungkan tali silaturrahim, toleran, bermuka ceria dan gemar berinfak meski dalam keadaan sempit, menyampaikan kebenaran meski terasa pahit dengan lemah lembut dan tidak tegesa-gesa, mengajak kepada yang makruf, memberi maaf, menjauhi orang-orang jahil, menjaga perbatasan, berjihad melawan musuh-musuh Islam, berhaji,  senantiasa memakan yang baik, memperbanyak istighfar di penghujung malam. Inilah amalan-amalan para wali Allah SWT dan sifat-sifat pengikut Rasulullah SAW, semoga kita mati dalam keadaan mencintai mereka”
السلوك الكامل
قال الإمام الذهبي:” السلوك الكامل هو الورع في القوت، والورع في النطق، وحفظ اللسان، وملازمة الذكر، وترك مخالطة العامة، والبكاء على الخطيئة والتلاوة بالترتيل والتدبر، ومقت النفس وذمها في ذات الله، والإكثار من الصوم المشروع، ودوام التهجد، والتواضع للمسلمين، وصلة الرحم، والسماحة وكثرة البشر والإنفاق مع الخصاصة، وقول الحق المر برفق وتؤدة، والأمر بالمعروف، والأخذ بالعفو، والإعراض عن الجاهلين والرباط بالثغر، وجهاد العدو، وحج البيت، وتناول الطيبات في الأحايين، وكثرة الاستغفار في السحر، فهذه شمائل الأولياء، وصفات المحمديين، أماتنا الله على محبتهم”
معالم في السلوك وتزكية النفوس
Dinukil dari kitab: Ma’alim Fis Suluk Wa Tazkiyatun Nafs, lisy syaik ‘Abdul ‘Aziz Ibn Muhammad al-‘abdu al-latif. 

http://hizbut-tahrir.or.id/2013/09/15/nafais-tsamarat-prilaku-yang-sempurna/

Minggu, 15 September 2013



PERINGATAN DARI NABI SAW BAGI PARA PENDUKUNG MISS WORLD
Aksi Tolak Miss World,  HTI Jember
Bagi para pengikut, pendukung dan penggemar MISS WORLD, silakan simak peringatan dari Rasulullah SAW berikut ini:

Rasulullah SAW bersabda:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

“Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya aku tidak pernah melihatnya; yakni, sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia; dan wanita yang membuka auratnya dan berpakaian tipis merangsang berlenggak-lenggok dan berlagak, kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan dapat masuk surga dan mencium baunya. Padahal, bau surga dapat tercium dari jarak sekian-sekian” [HR. Imam Muslim].

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَا أَرَاهُمَا بَعْدُ نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلَاتٌ مُمِيلَاتٌ عَلَى رُءُوسِهِنَّ مِثْلُ أَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَرَيْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَرِجَالٌ مَعَهُمْ أَسْوَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ

“Ada dua golongan penghuni neraka, yang aku tidak pernah melihat keduanya sebelumnya. Wanita-wanita yang telanjang, berpakaian tipis, dan berlenggak-lenggok, dan kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan masuk surga, dan mencium baunya. Dan laki-laki yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia“ [HR. Imam Ahmad].

Hadits Nabi SAW di atas menunjukkan dengan jelas tentang WANITA yang akan disiksa di dalam NERAKA, bahkan akan sulit untuk memasuki surga Allah SWT, yaitu:

1. Wanita yang suka membuka aurotnya di tempat umum.
2. Wanita yang berpakaian tipis dan merangsang di tempat umum.
3. Wanita yang berjalan dengan berlenggak-lenggok dan berlagak di tempat umum.
4. Wanita rambutnya digelung di kepalanya sampai seperti punuk onta.

Nampaknya, 4 hal yang dikecam dalam Hadits di atas, semuanya akan dikompetisikan dalam ajang MISS WORLD.

Apakah peringatan dari Rasulullah SAW ini masih kurang???

Apabila masih tetep nekat untuk menyelenggarakan MISS WORLD, kami hanya bisa mengucapkan: SELAMAT MASUK NERAKA..!!!

Na’udzubillahi min dzalik...!!

by: Ust. Dwi Condro

Senin, 09 September 2013

Alasan Politis Menolak Miss World 2013

 

Oleh: Hanif Kristianto (Lajnah Siyasiyah HTI Jawa Timur)

 Hiruk pikuk penolakan kontes Miss World 2013 begitu menggema. Di sisi lain, dukungan pun mengalir deras dari berbagai elemen yang setuju. Pro-kontra tidak terelakkan. Semua menggunakan dalil dan dalih masing-masing. Hal ini sebagai upaya untuk membenarkan tindakannya. Pihak yang menolak kontes Miss World 2013 beralasan, kontes ini merupakan ajang kemaksiatan pamer aurat. Kontes yang tidak berakar dari budaya Indonesia. Serta, bertentangan dengan nilai Islam. Sementara itu, pihak pro beralasan, kontes ini legal. Tidak ada hukum positif yang dilanggar. Bahkan citra Indonesia bisa lebih baik di ajang internasional. Wisatawan asing akan banyak berbondong ke Indonesia. Ujung-ujungnya pendapatan negara meningkat.
Berlepas dari pro dan kontra. Masing-masing mempunyai sudut padang tertentu. Hal inilah yang menjadikan perdebatan antara boleh dan tidak kontes ini. Berikut akan dipaparkan beberapa analisis politik di balik penyelenggaraan Miss World 2013 di Indonesia. Serta, ada apa di balik penyelenggaraan kontes ini. Sampai-sampai panitia meyakinkan bahwa ini akan mendatangkan keuntungan.

Islam vs Kapitalis-Liberal
Media massa—cetak dan elektronik—menampilkan pro kontra Miss World. Media massa merasa mendapat angin segar untuk membentuk opini umum. Masyarakat digiring dengan opini tertentu. Yang terkadang masyarakat tidak mempunyai pemahaman yang benar. Karena masyarakat saat ini telah mengalami disorientasi pemahaman fakta dan sesuatu di balik peristiwa. Di sisi lain, media massa sebatas pemberi informasi, terlepas dari setuju atau tidak. Inilah penting bagi siapa pun untuk pandai memilih informasi. Serta meneilitinya secara seksama.
Pro-kontra penyelenggaraan Miss World ini seperti perang dingin dalam aspek pemikiran dan tindakan. Pihak pro yang notabene penyelenggara Miss World merasa hal ini sah-sah saja. Semua sudah diatur sesuai dengan konten lokal Indonesia. Penyelenggara Miss World mendapat sokongan baik dana dan opini dari pelaku bisnis media. Maka semakin mudah mereka menampilkan citra positif. Serta memberikan pengaruh di masyarakat. Tak ingin dirinya merugi—karena kontes Miss World merupakan waralaba—penyelenggara menggandeng budayawan, intelektual, LSM, dan tokoh masyarakat yang sejalan. Tentunya upaya ini meligitimasi bahwa Kontes Miss World tidak bermasalah. Asalkan memberikan citra positif dengan menampilkan baju adat, panorama keindahan alam, dan tidak menampilkan baju renang. Citra positif lain yang menjadi penilaian didasarkan pada cantik (beauty), kepribadian (behaviour), dan kecerdasan (brain). Pihak pemerintah tidak banyak berkomentar. Karena pihak keamanan sudah memberikan ijin penyelenggaraan kontes ini.
Secara tindakan, Miss World 2013 sudah pada tahap akhir untuk penyelenggaraan. Bali sebagai salah satu tempat acara kontes telah menyatakan dukungan penuh melalui Gubernurnya. Meskipun dengan beberapa syarat tertentu. Karena tamu yang datang dari luar negeri. Pihak keamanan sudah bersiap siaga memberikan rasa aman bagi semuanya. Demi kesuksesan acara ini.So, all must go on.Semangat pihak pendukung ini dapat dianalisis jika didasari oleh sikap meraih keuntungan materi. Membebaskan segala cara tanpa berpikir dampak mendasar dari kontes ini. Selama landasan itu yang dipakai. Maka acara yang serupa lainnya akan dijadikan alasan untuk meraih kebabasan. Khususnya dalam budaya dan tindakan.
Pihak kontra terhadap kontes Miss World 2013 sejak pertama kali menegaskan bahwa ini bertentangan dengan Islam. Sudut pandang Islam ini terpancar dari sikap penolakan dan konsisten elemen umat. Perasaan Islami ini merupakan bukti bahwa umat Islam tidak tidur. Umat masih mencintai Islam dengan berbagai syariatnya. Patut disadari bahwa Indonesia dikenal dunia sebagai negeri muslim terbesar. Jika sampai Indonesia menyelenggarakan kontes ini, dipastikan dunia akan memberikan stereotip negatif. Serta membuktikan bahwa nilai-nilai liberal bisa bersanding dengan Islam. Padahal sesungguhnya Islam tidak bisa bersanding dengan ideologi apa pun.
Harus disadari bahwa penolakan kontes ini berasal dari kedalaman iman. Bukan sekadar tidak sesuai dengan kebudayaan atau kearifan lokal. Memang tidak dapat dipungkiri, kontes serupa juga sering digelar di Indonesia. Apabila kontes Miss World 2013 jadi dihelat. Maka semakin menunjukan jika negeri ini semakin menuju kepada liberalisasi budaya dan hidup. Sudah negeri ini dirudung berbagai masalah pada aspek hukum, politik, dan lainnya. Ditambah lagi liberalisasi budaya dan kehidupan. Apa jadinya negeri ini?
Umat seharusnya sadar secara politik. Upaya sistemis yang terus ditujukan ke dunia Islam tidaklah pernah surut. Berbagai model dan bentuk akan terus diupayakan. Baik cara-cara halus maupun kasar. Melalui upaya liberalisasi budaya, umat akan semakin diacuhkan dan dijauhkan dari Islam. Pasalnya, pesona Islam bagi musuh Islam merupakan penghalang mereka mereguk keuntungan. Dari sisi politik. Kontes Miss World semakin menegaskan bahwa Indonesia masih terjajah. Tak ubahnya model kontes Miss World merupakan cara mudah mereguk keuntungan materi. Di sisi lain, negara penganut demokrasi ini gagal melindungi rakyatnya. Gagal melindungi dari degradasi dan kebejatan moral kehidupan.
Yang patut dikritisi dari penolakan kontes ini adalah sikap negara. Meskipun gelombang penolakan dari umat di mana-mana. Pemerintah tetap adem ayem. Memang menjadi karakter negara demokrasi dengan memberikan kebebasan kepada siapa pun. Tanpa memahami kebebasan apa yang dibolehkan dan dibatasi. Sistem demokrasi melegalkan apa pun, selama tidak mengganggu kepentingan publik. Begitu pula dalam hukum positif, kontes ini tidak ada yang bertentangan. Hal inilah menunjukan bahwa demokrasi merupakan sistem yang bobrok dan tidak layak mengatur manusia.
Oleh karena itu, siapa pun yang menolak kontes ini hendaknya memahami betul penolakannya. Penolakan yang didasari dari kedalaman iman. Serta kecerdasan memahami fakta dan memberikan hukumnya. Maka semakin runyamlah jika kontes ini didasarkan bukan dalam kacamata iman dan Islam. Karena tembok besar yang dihadapi umat saat ini adalah sikap penguasa. Penguasa begitu konsisten menjaga dan melindungi kontes ini. Inilah buah penerapan demokrasi yang tidak layak mengatur kehidupan umat manusia.
Sebuah Pelajaran
Setiap peristiwa pasti ada hikmah dan pelajaran berharga. Begitu pula pelaksanaan kontes Miss World 2013. Pelajaran yang dapat diambil antara lain: negeri kaum Islam akan senantiasa dijadikan sasaran penjajahan, liberalisasi budaya dan agama, semakin hipokrit negara demokrasi dalam melindungi rakyatnya dari marabahaya. Tidak kalah penting hendaknya umat sadar bahwa kehidupan mereka akan senantiasa sengsara dan dalam kondisi sakit.
Siapa pun yang masih merasa beriman dan kehidupannya dikoyak oleh musuh Islam. Maka bangkit dan bergeraklah karena dorongan keimanan. Kontes Miss World dan kontes lainnya tidak akan memberikan keberkahan dalam hidup. Justru mengundang adzab Allah dan dosa besar. Dosa itu akan dipikul oleh orang-orang yang mendukung acara ini. Serta manusia lainnya yang tidak ikut mendukung akan terkena debu-debu adzab.
Maka sadarlah wahai penguasa yang masih beriman kepada Allah dan hari kiamat. Serta siapa pun anda umat Islam. Jangan sampai karena ketidaktahuan kita, malahan menjadi pendukung kontes ini. Ingatlah kaum perempuan adalah kehormatan yang seharusnya dilindungi. Jangan sampai mereka tergadaikan hanya karena keuntungan meteri dan limpahan harta semata. Apakah kita tidak sadar bahwa perempuan adalah kaum ibu kita, kaum anak perempuan kita, kaum kakak dan adik kita. Apakah kita rela mereka dihinakan? Sementara kehormatannya menjadi rendah. Serendah-rendahnya binatang melata? Tentu jawabnya tidak.
Pelajaran yang penting dan paling penting adalah esensi umat ini butuh syariah. Umat sudah menginginkan diatur kembali Syariat Islam yang menaungi kehidupannya. Umat sudah capek dan muak diatur demokrasi. Yang ide demokrasi bertentangan dengan Islam. Syariah inilah yang tidak hanya melindungi perempuan. Lebih dari itu akan melindungi umat manusia. Syariah Islam yang memuliakan wanita dengan perannya. Serta menjadi mereka sebagai pendidik dan pencetak generasi emas Islam.
Islam yang mulia itu tidak akan pernah berwujud. Jika tidak ada Khilafah yang menerapkan dan melindungi umat manusia. Maka umat seharusnya sadar sesadarnya bahwa semua alasan pelegalan kontes Miss World merupakn bentuk kegagalan intelektual. Serta kegagalan sistem demokrasi dalam melindungi umat manusia. Tiada pilihan lagi bagi semuanya, baik ormas ataupun elemen umat untuk secara berjamaah, guyub dan rukun membangun Khilafah. Insya Allah segala daya upaya dari musuh Islam akan dibabat habis dan dihadang dengan kekuatan Islam. wallahu a’lam bisshawwab.
 
