بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Jumat, 07 Februari 2014

H.M. Ismail Yusanto: Perubahan Besar Tak Melalui Jalan Demokrasi

Pengantar:
Tahun 2014 disebut-sebut sebagai ‘tahun politik’ karena Pemilu lima tahunan bakal digelar pada bulan ini. Rencananya, Pemilu Legislatif dilaksanakan tanggal 9 April pada tahun ini. Untuk itu, umat Islam tentu membutuhkan semacam ‘panduan’ bagaimana seharusnya menyikapi ‘pesta demokrasi’ lima tahunan ini, tentu dari sperpektif Islam.
Untuk membahas sejumlah persoalan terkait Pemilu ini, tentu dalam hubungannya dengan nasib umat Islam dan perubahan di negeri ini, serta bagaimana seharusnya umat bersikap, baik terhadap Pemilu maupun terhadap demokrasi itu sendiri, al-waie kembali mewawancarai Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), H.M. Ismail Yuanto. Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana pandangan HTI tentang partisipasi dalam Pemilu Legislatif mendatang?
Secara normatif, sikap Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sangat jelas. HTI di Indonesia sebagai bagian dari HT di seluruh dunia tengah berjuang untuk penerapan syariah Islam secara kaffah melalui penegakan  Khilafah. HTI  menginginkan di negeri ini bisa tegak syariah Islam, baik sebagai bagian dari Kekhilafahan atau mungkin justru menjadi pusat Kekhilafahan itu sendiri. Karena itu perjuangan ke arah sana harus terus dilakukan secara sungguh-sungguh.
HT  berjuang di Indonesia dengan segenap corak, rona dan dinamika kehidupan sosial politik ekonomi yang ada, termasuk menyangkut Pemilu 2014 yang tentu hasilnya akan membawa implikasi penting bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, khususnya terhadap dakwah Islam.
Pemilu mendatang adalah bagian dari sistem demokrasi untuk memilih anggota legislatif dan presiden. Pemilu sebagai bentuk wakâlah hukumnya mubah, tetapi tetap dengan catatan: untuk apa Pemilu tersebut diselenggarakan? Bila dalam kerangka dan untuk tegaknya syariah dan kepemimpinan Islam,  hukumnya boleh, dan demikian sebaliknya. Proses politik yang diselenggarakan untuk mengokohkan kerangka sistem politik sekular itu tidaklah sesuai dengan Islam, karena Islam mewajibkan penegakkan sistem Islam, yakni Khilafah yang di dalamnya diterapkan syariah Islam secara kaffah.
Apakah itu artinya HTI golput?
HTI tidak pernah menyatakan atau menganjurkan golput. HTI memberikan panduan sebagaimana secara ringkas dinyatakan di atas. Berdasar panduan tersebut, umat bisa bersikap. Individu berhak untuk enetapkan sikapnya dalam menghadapi Pemilu nanti. Sesuai dengan prinsip penyelenggaraan Pemilu yang bebas dan rahasia, orang lain tidak perlu tahu tentang pilihan sikap politik seperti apa yang (hendak) diambil oleh seseorang.
Dari semua Pilkada, angka golput selalu tinggi. Banyak pihak khawatir golput akan makin besar pada Pemilu nanti. Bagaimana menurut Ustadz?
Ada beberapa faktor yang menyebabkan golput berkembang. Berdasarkan faktor pemicunya, bolehlah kita sebut: Pertama, ‘golput teknis’, artinya orang tidak memilih lebih karena alasan teknis; misalnya TPS-nya jauh atau mungkin  lagi kurang enak badan, hujan deras dan sebagainya. Kedua, ‘golput psikologis’, yakni ketika seseorang merasa tidak perlu memilih karena tidak ada satu pun partai yang menyenangkan dirinya. Berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh kader dari berbagai partai membuat orang makin kecewa terhadap parpol yang ada. Karena itu kemudian ia tidak mau memilih. Ketiga, ‘golput ideologis’, yakni ketika seseorang tidak memilih karena alasan ideologi. Dalam pandangannya, tidak ada satu pun partai yang bersesuaian dengan ideologinya. Meski secara teknis bisa saja ia datang ke TPS, ia memutuskan tetap tidak memilih.
Berapa banyak masing-masing jenis golput itu, sejauh ini belum ada survey yang bisa menjelaskan fenomena ini. Namun apapun jenis golputnya, orang tidak bisa menyalahkan mereka yang memilih sikap ini. Kalau ada yang harus disalahkan tidak lain adalah parpol dan kader partai yang telah banyak mengecewakan publik karena kinerjanya yang jauh dari harapan baik karena perilaku yang korup maupun karena buruknya peraturan perundangan serta kebijakan yang dihasilkan ketika yang bersangkutan duduk sebagai pejabat publik.
Soal fatwa golput haram?
Pada intinya, dalam fatwa itu dinyatakan: Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama, sedangkan imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.
Benar, kepemimpinan adalah perkara yang sangat penting dalam Islam.   Dengan adanya seorang pemimpin, kepemimpinan (imamah) dan pengaturan (imarah) masyarakat agar tercipta kemaslahatan bersama dapat diwujudkan. Oleh karena itu, benar pula bahwa memilih pemimpin dalam Islam yang memenuhi syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama (Islam) dan memperjuangkan kepentingan umat Islam, agar terwujud kemaslahatan bersama dalam masyarakat adalah sebuah kewajiban. Namun, kewajiban yang dimaksud di sini adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah); bila kepemimpinan yang islami telah terwujud maka kewajiban itu bagi yang lainnya telah gugur.
Benar pula, memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan adalah haram. Namun, harus dikatakan, meski secara personal pemimpin tersebut telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan, sebagai pemimpin ia wajib memimpin semata-mata berdasarkan syariah Islam saja, karena kemaslahatan bersama yang dimaksud hanya akan benar-benar terwujud bila pemimpin mengatur masyarakat dengan syariah Islam. Tanpa syariah Islam, yang terjadi bukan kemaslahatan, tetapi mafsadat atau kerusakan seperti yang terjadi sekarang ini.  Perlu diingatkan, bahwa telah ditetapkan melalui fatwa MUI sebelumnya bahwa sekularisme hukumnya haram. Karena itu memimpin berdasarkan sekularisme juga  harus dinyatakan haram. Jadi, memilih pemimpin yang akan memimpin dengan sekularisme atau menolak syariah Islam demi mempertahankan sekularisme juga seharusnya dinyatakan haram.
Adapun ketetapan bahwa tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram,  tidaklah tepat, karena kewajiban memilih pemimpin adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah), bukan kewajiban perorangan (fardhu ain). Itu pun dengan catatan, jika pemimpin yang dipilih atau diangkat tersebut adalah pemimpin yang benar-benar akan menjalankan syariah Islam.
Tentu, bagi siapa saja yang akan turut memilih pemimpin, wajib ia memilih pemimpin yang memenuhi kriteria agama (Islam), dan yang dipastikan akan memimpin berdasarkan syariah Islam semata. Karena itu anjuran untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar, tidaklah tepat. Mestinya, bukan dianjurkan, tetapi diwajibkan.
Hukum memilih memilih pemimpin tidak sama dengan memilih wakil rakyat. Hukum memilih pemimpin yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar melalui penerapan syariah Islam secara kaffah adalah fardhu kifayah. Adapun memilih wakil rakyat yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar adalah mubah; hukumnya mengikuti hukum wakalah (perwakilan) saat seseorang boleh memilih, boleh juga tidak. Karena itu, bagi umat Islam yang akan memilih wakilnya mestinya juga bukan sekadar dianjurkan, tetapi diwajibkan untuk memilih yang akan benar-benar mampu mengemban amar makruf nahi mungkar. Sebaliknya, mestinya harus dinyatakan pula bahwa memilih wakil rakyat yang sekular dan tidak mengemban amar makruf nahi mungkar hukumnya haram.
Ada yang mengatakan, Pemilu dan demokrasi adalah jalan dan mekanisme politik yang ada saat ini. Jika mau memperbaiki  masyarakat, ya ikut mekanisme itu. Jika tidak berpartisipasi, itu cerminan sikap tak bertanggung jawab?
Kita memang harus ambil bagian dalam memperbaiki masyarakat. Kita tidak boleh tinggal diam. Persoalannya, apa yang harus diperbaiki dan bagaimana caranya? Kalau kita menelaah sungguh-sungguh, penyebab utama dari timbulnya kerusakan di seluruh sendi kehidupan masyarakat adalah sistem dan ideologi sekularisme-kapitalisme, selain pemimpin yang tidak amanah. Oleh karena itu, harus ada usaha keras untuk menghentikan sistem dan ideologi itu. Nah, HT tengah berjuang ke arah sana melalui cara yang berbeda dengan mekanisme politik yang sudah dikenal selama ini. Jadi, tidak bisalah, hanya karena memilih jalan berbeda lantas  orang mengatakan HT sebagai tidak bertanggung jawab.
Bagaimana dengan pendapat bahwa kalau orang Islam tidak mau berpartisipasi dalam Pemilu, nanti kekuasaan dan kepemimpinan akan dipegang oleh orang sekular, bahkan orang kafir?
Pernyataan tadi adalah pernyataan hipotetis, yang tidak pernah menemukan faktanya. Faktanya, tetap saja banyak orang Islam masuk ke sana. Memang akan bagus bila yang masuk ke sana adalah Muslim yang baik. Namun, masuknya seorang Muslim yang bertakwa di parlemen dalam sistem demokrasi sekular ini hanya akan berguna dalam satu kondisi, yakni ketika mereka menjadikan parlemen sebagai mimbar dakwah dalam rangka melakukan perubahan mendasar (taghyir), menghentikan sistem sekular dan menggantinya dengan sistem Islam; mengoreksi penguasa; menjelaskan kebobrokan sistem sekular itu; sekaligus menyadarkan umat akan kewajiban untuk terikat pada ajaran Islam dan selalu berjuang melakukan amar makruf nahi mungkar.
