AIlah SWT berfirman (yang artinya): “Dia selalu bersama kalian di
mana pun kalian berada” (QS al-Hadid: 4); “Sesungguhnya tidak ada
sesuatupun yang tersembunyi di mata Allah, baik yang ada di langit
maupun yang ada di bumi” (QS Ali Imran: 6); “Allah mengetahui mata yang
berkhianat yang mencuri pandang terhadap apa saja yang diharamkan dan
apa saja yang tersembunyi di dalam dada” (QS Ghafir: 19).
Sebagian ulama mengisyaratkan, ayat-ayat ini merupakan tadzkirah
(peringatan) bahwa: Allah Maha Tahu atas dosa-dosa kecil, apalagi
dosa-dosa besar; Allah Mahatahu atas apa saja yang tersembunyi di dalam
dada-dada manusia, apalagi yang tampak secara kasat mata.
Di sinilah pentingnya muroqabah. Muroqabah
(selalu merasa ada dalam pengawasan Allah SWT) adalah salah satu maqarn
dari sikap ihsan, sebagaimana yang pernah diisyaratkan oleh Malaikat
Jibril as. dalam hadits Rasulullah SAW, saat kepada beliau ditanyakan:
apa itu ihsan? Saat itu Malaikat Jibril as sendiri yang menjawab,
“Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Dia. Jika engkau
tidak melihat Allah maka sesungguhnya Dia melihat engkau.”(HR Muslim).
Demikian pula sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits penuturan
Ubadah bin ash-Shamit, bahwa Baginda Rasulullah SAW pernah bersabda,
“Iman seseorang yang paling utama adalah dia menyadari bahwa Allah
senantiasa ada bersama dirinya di manapun.” (HR
al¬Baihaqi,Syu’aba1-1man, I/470).
Dalam hadits lain Baginda Rasulullah bersabda, “Bertakwalah engkau
dalam segala keadaanmu!” (HR at-Tirmidzi, Ahmad dan ad-Darimi).
Dalam Tuhfah al-Awadzi bi Syarh Jaami’at-Tirmidzi, disebutkan bahwa
frase haytsumma kunta (dalam keadaan bagaimanapun) maksudnya dalam
keadaan lapang/sempit, senang/susah, ataupun riang gembira/saat tertimpa
bencana (Al-Mubarakfuri, VI/104). Haytsumma kunta juga bermakna: di
manapun berada, baik saat manusia melihat Anda ataupun saat mereka tak
melihat Anda (Muhammad bin’Alan ash-Shiddiqi, Dalil al-Falihin, I/164).
Terkait dengan sikap muraqabah atau ihsan ini, ada riwayat bahwa Umar
bin al-Khaththab pernah menguji seorang anak gembala. Saat itu Umar
membujuk sang gembala agar menjual domba barang seekor dari sekian ratus
ekor domba yang dia gembalakan, tanpa harus melaporkannya ke majikan
sang gembala. Toh sang majikan tak akan mengetahui karena banyaknya
domba yang digembalakan. Namun, apa jawaban sang gembala. “Kalau begitu,
di mana Allah? Majikanku mungkin memang tak tahu. Namun, tentu Allah
Maha Tahu dan Maha Melihat,”tegas sang gembala.
Jujur harus kita akui, sikap muroqabah (selalu merasa dalam
pengawasan Allah SWT), sebagaimana yang ditunjukkan oleh sang gembala
dalam kisah di atas, makin jauh dari kehidupan banyak individu Muslim
saat ini. Banyak Muslim yang berperilaku seolah-olah Allah SWT tak
pernah melihat dia. Tak ada lagi rasa takut saat bermaksiat. Tak ada
lagi rasa khawatir saat melakukan dosa. Tak ada lagi rasa malu saat
berbuat salah. Tak ada lagi rasa sungkan saat berbuat keharaman. Setiap
dosa, kemaksiatan keharaman dan kesalahan’mengalir’ begitu saja
dilakukan seolah tanpa beban. Banyak Muslim saat ini yang tak lagi
merasa risih saat korupsi, tak lagi ragu saat menipu, tak lagi merasa
berat saat mengumbar aurat, tak lagi merasa berdosa saat berzina, tak
lagi merasa malu saat selingkuh, dll. Semua itu terjadi akibat mereka
gagal ‘menghadirkan’ Allah SWT di sisinya dan melupakan pengawasan-Nya
atas setiap gerak-gerik dirinya. Mengapa gagal? Karena banyak individu
Muslim yang awas mata lahiriahnya, tetapi buta mata batiniahnya. Mereka
hanya mampu melihat hal-hal yang kasat mata, tetapi gagal ‘melihat’
hal-hal yang gaib: pengawasan Allah SWT; Hari Perhitungan, surga dan
neraka, pahala dan siksa, dst. Yang bisa mereka lihat hanyalah
kenikmatan dunia yang sedikit dan kesenangan sesaat. Tentu, kondisi ini
harus diubah, agar seorang Muslim kembali memiliki sikap muraqabah.
Adanya sikap muraqabah pada diri seorang Muslim paling tidak dicirikan oleh dua hal.
Pertama: selalu berupaya menghisab diri, sebelum dirinya kelak dihisab oleh Allah SWT.
Kedua: sungguh-sungguh beramal shalih sebagai bekal untuk
kehidupan sesudah mati. Dua hal inilah yang disabdakan oleh Rasulullah
SAW, “Orang cerdas adalah orang yang selalu menghisab dirinya dan
beramal shalih untuk bekal kehidupan setelah mati. Orang lemah adalah
orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya dan berangan-angan kepada
Allah SWT” (HR at-Tirmidzi, Ahmad, Ibn Majah dan al-Hakim).
Ketiga: meninggalkan hal-hal yang sia-sia, sebagaimana sabda
Nabi SAW, “Di antara kebaikan keislaman seseorang adalah meninggalkan
hal-hal yang tak berguna.’ (HR at-Tirmidzi), Jika yang tak berguna
saja—meski halal— ia tinggalkan, apalagi yang Haram.
Itulah di antara wujud sikap muraqabah. Semoga kita adalah pelakunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar