MAKNA POLITIK IBADAH HAJI
oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Haji
sebagai rukun Islam yang kelima merupakan bagian dari ibadah mahdhah.
Sebagaimana ibadah mahdhah yang lain, Allah memang tidak pernah
menjelaskan alasan disyariatkannya ibadah ini. Yang pasti banyak manfaat
ibadah haji (QS al-Hajj [22]: 27-28). Ada yang bersifat individual dan
komunal; ada yang berkaitan dengan hak-hak Allah dan makhluk. Di luar
itu, ternyata haji memiliki makna politik.
Ibadah
haji adalah ibadah jamaah yang dilaksanakan pada waktu yang sama di
tempat yang sama. Dimulai dari persiapan ibadah haji (tarwiyyah) di Mina
pada tanggal 8 Dzulhijjah. Dilanjutkan dengan wukuf di Arafah pada
tanggal 9 Dzulhijjah, dimulai menjelang matahari tergelincir (zawâl)
hingga terbenam (ghurûb). Dilanjutkan dengan mabit (menginap) di
Muzdalifah pada malam harinya. Kemudian dilanjutkan dengan jumrah Aqabah
pada tanggal 10 Dzulhijjah, tahallul shughrâ, menyembelih hadyu bisa di
Mina atau di Makkah, dilanjutkan dengan thawaf Ifadhah dan sa’i di
Masjid al-Haram. Lalu, kembali lagi ke Mina untuk mabit dan jumrah Ula,
Wustha dan Aqabah pada tanggal 11 dan 12, bagi yang ingin meninggalkan
Mina pada tanggal 12 Dzulhijjah (Nafar Awwal), ataupun 11, 12 dan 13
bagi yang ingin meninggalkan Mina pada tanggal 13 Dzulhijjah (Nafar
Tsâni). Dengan berakhirnya rangkaian ini selesailah sudah ibadah haji
seseorang.
Di
tempat-tempat itulah, seluruh jamaah haji dari berbagai penjuru dunia
berkumpul, bertemu dan berinteraksi. Mereka disatukan oleh akidah dan
pandangan hidup yang sama. Di sana, mereka mempunyai tujuan yang sama.
Pemandangan inilah yang disebut masyhad al-a’dham (pemandangan agung)
yang dibanggakan oleh Allah dari penghuni bumi kepada para malaikat di
langit. Nabi menyatakan, “Sesungguhnya Allah membanggakan Ahli Arafah
(orang-orang yang berkumpul dan wukuf di Arafah) kepada penghuni
langit.” (HR Ibn Hibban dari Abu Hurairah). Jika Allah saja membanggakan
mereka di hadapan malaikat, maka umat Islam yang menyadari posisinya
itu tidak akan merasa inferior, apalagi di hadapan orang-orang kafir,
seperti Amerika, Inggris dan lain-lain.
Selain
itu, mereka juga solid, terbukti bahwa mereka bisa melakukan manasik
yang sama, pada waktu dan tempat yang sama, bukan digerakkan oleh
kekuatan fisik pemimpin mereka, tetapi kekuatan akidah dan pemahaman
agama mereka. Mereka bisa menyatu dan mengalir begitu kuatnya seperti
air menuju tiap titik manasik, dan tidak ada siapapun kekuatan yang bisa
membendung aliran mereka. Semuanya ini membuktikan bahwa umat ini
adalah umat yang satu; umat yang kuat dan tidak bisa dikalahkan oleh
siapapun, karena persatuan mereka.
Kekuatan
yang luar biasa ini didukung oleh kekuatan mental dan spiritual mereka,
sebagaimana yang ditanamkan ibadah. Sejak dari rumah mereka sudah
pasrahkan semua harta, keluarga, jabatan dan apapun yang mereka tinggal
kepada Allah, dan siap hidup-mati melaksanakan perintah-Nya dengan
ketundukan dan kepatuhan mutlak. Dengan kata lain, mereka tidak lagi
mempunyai penyakit Wahn atau Hubb ad-Dunya wa Karahiyyatu al-Maut
(mencintai dunia dan takut mati). Di saat seperti itu, mereka akan siap
melakukan apapun yang diminta oleh Allah dan memberikan segalanya. Meski
diperintah untuk melaksanakan sesuatu yang tampak irasional, seperti
mencium dan menyentuh Hajar Aswad, atau menyentuh Rukun Yamani, mencari
batu dan melempar jumrah Aqabah; jumrah Ula, Wustha dan Aqabah. Jika
saja kekuatan umat yang dahsyat ini ditransformasikan dalam kehidupan
nyata pasca haji, maka umat ini akan menjadi umat terbaik, terkuat,
superior dan adidaya tak terkalahkan.