Bila itu tidak dilakukan, keberadaan mereka di parlemen justru bisa menimbulkan bahaya besar, antara lain:  akan digunakan oleh pemerintah yang sedang berkuasa dan partai-partai sekular sebagai justifikasi untuk melawan umat Islam yang tengah berusaha melakukan perubahan mendasar (taghyir), bahwa yang di parlemen juga Muslim, dan faktanya juga terlibat dan rela terhadap sistem yang ada. Jika para wakil rakyat yang duduk di parlemen itu bisa melakukan perbaikan parsial, pada dasarnya itu merupakan salah satu bentuk tambal-sulam terhadap baju tua, yang sebenarnya wajib diganti semuanya. Tambal-sulam hanya akan memperpanjang usia sistem yang rusak; akan  memalingkan perasaan umat sehingga justru malah tidak terdorong untuk melakukan perubahan mendasar dengan cepat.
Kalau tidak lewat Pemilu atau demokrasi, adakah jalan lain untuk memperbaiki masyarakat?
Ada. Melalui jalan dakwah politis, seperti yang tengah dilakukan oleh HTI saat ini.
Bukankah demokrasi dan Pemilu jalan yang paling aman, damai dan memungkinkan?
Banyak orang lupa, perubahan politik terjadi tidak melulu melalui Pemilu. Bahkan bisa dibilang, semua perubahan politik besar justru terjadi bukan melalui jalan Pemilu. Lihatlah bagaimana pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru, begitu juga berakhirnya rezim Orde Baru oleh gerakan reformasi. Semua terjadi bukan melalui Pemilu. Perubahan besar di Timur Tengah juga terjadi bukan melalui pemilu. Oleh karena itu, sungguh aneh kalau orang memutlakkan Pemilu sebagai jalan perubahan untuk mencapai cita-cita politik.
Apalagi dalam kenyataannya, dalam konteks cita-cita politik Islam, Pemilu tidak pernah memberikan kesempatan kepada kekuatan politik Islam untuk benar-benar meraih tujuan politik islaminya. Lihatlah apa yang terjadi di Aljazair, begitu juga di Palestina, Turki dan yang terakhir di Mesir saat Presiden Muhammad Mursi yang meraih jabatan itu melalui Pemilu kemudian secara keji dikudeta oleh pihak militer dengan dukungan negara Barat. Bukan hanya mengkudeta Mursi, militer Mesir juga (bakal) membubarkan Ikhwanul Muslimin setelah sebelumnya membantai ribuan pendukung Mursi. Peristiwa ini seolah mengulangi apa yang sebelumnya terjadi pada FIS di Aljazair dan Erbakan di Turki. Keduanya memenangi Pemilu, bahkan Erbakan sempat menjabat sebagai Perdana Menteri Turki selama 2 tahun sebelum akhirnya dihentikan oleh militer. Di Aljazair, hasil Pemilu yang dimenangi oleh FIS dibatalkan, bahkan kemudian FIS menjadi partai terlarang dan lebih dari 30 ribu anggotanya, termasuk Ali Belhaj dan Abbas Madani—dua tokoh utama FIS—dipenjara.
Artinya, Pemilu dalam sistem demokrasi hanya memberikan jalan bagi kekuatan politik Islam untuk meraih tujuan politiknya, termasuk dalam melahirkan peraturan perundangan dan kebijakan publik, sepanjang hal itu tidak membahayakan kepentingan Barat dan keberlangsungan sistem sekularisme. Sekali muncul kekuatan politik Islam yang berhasil meraih kekuasaan, yang dengan kekuasaan itu bakal menegakkan Islam yang sebenarnya, seperti FIS yang memang telah menyiapkan konstitusi baru bagi Aljazair yang sepenuhnya berdasar Islam, atau dikhawatirkan condong pada Islam seperti Erbakan di Turki atau Mursi di Mesir, negara Barat tak segan akan menghentikan kekuatan politik itu dengan segala cara (at all cost). Karena itu, bagaimana kita masih saja terus percaya pada jalan ini, dan menggantungkan masa depan cita-cita politik kita padanya?
Lalu bagaimana jalan islami agar Islam bisa sampai ke tampuk kekuasaan?
Melalui dakwah politik sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw. Dimulai dari tahap pembinaan dan pengkaderan (marhalah tatsqif wa takwin),  interaksi dengan umat (tafa’ul ma’a al-ummah) dan tahap istilam al-hukmi (penyerahterimaan kekuasaan) melalui dukungan ahlun-nushrah. Dari tahap pembinaan dan pengkaderan lahir kader dakwah yang ber-syakhsiyyah Islam dan pengembangan tubuh jamaah. Dari interaksi dengan umat melalui berbagai kegiatan seperti yang selama ini dilakukan, ide-ide Islam berkembang dan menjadi opini publik.  Pada saat yang sama, dilakukan kontak dengan the influenzial people (ashabul fa’aliyat) serta ahlul-quwwah baik dari kalangan penguasa maupun pemimpin militer sedemikian sehingga mereka paham, bersetuju dan mendukung bahkan memberikan nushrah atau pertolongan pada dakwah sehingga tercapai tujuan politik, yakni tegaknya syariah dan Khilafah. []