http://hizbut-tahrir.or.id/2013/09/07/alasan-politis-menolak-miss-world-2013/

Kontes Miss World Dalam Timbangan Syariat Islam

 

Ajang Miss World yang hendak digelar di negeri ini wajib digagalkan.  Pasalnya, perhelatan Miss World –atau apapun namanya– adalah perhelatan yang bertentangan dengan ‘aqidah dan syariat Islam, dan sarat dengan pesan-pesan yang merusak sendi-sendi keluhuran agama Islam.  Seluruh kaum Muslim di negeri ini wajib menggagalkan perhelatan itu dengan cara apapun, sesuai dengan batas-batas yang ditetapkan oleh syariat.  Seorang Mukmin haram berdiam diri, lebih-lebih lagi turut serta memberikan andil dan dukungan terhadap kelangsungan acara tersebut.
Berikut ini adalah alasan-alasan mengapa kaum Muslim wajib menolak dan menggagalkan ajang Miss World.

Bertentangan Dengan Perintah Untuk Memelihara Pandangan (Ghadldl al-Bashar)
Perhelatan Miss World bertentangan dengan firman Allah swt yang mewajibkan kaum Mukmin dan Mukminat untuk memelihara pandangannya.  Allah swt berfirman:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka.  Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”[TQS Al Nuur (24):30]