Selain
itu, masyhad a’dham ini juga membuktikan, bahwa umat Islam ini bisa
bersatu dalam satu tujuan dan nusuk, sekalipun negeri, bangsa, warna
kulit, mazhab, bahkan bahasa mereka berbeda. Namun, masyhad a’dham ini
tidak akan tampak lagi, ketika mereka sudah kembali ke negeri asal
mereka. Jika saja, realitas masyhad a’dham itu juga mereka
transformasikan dalam kehidupan politik mereka, maka umat ini tidak akan
lagi tersekat dengan nation state, yang selama ini menghalangi
persatuan mereka. Sebaliknya, mereka hanya hidup dalam satu negara, di
bawah satu bendera, La ilaha ill-Llah Muhammad Rasulullah, satu imam,
satu sistem (syariah) dan satu tujuan. Itulah Khilafah.
Haji
juga menampakkan fenomena lain. Sejak niat pertama melaksanakan ibadah,
mereka harus mengenakan pakaian ihram yang putih dan tidak berjahit,
mulai dari tarwiyah hingga tahallul shughra, tanggal 8-10 Dzulhijjah.
Saat itu, semua orang sama. Tidak ada lagi budak, majikan, kepala
negara, rakyat, kaya, miskin, kulit putih, hitam dan sebagainya.
Semuanya dibalut dengan pakaian yang sama, putih-putih, tidak berjahit,
dengan muka dan kepala terbuka, berpanas-panas, berdesak-desakkan dan
melakukan nusuk yang sama.
Ini
merupakan sya’air hajj (simbol haji) yang memanifestasikan sikap
egalitarian yang sesungguhnya. Semuanya sama di hadapan Allah. Semuanya
melakukan hal yang sama, dan semua diperlakukan dengan perlakukan sama,
sebagai dhuyûf ar-Rahmân (tamu Allah). Bahkan Nabi pun menolak
diperlakukan istimewa. Ketika ada seseorang menawarkan jasa kepada Nabi,
untuk menyiapkan tempat mabit yang teduh di Mina, dengan tegas Nabi
menolak, “Tidak, Mina adalah tempat bagi siapa saja yang lebih dahulu
sampai.” (Hr. Ibn Khuzaimah dari ‘Aisyah).
Darah,
harta dan tanah mereka, seluruh umat Islam di seluruh dunia, sama
kedudukannya. Sama-sama dimuliakan. Maka, tidak boleh ditumpahkan dan
dinodai oleh siapapun, sebagaimana kemuliaan dan kesucian tanah, bulan
dan hari haram ini. Itulah proklamasi yang dikumandangkan oleh Nabi pada
saat Haji Wada’, di padang Arafah (Hr. Bukhari-Muslim dari Ibn ‘Umar).
Tidak
hanya itu, baginda SAW pun menegaskan, bahwa satu nyawa orang Islam
lebih mulia bagi Allah, ketimbang Ka’bah. Karena hancurnya Ka’bah lebih
ringan bagi-Nya, ketimbang hilangnya satu nyawa orang Islam (as-Sakhawi,
al-Maqashid al-Hasanah, juz I/381). Padahal, siapa pun yang berdiri di
hadapan Ka’bah, pasti akan merasa kecil. Tentu mereka akan lebih tidak
sanggup lagi ketika menyaksikan darah dan nyawa orang Islam ditumpahkan.
Jika
kesadaran itu ditransformasikan dalam kehidupan nyata, maka di hadapan
sesama Muslim mereka merasa sama, sebaliknya mereka akan merasa superior
di hadapan orang-orang kafir. Mereka tidak rela, jika tanah dan harta
mereka dirampok oleh negara-negara kafir penjajah. Mereka juga tidak
akan rela, saudara mereka dibantai atau ditangkap dan dipenjarakan atas
pesanan negara-negara Kafir penjajah, sekalipun dilakukan dengan
menggunakan tangan saudara mereka, sesama Muslim. Jika kesadaran itu
ada, mereka pasti bangkit, dan merdeka. Semua kekuatan yang menghalangi
kebangkitan mereka pun akan mereka libas, termasuk para penguasa antek
penjajah.