http://hizbut-tahrir.or.id/2014/02/04/h-m-ismail-yusanto-perubahan-besar-tak-melalui-jalan-demokrasi/

Senin, 27 Januari 2014


Sistem ini semakin membuatku muak, 
seorang ibu tua harus rela menjual barang dagangannya dengan harga murah,
karena persaingan yang semakin 'tak manusiawai dan ku yakin harga itu 'tak mampu memberi laba yang banyak untuk mencukupi kehidupan keluarganya...
Seorang laki-laki tua dengan kakinya yang lemah dan terlihat gemetar tiap hari harus menyusuri jalan setapak itu untuk menjajakan kue camilan pada setiap orang yang ditemuinya... 
meski ku tau, kalaupun semuanya laku terjual, mungkin penghasilan bapak tua itu sama dengan uang jajan buat bensin motor kita...

Yaa Allah...
betapa sesak dada ini, aku semakin benci dengan kedzoliman ini..
Mayoritas muslimah mengumbar aurat, mengundang syetan, merayu laki-laki untuk berbuat keji, mendatangkan murka Alllah, melunturkan hafalan, mengikis aqidah dan iman, menghapus rasa malu dan takut kepada Allah..
 
Aku semakin jijik hidup pada masa seperti ini, marah dan geram..
dimana seorang bapak tega menzinai putri kandungnya hingga kemaluannya membusuk dan mengalami koma, dan akhirnya meninggal...
bahkan ada juga sampai punya anak dengan anak kandungnya sendri...
seseorang yang mau nikah dengan kuda dan berharap punya anak darinya...
seseorang yang mau menikah dengan anjing karena alasan 'tak akan sakit hati soalnya kalau manusia bisanya mengkhianati..
na'udzubillah...
Kehidupan apa ini...??!!..
Inikah yang diagung-agungkan demokrasi..?!!
yang mengatasnamakan HAM yang akhirnya menepis alkan adanya Tuhan dalam mengatur kehidupan..?!!
tidakkah mereka lupa bahwa mereka diciptakan hanya dari setets air mani yang hina dan najis..!!??
tapi ketika mereka menjadi manusia mereka menjadi PENENTANG YANG NYATA... (QS. Yaasin: 77)

Aku amat benci dengan sistem, ini yang hingga detik ini banyak umat yang belum sadar bahwa mereka hanyalah seorang HAMBA, yang seharusnya tau kedudukannya HANYA untuk MENGABDI pada Robbnya yang telah menciptakan mereka tanpa keberatan hati sedikitpun apapun resiko yang harus diterima..
mereka lupa akan jati dirinya sabagai seorang HAMBA...
Namun jauh lebih dari itu, RahmatMu lebih terpampang indah, kamipun 'tak mampu menyadarinya dan 'tak mampu menerawanginya, karena DUNIA yang masih begitu berat kami tinggal... Astzghfirullah...
Sampai kapankah kami seperti ini..!!??
Sampai Engkau mengganti dengan kaum lain, yang mereka jauh lebih taat dan mencintaiMu dengan tulus..?!? Na'udzubillah...

Sebuah seruan yang harus mereka dengar: "...Wahai siapapun engkau yang mengaku HAMBA Allah, bukalah mata dan hatimu, dengarlah kalimat dan ayat-ayat Rabbmu melalui Islam ini..."
Dengarkan azam ini yaa Robbi... bahwa mulai detik ini kami serahkan hidup dan mati kami hanya untuk Mu..
Yaa Rabb.. selamatkan kami dari segala virus dan nafsu sesat yang dapat membawa keluar dari syariahMu.. jadikan kami menjadi salah satu PEJUANG yang ditangan kami khilafah tegak, mudahkan kami tercapainya RidhaMu, bukan ditangan umat yang lain...
Perlombaan untuk meraih cintam Mu, bukan meraih perlombaan untuk kebahagiaan dunia yang fana..
Teguhkanlah para PEJUANG_Mu yaa Rabb..
Allahumma Aamiin yaa mujibassailiin...

~Muslimah~

Minggu, 05 Januari 2014

 بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Yaa Aziz...
Jika cinta adalah pengorbanan,
tumbuhkan niat dari semua pengorbanan hamba semata-mata tulus untuk-Mu,
agar hamba ikhlas menerima apapun keputusan-Mu..

Yaa Robbi...
Jika rindu adalah rasa sakit yang tidak menemukan muaranya,
penuhilah rasa sakit hamba dengan rindu kepada-Mu,
dan jadikan kematian hamba sebagai muara pertemuan hamba dengan-Mu..

Yaa Robb...
Jika sayang adalah sesuatu yang mengindahkan,
ikatlah hamba dengan keindahan-mu,
agar damai senantiasa hamba rasakan saat terucap syukur hamba atas ni'mat dari-Mu dan dalam ketaatan ini kepada-Mu..

Yaa Allah...
Jika kasih adalah kebahagiaan yang tiada ujungnya,
tumbuhkan kebahagiaan dalam qalbu hamba disaat hamba persembahkan yang terbaik untuk-Mu..

Yaa Allah...
Qalbu hamba hanya cukup untuk satu cinta,
jika hamba tiada dapat mengisinya dengan cinta kepada-Mu,
kemanakah wajah hamba hendak hamba sembunyikan dari-Mu...??!!!

Yaa Kariem...
Dunia yeng Engkau bentangkan begitu luas,
bagai belantara yang tiada dapat hamba tembus,.
Maka sinarilah dengan secercah nur-Mu yang agung di malam yang gelap gulita,
agar hamba tiada tersesat dalam menapakinya..

Yaa Ghofur...
Berikan alas kaki buat hamba agar jalan yang hamba tapaki terasa ni'mat meski penuh dengan bebatuan dan duri-duri tajam.
Hamba tau semua ini  hanyalah milik-Mu,
suatu saat jika Engkau kehendaki semuanya akan kembali jua kepada-Mu..

Hamba pasrahkan semuanya kepada-Mu..
Yaa Ilahi...
ketika hati menangis,
hanya Engkau saja yang tahu.
Yaa Robbana...
Ketika cinta melalui dien-Mu ini tiada mampu tersampaikan pada umat ini,
ampuni mereka Yaa Robb, sebab tiadalah mereka paham betapa agungnya dien-Mu,
ampuni hamba yaa ilahi, tiada tampakkan indah dien-Mu,
sehingga mereka enggan mengambil hukum-Mu..
Astaghfirullah...

Yaa Robbana...
Yaa Rohman Ar-Rohiim yang tiada terkira..
Syukur hamba melangitpun tak tercapai,
ampuni hamba yang terkadang lalai pada-Mu, dalam setiap kewajiban dan amanah-Mu..

Yaa Robb...
diwaktu-waktu yang mulia ini,
hamba yang lemah dan ringkih ini benar-benar memohon pada-Mu,
teguhkan dan muliakanlah kami selalu di jalan-Mu Yaa Robb...
Ampuni segala khilaf dan dosa hamba.
Astaghfirullahal'adziim..
Sehingga surga sebagai tempat muara kami kembali. Faghfirlii yaa robbna...
Allahumma aamiin...