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”[TQS Al Nuur (24):31]
Imam al-Syaukani, dalam kitab Fath al-Qadir, menyatakan, “Tatkala Allah swt menerangkan hukum meminta ijin, Allah swt juga menyertakan hukum melihat (hukm al-nadhr) dalam bentuk umum.  Di mana, di atas hukum umum tersebut dijelaskan hukum menjaga pandangan dari orang yang meminta ijin, seperti yang dituturkan oleh Nabi saw, “Sesungguhnya, ijin itu ditetapkan untuk menjaga pandangan.” Selain itu, kaum Mukmin juga dilarang memandang wanita Muslimat yang bukan mahramnya, seperti halnya ada larangan bagi kaum Mukmin melihat wanita a’jam (asing).   Ini ditujukan untuk mencegah terjadinya praktek zina, yang salah satu bagian dari zina adalah memandang wanita asing.   Jika kaum Mukmin dilarang melihat wanita asing, lebih-lebih lagi wanita-wanita Mukminat….Sedangkan yang dimaksud dengan menjaga pandangan (ghadldl al-bashar) adalah ithbaaq al-jafn ‘ala ‘ain (mengatupkan kelompok mata di atas mata), agar mata tidak bisa melihat….Mayoritas ulama berpendapat, bahwa huruf min dalam frase “min absharihim” berfungsi untuk membatasi (li al-tab’iidl).  Oleh karena itu, makna ayat tersebut adalah menjaga pandangan dari apa-apa yang diharamkan, dan membatasi diri hanya memandang hal-hal yang dihalalkan..Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan haramnya melihat apa-apa yang haram untuk dilihat.”[1]
Imam Ibnu Katsir menyatakan, “Ayat ini merupakan perintah Allah swt kepada hamba-hambaNya yang Mukmin agar menjaga pandangannya dari hal-hal yang diharamkan.  Oleh karena itu, janganlah mereka memandang, kecuali pada hal-hal yang diperbolehkan atas mereka; dan hendaklah mereka menahan (menjaga)  matanya dari hal-hal yang diharamkan. Hanya saja, telah ada kesepakatan, jika  seseorang memandang wanita asing tidak dengan sengaja, maka ia harus segera memalingkan pandangannya.  Ketentuan ini sejalan dengan hadits yang dituturkan oleh Imam Muslim dari Jarir bin ‘Abdullah al-Bajaliy; bahwasanya ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Rasulullah saw mengenai pandangan yang tidak sengaja.  Beliau saw memerintahkan aku untuk memalingkan pandanganku”.[2]
Imam al-Suyuthiy dalam kitab al-Durr al-Mantsur, menuturkan beberapa riwayat yang berkenaan dengan ayat di atas (al-Nuur:30).   Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari Ali bin Abi Thalib, bahwasanya Ali ra berkata, “Di masa Nabi saw, ada seorang laki-laki sedang berjalan di salah satu jalan di kota Madinah, dan ia memandang seorang wanita.  Wanita itu juga memandang dirinya. Lalu, keduanya dibisiki oleh setan, dimana satu dengan yang lain tidak saling memandang kecuali keduanya saling tertarik.  Laki-laki itu berjalan di sisi tembok, dan terus memandang wanita itu.  Tanpa ia sadari, tembok itu telah berada di depannya, dan hidungnya pun menabrak tembok hingga berdarah. Laki-laki itu berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menyeka darahku ini, hingga Rasulullah saw mendatangiku.   Lalu, ada seorang laki-laki menyampaikan masalah itu kepada Rasulullah saw.  Rasulullah saw pun mendatanginya, dan laki-laki itu pun menceritakan kisahnya kepada Nabi saw. Nabi saw bersabda, “Ini adalah hukuman atas dosamu.”  Kemudian, turunlah firman Allah swt surah al-Nuur:30″.  Diriwayatkan juga dari Qatadah, bahwa makna firman Allah swt, “qul lil mukminiin yaghudldluu min abshaarihim”, adalah, “menjaga pandangan dari hal-hal yang tidak dihalalkan memandangnya..”[3]
Imam Qurthubiy juga menyitir pendapat dari Qatadah, bahwa maksud ayat ini adalah agar kaum Mukmin menjaga pandangannya dari hal-hal yang tidak dihalalkan bagi mereka.[4]  Menurut Imam Qurthubiy, hukum menjaga pandangan dari semua hal yang diharamkan dan dari hal-hal yang dikhawatirkan bisa menyebabkan fitnah, adalah wajib.  Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Sa’id al-Khudriy, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Hindarilah oleh kalian, duduk-duduk di jalanan “.  Para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, tidaklah kami duduk di pinggir jalan, kecuali hanya sekedar berbincang-bincang saja.”  Nabi saw saw berkata, “Jika kalian tidak bisa menghindari untuk duduk-duduk di pinggir jalan, maka, penuhilah hak-hak pengguna jalan.”  Para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa hak pengguna jalan itu?  Nabi menjawab,” Menjaga pandangan,  menyingkirkan bahaya, membalas salamnya, dan amar ma’ruf nahi ‘anil mungkar”.[HR. Bukhari dan Muslim][5]
Imam Baidlawiy, dalam Tafsir al-Baidlawiy menafsirkan QS. Al-Nuur (24):31 dengan menyatakan, “Hendaknya para wanita tidak melihat bagian tubuh laki-laki yang tidak dihalalkan bagi mereka untuk melihatnya.”[6]  Imam Syaukani dalam kitab Fath al-Qadiir menjelaskan; ayat ini seperti halnya surat al-Nuur ayat 30, merupakan dalil yang menunjukkan haramnya wanita  Mukminah memandang apa-apa yang diharamkan.[7]
Imam Qurthubiy menyatakan, bahwa ayat ini berfungsi untuk menegaskan (ta’kiid) perintah gadldlu al-bashar (menjaga pandangan) kepada para wanita Muslimat.  Sebab, pada ayat sebelumnya, yakni surat al-Nuur ayat 30,  sudah ada perintah kepada wanita Muslimat agar menjaga pandangan dan kemaluannya. Sebab, frase “wa qul lil mukminiin” adalah frase umum yang berlaku bagi kaum laki-laki dan wanita; seperti halnya setiap khithab umum yang ada di dalam al-Quran.[8]   Perintah ini kemudian dipertegas kembali pada ayat berikutnya (surat al-Nuur:31).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwasanya seorang Mukmin dan Mukminat wajib memelihara pandangannya dengan cara tidak melihat aurat laki-laki atau wanita asing (bukan mahram).  Tidak hanya sebatas itu juga, mereka juga dilarang memandang lawan jenisnya, dengan maksud untuk dinikmati, dikagumi, atau dipandang secara terus menerus; meskipun wanita itu telah menutup auratnya.
Adapun pandangan yang tiba-tiba atau tidak disengaja; hukumnya tidaklah haram.  Hanya saja, setelah pandangan pertama, mereka harus segera memalingkan pandangannya ke arah yang lain.  Imam Bukhari menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Sa’id bin Abi al-Hasan pernah berkata kepada al-Hasan, ketika ada seorang wanita ‘ajam (asing) yang dada dan kepalanya terbuka, Palingkanlah pandanganmu.”[HR. Bukhari]
Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits, dari Jarir bin ‘Abdullah, bahwasanya ia berkata;

سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرَةِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِي أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِي
Saya bertanya kepada Rasulullah saw tentang pandangan tiba-tiba (tidak sengaja).  Nabi saw menjawab, “Palingkanlah pandanganmu.”[HR. Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Turmudziy]
Dari Buraidah ra dituturkan, bahwasanya ia berkata,

قَالَ يَا عَلِيُّ لَا تُتْبِعْ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الْآخِرَةُ
Nabi saw bersabda kepada Ali ra, “Wahai Ali, janganlah kamu ikuti pandangan pertama dengan pandangan berikutnya.  Sesungguhnya, yang boleh bagimu adalah pandangan yang pertama, bukan yang berikutnya.” [HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Turmudziy]
Atas dasar itu, laki-laki dan wanita Mukmin wajib menjaga pandangannya satu dengan yang lain.  Seorang laki-laki tidak diperbolehkan memandang aurat wanita begitu juga sebaliknya, wanita tidak diperbolehkan memandang aurat laki-laki.   Adapun selain aurat, baik laki-laki dan wanita diperbolehkan melihatnya dengan tidak disertai maksud untuk menikmatinya, atau untuk memenuhi keinginan hawa nafsunya.
Ajang Miss World justru menjadikan semua perbuatan yang dilarang oleh Islam sebagai sebuah event yang wajib ditonton dan dipertontonkan; mulai dari pamer  aurat, menonjolkan kecantikan (tabarruj), eksploitasi seksualitas, serta perbuatan-perbuatan haram lainnya.   Padahal, bukankah kaum Mukmin dan Mukminat diperintah untuk memelihara pandangannya?

Bertentangan Dengan Perintah Menutup Aurat
Perintah menutup aurat disebutkan dalam al-Quran dan Sunnah.  Seorang Mukmin dan Mukminat wajib menutup auratnya, serta dilarang melihat aurat orang lain, kecuali ada dalil yang mengkhususkan.  Di dalam Al-Quran, Allah swt berfirman: Kewajiban menutup aurat telah disitir di dalam al-Quran.   Allah swt berfirman;

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ (26)
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu, dan pakaian indah untuk perhiasan.”[TQS Al A'raaf (7):26]
Imam Qurthubiy di dalam Tafsir Qurthubiy menyatakan; ayat ini merupakan dalil wajibnya menutup aurat.  Sebab, Allah swt telah menurunkan kepada kita pakaian yang digunakan untuk menutup aurat. Para ulama tidak berbeda pendapat mengenai wajibnya menutup aurat.    Mereka hanya berbeda pendapat tentang bagian tubuh mana yang termasuk aurat.[9]
Di dalam kitab Fath al-Qadir, dituturkan; jumhur ulama berpendapat, bahwa ayat ini merupakan dalil wajibnya menutup aurat dalam setiap keadaan, walaupun ia seorang diri, sebagaimana yang tersebut di dalam hadits-hadits shahih.[10]   Dalam kitab al-Muhadzdzab dinyatakan, bahwa menutup aurat (satru al-’aurat) dari pandangan mata adalah wajib.[11]
Adapun dalil-dalil sunnah yang menunjukkan kewajiban menutup aurat bagi laki dan wanita adalah sebagai berikut;
Imam Muslim, Abu Dawud, dan Turmudziy meriwayatkan sebuah hadits yang menuturkan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda;

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلَا الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلَا يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلَا تُفْضِي الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ
Sesungguhnya, Rasulullah saw bersabda, “Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lain, dan janganlah seorang wanita melihat aurat wanita lain.  Janganlah seorang laki-laki tidur dengan laki-laki yang lain dalam satu selimut; dan janganlah seorang wanita tidur dengan wanita lain dalam satu selimut.”[HR. Imam Muslim, Abu Dawud, dan Turmudziy]
Imam Mubarakfuriy dalam kitab Tuhfat al-Ahwadziy menyatakan, bahwa hadits ini merupakan dalil haramnya seorang laki-laki melihat aurat laki-laki, serta haramnya seorang perempuan melihat aurat perempuan; begitu juga sebaliknya; seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat wanita, dan wanita tidak boleh melihat aurat laki-laki.[12]
Bahz bin Hakim meriwayatkan sebuah hadits dari bapaknya, dan bapaknya berasal dari kakeknya, bahwasanya kakeknya berkata;

قُلْتُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ عَوْرَاتُنَا مَا نَأْتِي مِنْهَا وَمَا نَذَرُ قَالَ احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِذَا كَانَ الْقَوْمُ بَعْضُهُمْ فِي بَعْضٍ قَالَ إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا يَرَاهَا أَحَدٌ فَلَا يَرَاهَا قَالَ قُلْتُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِذَا كَانَ أَحَدُنَا خَالِيًا قَالَ فَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ مِنْ النَّاسِ
Saya bertanya kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulullah, terhadap aurat kami, apa yang boleh kami tampakkan dan apa yang harus kami tutup?  Nabi saw menjawab, “Jagalah auratmu, kecuali kepada isteri-isterimu dan budak-budak yang kamu miliki.”  Saya bertanya lagi, “Lalu, bagaimana jika ada suatu kaum, dimana satu dengan yang lain bisa saling melihat auratnya?  Nabi saw menjawab, “Jika kamu mampu, jangan sampai auratmu dilihat oleh seorangpun. Oleh karena itu, janganlah seseorang melihat aurat orang lain.”   Saya bertanya lagi, “Bagaimana, jika seorang diantara kami telanjang?   Nabi menjawab, “Harusnya ia lebih malu kepada Allah swt.”[HR. Jama'ah kecuali Imam al-Nasaaiy]
Imam Syaukani, dalam kitab Nail al-Authar, menyatakan, bahwasanya hadits di atas merupakan dalil mengenai wajibnya menutup aurat di setiap waktu, kecuali saat buang air, bersenggama, mandi; dan wajibnya menutup aurat di hadapan semua orang, kecuali di hadapan isteri, budak, dokter, saksi,dan qadliy ketika ada persengketaan.[13]  Hadits ini juga menunjukkan larangan mandi di satu kolam, dimana, satu dengan yang lain saling melihat aurat.[14]
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits di dalam Tarikh-nya, bahwasanya Mohammad bin Jahsiy berkata;

مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا مَعَهُ عَلَى مَعْمَرٍ وَفَخِذَاهُ مَكْشُوفَتَانِ فَقَالَ يَا مَعْمَرُ غَطِّ فَخِذَيْكَ فَإِنَّ الْفَخِذَيْنِ عَوْرَةٌ
“Rasulullah saw melewati Ma’mar yang saat itu kedua pahanya sedang terbuka.  Beliau bersabda, “Hai Ma’mar tutuplah kedua pahamu. Sebab, paha itu adalah aurat.”[HR. Imam Ahmad, Hakim, dan Bukhari di dalam kitab Tarikh-nya],
Jarhad meriwayatkan sebuah hadits dari bapaknya, bahwasanya bapaknya berkata;

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِهِ وَهُوَ كَاشِفٌ عَنْ فَخِذِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَطِّ فَخِذَكَ فَإِنَّهَا مِنْ الْعَوْرَةِ
Rasulullah saw tengah lewat, sedangkan saat itu saya sedang memakai kain dan paha saya terbuka.  Beliau pun bersabda, “Tutuplah pahamu, karena paha itu adalah aurat.”[HR. Imam Ahmad, Malik, Abu Dawud dan Turmudziy]
Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwasanya ia berkata;

أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ قَالَ أَبُو دَاوُد هَذَا مُرْسَلٌ خَالِدُ بْنُ دُرَيْكٍ لَمْ يُدْرِكْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
Sesungguhnya Asma binti Abu Bakar datang menemui Rasulullah saw, sedangkan ia mengenakan pakaian tipis.  Nabi saw pun segera berpaling darinya, seraya bersabda, “Wahai Asma’, jika seorang wanita telah akil baligh, tidak boleh tampak dari dirinya, kecuali ini dan ini.  Beliau mengisyaratkan wajah dan kedua telapak tangan.”[HR. Abu Dawud]
Di dalam hadits lain dituturkan, bahwa Rasulullah saw bersabda;
Barangsiapa melihat aurat, hendaknya ia menutupnya.”[HR. Abu Dawud][15]
Hadits-hadits ini menunjukkan dengan jelas, perintah untuk menutup aurat, dan larangan melihat   aurat orang lain tanpa ada udzur syar’iy.  Tidak hanya itu saja, hadits-hadits di atas diperkuat dengan hadits-hadits yang berisi ancaman bagi siapa saja yang membuka auratnya di hadapan selain mahram.  Larangan ini dikecualikan pada keadaan-keadaan yang memang dibolehkan oleh syariat, seperti seorang dokter yang hendak mengobati pasiennya; seorang hakim yang hendak mendapatkan barang bukti dari orang yang berselisih, orang yang hendak mengkhithbah, dan lain sebagainya.
Miss World adalah ajang pamer dan buka aurat. Dan event Miss World bukanlah udzur syar’iy yang membolehkan seseorang membuka auratnya, atau melihat aurat orang lain.

Bertentangan Dengan Larangan Tabarruj (Menampakkan Kecantikan di Depan Umum)
         Larangan tabarruj ditetapkan Allah swt di dalam surat al-Nuur ayat 60.  Allah swt berfirman:

وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ
Perempuan-perempuan tua yang telah berhenti haidl dan kehamilan yang tidak ingin menikah lagi, tidaklah dosa atas mereka menanggalkan pakaian mereka tanpa bermaksud menampakkan perhiasannya (tabarruj).”[TQS Al Nuur (24):60]
Jika wanita tua dilarang untuk tabarruj, lebih-lebih lagi wanita yang belum tua dan masih mempunyai keinginan untuk menikah.
Imam Ibnu Mandzur, dalam Lisaan al-’Arab menyatakan, “Wa al-tabarruj : idzhaar al-mar`ah ziinatahaa wa mahaasinahaa li al-rijaal (tabarruj adalah menampakkan perhiasan dan anggota tubuh untuk menaruh perhiasan kepada laki-laki non mahram.”[16]
Di dalam kitab Zaad al-Masiir dinyatakan, “Tabarruj, menurut Abu ‘Ubaidah, adalah seorang wanita menampakkan kecantikannya.  Sedangkan menurut al-Zujaj; tabarruj adalah menampakkan perhiasaan, dan semua hal yang bisa merangsang syahwat laki-laki…Sedangkan sifat-sifat tabarruj di jaman jahiliyyah ada enam pendapat; pertama; seorang wanita yang keluar dari rumah dan berjalan diantara laki-laki.  Pendapat semacam ini dipegang oleh Mujahid.  Kedua, wanita yang berjalan berlenggak-lenggok dan penuh gaya dan genit.  Ini adalah pendapat Qatadah. Ketiga, wanita yang memakai wewangian.  Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Abi Najih. Keempat, wanita yang mengenakan pakaian yang terbuat dari batu permata, kemudian ia memakainya, dan berjalan di tengah jalan.  Ini adalah pendapat al-Kalabiy.  Kelima, wanita yang mengenakan kerudung namun tidak menutupnya, hingga anting-anting dan kalungnya terlihat…..”[17]
Adapun di dalam sunnah, larangan tabarruj disebut di banyak riwayat. Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda;

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya aku tidak pernah melihatnya; yakni, sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia; dan wanita yang membuka auratnya dan berpakaian tipis merangsang berlenggak-lenggok dan berlagak, kepalanya digelung seperti punuk onta.  Mereka tidak akan dapat masuk surga dan mencium baunya.  Padahal, bau surga dapat tercium dari jarak sekian-sekian.”[HR. Imam Muslim]
Di dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawiy berkata, “Hadits ini termasuk salah satu mukjizat kenabian.  Sungguh, akan muncul kedua golongan itu.  Hadits ini bertutur tentang celaan kepada dua golongan tersebut.  Sebagian ‘ulama berpendapat, bahwa maksud dari hadits ini adalah wanita-wanita yang ingkar terhadap nikmat, dan tidak pernah bersyukur atas karunia Allah.  Sedangkan ulama lain berpendapat, bahwa mereka adalah wanita-wanita yang menutup sebagian tubuhnya, dan menyingkap sebagian tubuhnya yang lain, untuk menampakkan kecantikannya atau karena tujuan yang lain.  Sebagian ulama lain berpendapat, mereka adalah wanita yang mengenakan pakaian tipis yang menampakkan warna kulitnya (transparan)…Kepala mereka digelung dengan kain kerudung, sorban, atau yang lainnya, hingga tampak besar seperti punuk onta.”[18]
         Imam Ahmad juga meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah dengan redaksi berbeda

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَا أَرَاهُمَا بَعْدُ نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلَاتٌ مُمِيلَاتٌ عَلَى رُءُوسِهِنَّ مِثْلُ أَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَرَيْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَرِجَالٌ مَعَهُمْ أَسْوَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ 
Ada dua golongan penghuni neraka, yang aku tidak pernah melihat keduanya sebelumnya. Wanita-wanita yang telanjang, berpakaian tipis, dan berlenggak-lenggok, dan kepalanya digelung seperti punuk onta.  Mereka tidak akan masuk surga, dan mencium baunya.  Dan laki-laki yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, yang ia pergunakan untuk mencambuk manusia.”[HR. Imam Ahmad]
Hadits-hadits di atas merupakan ancaman yang sangat keras bagi wanita yang menampakkan sebagian atau keseluruhan auratnya, berbusana tipis, dan berlenggak-lenggok  –melakukan gerakan-gerakan erotis dan merangsang (porno aksi).
Perhelatan Miss World jelas-jelas masuk dalam larangan hadits-hadits di atas.  Untuk itu, tidak ada keraguan lagi, bahwasanya Miss World adalah event maksiyat yang harus digagalkan dengan cara apapun.