Ketika
dua tanah Haram, Makkah dan Madinah, dijadikan sebagai tempat
pelaksanaan ibadah haji dan ziarah bagi jamaah haji, maka bagi mereka
yang mempunyai modal pengetahuan sejarah tentang kedua tanah itu, pasti
akan merasakan pengaruh yang luar biasa dalam diri mereka. Betapa tidak,
di sana mereka bisa menyaksikan langsung lembah Aqabah, tempat di mana
Nabi dibaiat menjadi kepala Negara Islam pertama. Mereka juga bisa
menyaksikan Hudaibiyyah, tempat di mana perjanjian Hudaibiyyah
dilakukan, yang menjadi pintu masuk Fathu Makkah (Pembebasan Kota
Makkah). Ketika mereka menyusuri kawasan al-Judriyyah, sebelah atas
Masjid al-Haram, mereka akan menemukan masjid ar-Râyah (masjid Bendera).
Di situlah pada tahun 8 H, Nabi bersama 10.000 tentaranya berhenti di
tempat itu, dan menancapkan Rayatu al-Uqab, bendera berwarna hitam
dengan tulisan La ilaha Ill-Llah Muhammad Rasulullah, menandai jatuhnya
kota Makkah ke tangan kaum Muslim. Di tempat itu pula, Nabi melakukan
shalat dua rakaat.
Ketika
kita ziarah ke Madinah, di sana kita akan menemukan Masjid Nabawi yang
menjadi pusat pemerintahan Nabi. Di sana, Nabi dan dua sahabat mulia
baginda dimakamkan. Di masjid itu, selain ada Raudhah, surga Allah di
bumi, juga ada tiang-tiang (usthuwanah) yang bersejarah: (1) Usthuwanah
al-Hirs, tempat di mana dahulu ‘Ali bin Abi Thalib senantia menjaga
Nabi; (2) Usthuwanah al-Wufûd, tempat di mana Nabi menerima para tamu,
terutama delegasi dari berbagai kabilah dan negara; (3) Usthuwanah
al-Taubah, tempat Abu Lubabah bertaubat, karena merasa sangat bersalah
telah membantu Yahudi Bany Quraidzah yang telah berkhianat pada
Rasulullah SAW.
Di
luar Masjid Nabawi, lurus dengan Bâb as-Salâm, ada Sûqu an-Nabi (pasar
Nabi), Saqîfah Banî Sa’âdah, tempat di mana Abu Bakar dibaiat menjadi
kepala Negara Islam kedua, menggantikan Nabi. Masih banyak yang lain.
Ketika
kita menyaksikan tempat-tempat bersejarah itu, semangat dan kesadaran
politik kita akan bangkit. Karena kita sadar, bahwa Nabi dan generasi
terbaik umat ini dahulu mendirikan Negara Islam dimulai dengan
perjuangan yang luar biasa. Sejak merintis di Makkah hingga berdirinya
negara itu di Madinah, Nabi dan para sahabat berjuang siang-malam.
Bahkan, ketika negara itu telah berdiri, manusia-manusia paling mulia di
muka bumi itu justru tidak pernah beristirahat. Tidak kurang 50 perang
besar dan kecil mereka arungi dalam kurun 10 tahun. Maka, wajar jika
hanya dalam waktu 9 tahun, seluruh Jazirah Arab telah berhasil mereka
taklukkan.
Semua
memori kita itu akan melecutkan semangat dan kesadaran yang membuncah
dalam diri kita. Dengan begitu, ketika kita berhaji tidak saja
mendapatkan haji mabrur, tetapi juga menjadi pribadi yang berbeda. Di
dalam dirinya telah tertanam semangat, kesadaran dan tekad yang kuat
untuk mengembalikan kejayaan Islam, sebagaimana yang dilakukan oleh
baginda SAW dan para sahabat.
Itulah makna politik ibadah haji yang seharusnya kita petik.
Sumber: https://www.facebook.com/har1924/posts/496870980473819