By: Muslimah_05012014

Rabu, 01 Januari 2014

Penghancur Agama




Hancurnya agama Anda, kata Syaikh Abdul Qadir Jailani, adalah karena 4 hal: (1) Anda tidak mengamalkan apa yang Anda ketahui; (2) Anda mengamalkan apa yang Anda tidak ketahui; (3) Anda tidak mencari tahu apa yang Anda tidak ketahui; (4) Anda menolak orang yang mengajari Anda apa yang tidak Anda ketahui (Jailani, Al-Fath ar-Rabbani wa Faydh ar-Rahmani, hlm. 43. Beirut: 1998).
1.   Tidak mengamalkan apa yang diketahui.
Allah Swt. telah mencela orang yang banyak tahu agama, bahkan banyak ngomong masalah agama, tetapi tidak melaksanakan apa yang dia ketahui dan sering dia diomongkan: Sungguh besar kebencian Allah karena kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan (TQS ash-Shaff [61]: 3).
Lebih dari itu, banyak tahu agama tetapi tidak mengamalkannya adalah sia-sia. Sebabnya, Allah Swt. menilai seseorang bukan dari ilmunya (yang banyak), tetapi dari amalnya: (Dialah Allah) Yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji manusia, siapa yang terbaik amalnya (TQS al-Mulk [67]: 2).
Dalam ayat ini, Allah menggunakan frasa ahsanu-’amala (amal terbaik), bukan aktsaru-’ilma (ilmu terbanyak). Maknanya, sebagaimana kata Nabi saw., “Selalu waspada (wara’) terhadap larangan-larangan Allah dan senantiasa bersegera menjalankan ketaatan kepada-Nya.” (Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, XVIII/207).
Karena itu, sangat disayangkan jika orang banyak tahu agama tetapi sedikit mengamalkan agamanya. Misal: Masih banyak Muslim yang tahu bahwa shalat, shaum dan zakat itu wajib, namun mereka tidak melaksanakannya. Banyak Muslimah yang tahu menutup aurat/berjilbab itu wajib, tetapi enggan melakukannya. Banyak pejabat, pegawai pemerintah, polisi, jaksa, hakim dll yang tahu suap dan korupsi itu haram/dosa, namun mereka tetap melakukannya. Banyak Muslim yang tahu bahwa menegakkan syariah Islam itu wajib, tetapi tidak berusaha memperjuangkannya, seolah-olah itu bukan urusannya. Banyak ulama yang tahu menegakkan Khilafah itu wajib. Mereka pun tahu kewajiban menegakkan Khilafah itu merupakan Ijmak Sahabat dan ijmak para ulama salafush-shalih. Namun, alih-alih berusaha menegakkannya, bahkan ada yang menganggap upaya tersebut tidak relevan untuk saat ini, ’memecah-belah’, ’mengancam’ NKRI, dll. Banyak tokoh kiai yang tahu bahwa riba itu haram tetapi tidak pernah mencegah Pemerintah yang nyata-nyata berutang ke luar negeri dengan bunga (riba) yang sangat ’mencekik’. Banyak pula aktivis dakwah yang tahu menjaga amanah dan memelihara akad itu wajib, tetapi sering melalaikan dan mengabaikannya.
2.   Mengamalkan apa yang tidak diketahui.
Tidak sedikit orang yang awam agama melakukan banyak hal yang dia sendiri tidak tahu status hukumnya; apakah halal atau haram. Misal: Tidak sedikit Muslim berbisnis saham/valas, melakukan transaksi kredit barang lewat lembaga leasing seperti menjamur saat ini, terlibat dalam bisnis asuransi, menjadi staf keuangan bank berbasis riba, mengadu untung dalam kuis via sms, dll. Tidak sedikit Muslim/Muslimah yang memandang baik profesi sebagai artis (penyanyi, penari, pemain film/sinetron dll)—yang biasanya akrab dengan atraksi membuka aurat, berkhalwat dan ber-ikhtilat, serta ragam maksiat lainnya; bahkan mereka berlomba-lomba meraihnya. Tidak sedikit pula Muslim yang memandang mulia demokrasi dan HAM, mempraktikkannya, bahkan bangga menjadi pejuangnya. Semua itu mereka lakukan karena mungkin tidak tahu keharamannya. Padahal Rasulullah saw.  telah bersabda (yang artinya), “Siapa saja yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka tertolak (haram, pen.).” (HR Muslim).
3.   Tidak mencari tahu apa yang tidak diketahuinya.
Banyak Muslim/Muslimah yang sadar dirinya awam dalam agama, tetapi tidak terdorong untuk mempelajari dan mendalami agama (taffaquh fi ad-din). Mereka seolah enjoy dengan kebodohannya dalam agama. Tidak sedikit pula hal ini melanda para aktivis dakwah. Misal: tidak sedikit aktivis dakwah yang malas belajar bahasa Arab, padahal mereka tahu mempelajarinya sangat urgen dalam upaya memahami agama demi bekal dakwah mereka; bahkan mereka tahu di antara faktor kemunduran umat adalah karena diabaikannya bahasa Arab.
4.   Menolak orang yang mengajari apa yang tidak diketahuinya.
Tidak sedikit Muslim yang—karena kesombongannya—menolak ketika orang lain mengajari (baca: mendakwahi)-nya. Padahal Rasulullah saw. telah bersabda (yang artinya), “Sombong itu menolak kebenaran.” (HR Muslim dan Abu Dawud).
Tidak sedikit pula yang enggan belajar kepada orang lain hanya karena orang lain itu lebih muda, karena lebih rendah tingkat pendidikan formalnya, karena dari kelompok/mazhab/harakah/partai yang berbeda, atau karena faktor-faktor lain.
******
Keempat hal di atas memang telah menghancurkan agama pada diri seorang Muslim ataupun di tengah-tengah masyarakat.
Akibatnya nyata: Hukum-hukum Allah dicampakkan dan dijauhkan. Hukum-hukum thaghut diterapkan dan dilestarikan. Kewajiban-kewajiban agama banyak ditinggalkan. Larangan-larangannya sering dilakukan dan bahkan jadi kebiasaan. Yang halal disembunyikan. Yang haram ditonjolkan. Yang sunnah enggan diamalkan. Yang bid’ah malah dibesar-besarkan. Adat menjadi ibadat. Ibadat bercampur dengan khurafat dan maksiat.
Demikianlah, akhirnya Islam sekadar sebutan; al-Quran sekadar jadi bacaan; as-Sunnah pun terlupakan.
Saat itu, sebagaimana isyarat Nabi saw., Islam kembali menjadi sesuatu yang asing, persis sebagaimana awal kedatangannya. Sabda Nabi saw. “Islam mulanya datang sebagai sesuatu yang asing dan nanti akan kembali dianggap asing. Berbahagialah orang-orang yang dipandang asing, yakni mereka yang selalu melakukan perbaikan-perbaikan di tengah-tengah masyarakat yang berlomba-lomba melakukan kerusakan-kerusakan.” (HR Ahmad). 
Wama tawfiqi illa billah. 