Bertentangan Dengan Perintah Untuk Berbusana Islamiy Bagi Wanita, yakni Kerudung dan Jilbab
Miss World adalah event yang dibuat dan diprakarsai oleh orang-orang kafir.  Pada awal kemunculannya, Miss World dijadikan sebagai sarana untuk mempromosikan bikini.  Hingga sekarang pun, tradisi ini masih terus dipelihara.
Dalam kaitannya dengan busana dan cara berbusana, Islam telah menetapkan busana khusus yang wajib dikenakan wanita Muslimat, ketika keluar dari kehidupan khusus (rumah).  Busana yang wajib dikenakan seorang Muslim ketika keluar rumah adalah khimar (kerudung) dan jilbab (pakaian luas yang dikenakan di atas pakaian sehari-hari).  Perintah menggunakan khimar dan jilbab disebut di dalam al-Quran.  Perintah menggunakan khimar disebut dalam firman Allah swt:

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya..”[TQS Al Nuur (24):31]
Ayat ini berisi perintah dari Allah swt agar wanita mengenakan khimar (kerudung), yang bisa menutup kepala, leher, dan dada.  Imam Ibnu Mandzur di dalam kitab Lisaan al-’Arab menuturkan; al-khimaar  li al-mar`ah : al-nashiif  (khimar bagi perempuan adalah al-nashiif (penutup kepala).  Ada pula yang menyatakan; khimaar adalah kain penutup yang digunakan wanita untuk menutup kepalanya.  Bentuk pluralnya adalah akhmirah, khumr atau khumur.[19]            Khimar (kerudung) adalah ghitha’ al-ra’si ‘ala shudur (penutup kepala hingga mencapai dada), agar leher dan dadanya tidak tampak.[20]
Perintah mengenakan jilbab disebut di dalam al-Quran:

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang”.[TQS Al Ahzab (33):59]
Ayat ini merupakan perintah yang sangat jelas kepada wanita-wanita Mukminat untuk mengenakan jilbab.  Adapun yang dimaksud dengan jilbab adalah milhafah (baju kurung) dan mula’ah (kain panjang yang tidak berjahit).  Di dalam kamus al-Muhith dinyatakan, bahwa jilbab itu seperti sirdaab (terowongan) atau sinmaar (lorong), yakni baju atau pakaian longgar bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutup pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung.”[Kamus al-Muhith].  Sedangkan dalam kamus al-Shahhah, al-Jauhari mengatakan, “jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhafah) yang sering disebut dengan mula’ah (baju kurung).”[Kamus al-Shahhah, al-Jauhariy]

Bertentangan dengan Larangan Tasyabbuh (Meniru-niru) Dengan Orang Kafir
Miss World, baik dari sisi asasnya, sejarah kemunculannya, serta rangkaian kegiatannya merupakan gagasan orang-orang kafir yang telah menjadi sebuah tradisi.  Seorang Muslim dan Muslimat dilarang tasyabbuh dengan orang kafir, dalam urusan seperti ini.   Keterlibatan serta keikutsertaan seorang Muslimat dalam ajang ini jelas-jelas termasuk dalam aktivitas tasyabbuh dengan orang kafir.  Padahal, Islam jelas-jelas melarang tasyabbuh dengan orang kafir.  Di dalam al-Quran, Allah swt berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Mohammad) “Raa’ina”, tetapi katakan: “Undzurna”, dan “dengarlah”.  Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.”[TQS Al Baqarah (2):104]
Imam Ibnu Katsir, dalam Tafsir Ibnu Katsir, menyatakan, bahwa Allah swt telah melarang kaum mukmin menyerupai perkataan dan perilaku orang-orang kafir. [Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 1/149].
Di dalam sunnah, banyak riwayat yang menuturkan larangan bertasyabbuh dengan orang-orang kafir. Imam Ahmad mengetengahkan sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Aku telah diutus di hadapan waktu dengan membawa pedang, hingga hanya  Allah semata yang disembah, dan tidak ada sekutu bagi Allah; dan rizkiku telah diletakkan di bawah bayang-bayang tombakku.  Kehinaan dan kenistaan akan ditimpakan kepada siapa saja yang menyelisihi perintahku; dan barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari kaum tersebut.”[HR. Imam Ahmad]
            Masih menurut Imam Ibnu Katsir, hadits ini berisikan larangan yang sangat keras, serta ancaman bagi siapa saja yang meniru-niru atau menyerupai orang-orang kafir, baik dalam hal perkataan, perbuatan, pakaian, hari raya, peribadahan, serta semua perkara yang tidak disyariatkan bagi kaum muslim. [Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 1/149-150]
            Tatkala menafsirkan hadits riwayat Imam Ahmad di atas, Imam al-Manawiy dan al-’Alqamiy, menyatakan,”Hadits di atas berisikan larangan untuk berbusana dengan busana orang-orang kafir, berjalan seperti orang-orang kafir, serta berperilaku seperti orang-orang kafir.”[Mohammad Syams al-Haq, 'Aun al-Ma'buud Syarh Sunan Abi Dawud, hadits no. 3512]
Al-Qariy berkata, “Barangsiapa bertasyabuh dengan orang-orang kafir, baik dalam hal pakaian dan lain sebagainya, maka ia termasuk bagian dari kaum tersebut.   Tasyabuh tidak hanya dengan orang-orang kafir belaka, akan tetapi juga dengan orang-orang fasik, fajir, ahli tasawwuf, dan orang-orang shaleh.  Walhasil, tasyabbuh terjadi dalam hal kebaikan dan dosa.”[ Mohammad Syams al-Haq,'Aun al-Ma'buud Syarh Sunan Abi Dawud, hadits no. 3512]