By: Ustdz. Arief B. Iskandar

Pidato Penaklukan Constantinople…محمد الفاتح


Wahai tentara sekalian…
itu Konstantin di hadapan kalian
Allah memberi kita taufik ntuk menyiapkan bekal dan kekuatan…
kita memiliki senjata baru…
meriam-meriam yang belum ada sebelumnya
Aku wasiatkan kalian untuk taqwa kepada Allah..
dan ku nasehatkan untuk selalu bersabar
dan jangan melangkah sekalipun
kecuali kalian selalu ingat Allah
Kita berperang untuk meninggikan kalimat Allah
bukan karena ghonimah atau harta…
dan yang paling ku khawatirkan ialah dosa-dosa kalian
lalu ia menyerang kalian hingga tekad kalian lemah
dan melemahkan kekuatan kalian…
Bertaubatlah kalian…pasti Allah membantu…
Wahai tentara…kita sudah mencapai pantai Selatan
dan insyaallah sekarang yang setelahnya…
berjalanlah di negeri yang telah Allah janjikan…
untuk diwariskan kepada kalian…
dan aku berharap kabar gembira nabi adalah bagian kita…
Yaa Allah…
Bukakanlah Konstantin dengan tangan kami…
dan bantulah kami dengan pertolonganMu yaa Kariim
Yaa Allah kabulkanlah doa kami…


_________________________________________________________
“Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan” [H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad 4/335]
Bisyaroh Rasulullah yang memberikan semangat pada sahabat untuk berjuang mewujudkannya. Hingga akhirnya penantian selama 800 tahun lebih itupun terwujud. Sosok muhammad Al Faith yang telah mewujudkan bisyaroh itu, perjuangan yang memakan waktu 54 hari perang berbuah hasil, dan pada tanggal 29 mei 1453 Konstantinopel berhasil dibebaskan oleh kaum muslimin dan hidup sejahtera dalam naungan Daulah Khilafah…

MEMELIHARA SIKAP MURAQABAH

AIlah SWT berfirman (yang artinya): “Dia selalu bersama kalian di mana pun kalian berada” (QS al-Hadid: 4); “Sesungguhnya tidak ada sesuatupun yang tersembunyi di mata Allah, baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi” (QS Ali Imran: 6); “Allah mengetahui mata yang berkhianat yang mencuri pandang terhadap apa saja yang diharamkan dan apa saja yang tersembunyi di dalam dada” (QS Ghafir: 19).
Sebagian ulama mengisyaratkan, ayat-ayat ini merupakan tadzkirah (peringatan) bahwa: Allah Maha Tahu atas dosa-dosa kecil, apalagi dosa-dosa besar; Allah Mahatahu atas apa saja yang tersembunyi di dalam dada-dada manusia, apalagi yang tampak secara kasat mata.
Di sinilah pentingnya muroqabah. Muroqabah (selalu merasa ada dalam pengawasan Allah SWT) adalah salah satu maqarn dari sikap ihsan, sebagaimana yang pernah diisyaratkan oleh Malaikat Jibril as. dalam hadits Rasulullah SAW, saat kepada beliau ditanyakan: apa itu ihsan? Saat itu Malaikat Jibril as sendiri yang menjawab, “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Dia. Jika engkau tidak melihat Allah maka sesungguhnya Dia melihat engkau.”(HR Muslim).
Demikian pula sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits penuturan Ubadah bin ash-Shamit, bahwa Baginda Rasulullah SAW pernah bersabda, “Iman seseorang yang paling utama adalah dia menyadari bahwa Allah senantiasa ada bersama dirinya di manapun.” (HR al¬Baihaqi,Syu’aba1-1man, I/470).
Dalam hadits lain Baginda Rasulullah bersabda, “Bertakwalah engkau dalam segala keadaanmu!” (HR at-Tirmidzi, Ahmad dan ad-Darimi).
Dalam Tuhfah al-Awadzi bi Syarh Jaami’at-Tirmidzi, disebutkan bahwa frase haytsumma kunta (dalam keadaan bagaimanapun) maksudnya dalam keadaan lapang/sempit, senang/susah, ataupun riang gembira/saat tertimpa bencana (Al-Mubarakfuri, VI/104). Haytsumma kunta juga bermakna: di manapun berada, baik saat manusia melihat Anda ataupun saat mereka tak melihat Anda (Muhammad bin’Alan ash-Shiddiqi, Dalil al-Falihin, I/164).
Terkait dengan sikap muraqabah atau ihsan ini, ada riwayat bahwa Umar bin al-Khaththab pernah menguji seorang anak gembala. Saat itu Umar membujuk sang gembala agar menjual domba barang seekor dari sekian ratus ekor domba yang dia gembalakan, tanpa harus melaporkannya ke majikan sang gembala. Toh sang majikan tak akan mengetahui karena banyaknya domba yang digembalakan. Namun, apa jawaban sang gembala. “Kalau begitu, di mana Allah? Majikanku mungkin memang tak tahu. Namun, tentu Allah Maha Tahu dan Maha Melihat,”tegas sang gembala.
Jujur harus kita akui, sikap muroqabah (selalu merasa dalam pengawasan Allah SWT), sebagaimana yang ditunjukkan oleh sang gembala dalam kisah di atas, makin jauh dari kehidupan banyak individu Muslim saat ini. Banyak Muslim yang berperilaku seolah-olah Allah SWT tak pernah melihat dia. Tak ada lagi rasa takut saat bermaksiat. Tak ada lagi rasa khawatir saat melakukan dosa. Tak ada lagi rasa malu saat berbuat salah. Tak ada lagi rasa sungkan saat berbuat keharaman. Setiap dosa, kemaksiatan keharaman dan kesalahan’mengalir’ begitu saja dilakukan seolah tanpa beban. Banyak Muslim saat ini yang tak lagi merasa risih saat korupsi, tak lagi ragu saat menipu, tak lagi merasa berat saat mengumbar aurat, tak lagi merasa berdosa saat berzina, tak lagi merasa malu saat selingkuh, dll. Semua itu terjadi akibat mereka gagal ‘menghadirkan’ Allah SWT di sisinya dan melupakan pengawasan-Nya atas setiap gerak-gerik dirinya. Mengapa gagal? Karena banyak individu Muslim yang awas mata lahiriahnya, tetapi buta mata batiniahnya. Mereka hanya mampu melihat hal-hal yang kasat mata, tetapi gagal ‘melihat’ hal-hal yang gaib: pengawasan Allah SWT; Hari Perhitungan, surga dan neraka, pahala dan siksa, dst. Yang bisa mereka lihat hanyalah kenikmatan dunia yang sedikit dan kesenangan sesaat. Tentu, kondisi ini harus diubah, agar seorang Muslim kembali memiliki sikap muraqabah.
Adanya sikap muraqabah pada diri seorang Muslim paling tidak dicirikan oleh dua hal.
Pertama: selalu berupaya menghisab diri, sebelum dirinya kelak dihisab oleh Allah SWT.
Kedua: sungguh-sungguh beramal shalih sebagai bekal untuk kehidupan sesudah mati. Dua hal inilah yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, “Orang cerdas adalah orang yang selalu menghisab dirinya dan beramal shalih untuk bekal kehidupan setelah mati. Orang lemah adalah orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah SWT” (HR at-Tirmidzi, Ahmad, Ibn Majah dan al-Hakim).
Ketiga: meninggalkan hal-hal yang sia-sia, sebagaimana sabda Nabi SAW, “Di antara kebaikan keislaman seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tak berguna.’ (HR at-Tirmidzi), Jika yang tak berguna saja—meski halal— ia tinggalkan, apalagi yang Haram.
Itulah di antara wujud sikap muraqabah. Semoga kita adalah pelakunya.

Qalbun Maridh’