Miss World Membawa Nilai dan Pesan Yang Bertentangan dengan Islam
Ajang Miss World sarat dengan ide dan nilai yang bertentangan dengan Islam, yakni kebebasan (liberalism), feminism, industrialisasi kecantikan, serta revolusi gaya hidup dan cara pandang terhadap kehidupan.  Persepsi-persepsi mulia yang ditanamkan dalam masyarakat Islam, seperti ‘iffah dan memelihara kehormatan wanita, telah diluluhlantakkan oleh “sesuatu yang dibawa oleh Miss World dan ajang-ajang kecantikan lainnya.  Lewat Miss World pula, barat berhasil mengubah cara pandang kaum Muslim, wa bil khusus, Muslimah terhadap kecantikan, wanita ideal, dan lain sebagainya.
Ringkasnya, Miss World boleh diibaratkan sebuah pedang yang digunakan oleh orang-orang kafir barat untuk membunuhi keyakinan dan hukum Islam yang mulia.  Oleh karena itu, siapa saja yang melibatkan dirinya dalam perhelatan maksiyat ini, maka, sama artinya ia telah menyerahkan leher-lehernya untuk dipancung dengan pedang kemaksiyatan.

Pengaruh Tabarruj Dalam Miss World Bagi Kaum Muslim
Sesungguhnya, tabarruj telah memberikan sejumlah implikasi buruk bagi masyarakat, khususnya kaum Muslim.
  1. Tabarruj dapat mengubah kecenderungan kaum Muslim dari kecenderungan untuk senantiasa menjaga dan menahan pandangan, menjadi kecenderungan untuk memuja hawa nafsu dan hasrat seksual.  Akibatnya, laki-laki dan wanita mulai berlomba-lomba untuk menarik lawan jenisnya, dengan mengenakan pakaian dan perhiasan yang seseksi dan semerangsang mungkin.  Mereka juga menyibukkan diri dengan urusan mempercantik diri dan menarik maupun memikat lawan jenisnya.  Akhirnya, banyak orang terjatuh pada hubungan-hubungan lawan jenis yang dilarang oleh syariat Islam, misalnya, pacaran, berkhalwat, perselingkuhan, perzinaan, dan lain sebagainya.
  2. Tabarruj bisa mengubah paradigma hubungan laki-laki dan wanita di dalam Islam; yaitu, hubungan yang didasarkan pada prinsip ketakwaan, menjadi hubungan yang didasarkan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologis semata.
  3. Tabarruj juga akan melemahkan kaum Muslim dari upaya-upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah, atau perjuangan untuk menegakkan kalimat Allah swt.  Dengan kata lain, tabarruj akan melemahkan semangat kaum Muslim untuk menegakkan hukum-hukum Allah, serta upaya untuk mendakwahkan Islam, baik dengan propaganda maupun jihad. []Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy]
Syamsuddin Ramadhan <syamsuddinramadlan@gmail.com>
http://hizbut-tahrir.or.id/2013/09/07/kontes-miss-world-dalam-timbangan-syariat-islam/


[1]   Imam al-Syaukaniy, Fath al-Qadir, juz 4/22; lihat juga Mohammad al-Jauziy, Zaad al-Masiir, juz 6/30; Imam Suyuthiy, Tafsir al-Jalalain,  juz 1/462;
[2]   Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3/282; lihat juga Imam al-Baidlawiy, Tafsir al-Baidlawiy, juz 4/182; Imam al-Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 12/222
[3]   Al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Durr al-Mantsuur, juz 6/176; lihat juga Ma’aaniy al-Quran, juz 4/520;
[4]   Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 12/222; lihat juga Imam al-Baghawiy, Tafsir al-Baghawiy, juz 3/337
[5]   Ibid, juz 12/223
[6]   Imam al-Baidlawiy, Tafsir al-Baidlawiy, juz 4/183; lihat juga Imam Thabariy, Tafsir al-Thabariy, juz 18/116; Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3/284; Tafsir al-Tsa’labiy, juz 3/116; Fath al-Qadiir, juz 4/23
[7]   Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 4/23
[8]   Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 12/226
[9]   Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 7/172; Imam al-Jashshash, Ahkaam al-Quran, juz 4/203; lihat dan bandingkan dengan al-Durr al-Mantsur, 3/433 ; Zaad al-Masiir, juz 3/181;
[10]           Imam Syaukaniy, Fath al-Qadir, juz 2/200; Kutub wa Rasaail, wa Fatwa Ibnu Taimiyyah fi al-Fiqh, juz 21/174
[11] al-Muhadzzab, juz 1/64, lihat juga al-Tanbiih, juz 1/28; I’aanat al-Thaalibiin, juz 1/113; al-Wasiith, juz 2/174; Fath al-Mu’iin, juz 1/113
[12]           Imam Mubarakfuriy, Tuhfat al-Ahwadziy, Syarah hadits no.2717; lihat juga Al-Sanadiy, Syarah Shahih Ibnu Majah, hadits no. 336; lihat juga al-Hafidz ibnu Hajar, Fath al-Baariy, juz 9/338; ‘Aun al-Ma’buud, juz 11/40; Faidl al-Qadiir, juz 4/367; al-Muhalla, juz 11/392
[13]  Imam Syaukaniy, Nail al-Authar, juz 2/44-45
[14]  Ibid, hal. 44-45
[15] al-Jashshash, Ahkaam al-Quran, juz 5/289
[16] Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-’Arab, juz 2/212; Tafsir Qurthubiy, juz 10/9;  Imam al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal.46; Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 3/125; Imam Suyuthiy, Tafsir Jalalain, juz 1/554; al-Jashshash, Ahkaam al-Quran 2, juz 5/230; Imam al-Nasafiy, Tafsir al-Nasafiy, juz 3/305; Ruuh al-Ma’aaniy, juz 22/7-8; dan sebagainya.
[17]           Zaad al-Masiir, juz 6/38-382
[18]  Imam Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, hadits no. 3971
[19]  Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-’Arab, juz 4/257
[20]  Imam Ali al-Shabuniy, Shafwaat al-Tafaasir, juz 2/336