Kita ini kadang aneh,” kata ustad muda itu di hadapan jamaahnya. “Jika lahiriah kita sakit, kita cepat-cepat cari obat. Jika sakitnya ringan, cukup pake ‘obat warung’. Jika agak berat, buru-buru ke dokter. Jika berat dan gak sembuh-sembuh, kita segera ke rumah sakit. Kita bahkan rela dirawat dan mengeluarkan banyak uang jika sakitnya parah dan mengharuskan kita masuk rumah sakit.”
“Tapi, coba kalau yang sakit batiniah kita, hati/kalbu kita. Kita kadang tak segera menyadarinya, apalagi merasakannya. Boro-boro terdorong untuk mencari obatnya,” imbuhnya.
“Orang sakit itu, biasanya makan/minum gak enak. Sakit demam saja, kadang segala yang masuk ke mulut terasa pahit di lidah. Padahal tak jarang, orang sakit disuguhi makanan yang enak-enak, yang lezat-lezat, kadang yang harganya mahal-mahal pula. Namun, semua terasa pahit, gak enak, gak selera,” tegasnya lagi.
“Sebetulnya, mirip dengan sakit lahiriah, sakit batiniah juga membuat penderitanya merasa ‘pahit’. Apa-apa gak enak, gak selera, gak semangat. Shalat berjamaah di masjid ‘pahit’. Shalat malam terasa gak enak. Shaum sunnah gak selera. Baca al-Quran, meski cuma satu-dua halaman, terasa berat. Hadir di majelis taklim, meski cuma satu jam, tak betah. Dakwah pun sering gak semangat. Padahal semua amalan tadi—jika diibaratkan makanan—adalah ‘enak’ dan ‘lezat’. Betapa tidak! Baca al-Quran saja, misalnya, meski hanya satu huruf, akan Allah balas dengan sepuluh kebaikan. Bagaimana jika kita membaca setiap hari satu ayat, satu halaman, apalagi satu juz yang bisa terdiri dari ratusan ayat, yang tentu terdiri dari ribuan huruf? Betapa enaknya, betapa lezatnya,” tegas ustad itu lagi mengajak jamaahnya merenung.
*****
Saya pun merenung. Saya coba menyelami kata-katanya yang penuh hikmah itu. Benar apa yang ustad muda itu sampaikan. Betapa kita sering tak menyadari apalagi merasakan bahwa hati/batiniah kita sering sakit. Padahal mungkin sudah lama kita tak merasakan lezatnya beribadah seperti shalat, membaca al-Quran, shaum, dll; tak merasakan enaknya berinfak di jalan Allah, berdakwah, melakukan amar makruf nahi mungkar, dll. Bahkan mungkin sudah lama hati kita pun tak lagi bergetar saat mendengar ayat-ayat Allah dilantunkan, apalagi sampai pipi kita ini basah oleh airmata, walau hanya setitik, saat ayat-ayat Allah diperdengarkan. Padahal Allah SWT telah mengabarkan bahwa andai al-Quran diturunkan pada gunung-gunung yang kokoh, niscaya dia akan menjadi hancur-lebur karena takut kepada Allah (QS al-Hasyr: 21).
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah-rahimahullah berkata, “Ketahuilah bahwa keringnya mata dari tangisan adalah karena kerasnya hati. Hati yang keras adalah hati yang paling jauh dari Allah.” (Ibn al-Qayyim, Bada’i’ al-Fawa’id, III/743).
Ibnu al-Qayyim rahimahullah membagi hati menjadi tiga jenis.
Pertama: Qalbun Mayyit (Hati yang Mati).
Itulah hati yang kosong dari semua jenis kebaikan. Sebabnya, setan telah ‘merampas’ hatinya sebagai tempat tinggalnya, berkuasa penuh atasnya dan bebas berbuat apa saja di dalamnya. Inilah hati orang-orang yang kafir kepada Allah.
Kedua: Qalbun Maridh (Hati yang Sakit).
Qalbun maridh adalah hati yang telah disinari cahaya keimanan. Namun, cahayanya kurang terang sehingga ada sisi hatinya yang masih gelap, dipenuhi oleh kegelapan syahwat dan badai hawa nafsu. Karena itu, setan masih leluasa keluar-masuk ke dalam jenis hati seperti ini. Orang yang memiliki hati yang sakit, selain tak merasakan lezatnya ketaatan kepada Allah SWT, juga sering terjerumus ke dalam kemaksiatan dan dosa, baik besar ataupun kecil. Hati yang seperti ini masih bisa terobati dengan resep-resep yang bisa menyehatkan hatinya. Namun tak jarang, ia tidak bisa lagi mengambil manfaat dari obat yang diberikan padanya, kecuali sedikit saja. Apalagi jika tak pernah diobati, penyakitnya bisa bertambah parah, yang pada akhirnya bisa berujung pada ‘kematian hati’.
Ketiga: Qalbun Salim (Hati yang Sehat)
Qalbun Salim adalah hati yang dipenuhi oleh keimanan; telah hilang darinya badai-badai syahwat dan kegelapan-kegelapan maksiat. Cahaya keimanan itu terang-benderang di dalam hatinya. Orang yang memiliki hati semacam ini akan selalu merasakan nikmatnya beribadah (berzikir, membaca al-Quran, shalat malam, dll); merasakan lezatnya berdakwah; merasakan enaknya melakukan amar makruf nahi mungkar; bahkan merasakan nikmatnya berperang di jalan Allah SWT.
Di antara sedikit tanda orang yang memiliki hati yang sehat adalah mereka yang Allah gambarkan dalam firman-Nya: Jika dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, mereka tersungkur dengan bersujud dan menangis (TQS Maryam: 58).
Imam Al-Qurthubi berkata, “Di dalam ayat ini terdapat bukti bahwa ayat-ayat Allah memiliki pengaruh terhadap hati.” (al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 11/111).
Inilah juga gambaran hati para salafush-shalih dan generasi orang-orang terbaik dari kalangan umat ini. Jika salah seorang dari mereka melewati ayat-ayat yang menceritakan neraka, hati mereka seperti terasa akan copot karena takut. Jika mereka melewati ayat-ayat yang mengisahkan surga dan kenikmatannya, terasa persendian mereka gemetar karena khawatir mereka akan diharamkan masuk surge dan merasakan kenikmatan yang kekal itu. Dua keadaan inilah yang sering menyentuh hati mereka hingga mereka sering meneteskan airmata. Air mata inilah yang justru akan menyelamatkan mereka dari azab neraka sekaligus memasukkan mereka ke dalam surga. Nabi saw. bersabda, “Ada dua mata yang tak akan disentuh api neraka: mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang tak tidur di malam hari karena berjaga di jalan Allah.” (HR at-Tirmidzi).
Jika kita memiliki hati yang sehat seperti ini, bersyukur dan bergembiralah. Itulah tanda bahwa hati kita sehat (qalbun salim). Hanya hati jenis inilah yang akan diterima Allah SWT saat kita menghadap kepada-Nya (QS asy-Syura: 88-89).
Namun, jika hati kita termasuk hati yang sakit, maka segeralah obati dengan tobat, jaga diri dari maksiat, dan perbanyaklah taqarrub kepada Allah SWT dengan selalu taat. Jangan biarkan hati kita makin parah sakitnya, karena bisa-bisa akhirnya hati kita menjadi mati. Na’udzu billah.
Wa mâ tawfîqî illâ billâh wa ’alayhi tawakkaltu wa ilayhi unîb

http://hizbut-tahrir.or.id/2011/01/13/qalbun-maridh%E2%80%99/