Penghancur Agama
Hancurnya agama Anda, kata Syaikh
Abdul Qadir Jailani, adalah karena 4 hal: (1) Anda tidak mengamalkan apa yang
Anda ketahui; (2) Anda mengamalkan apa yang Anda tidak ketahui; (3) Anda tidak
mencari tahu apa yang Anda tidak ketahui; (4) Anda menolak orang yang mengajari
Anda apa yang tidak Anda ketahui (Jailani, Al-Fath ar-Rabbani wa Faydh ar-Rahmani, hlm. 43. Beirut: 1998).
1.
Tidak mengamalkan apa yang diketahui.
Allah Swt.
telah mencela orang yang banyak tahu agama, bahkan banyak ngomong masalah
agama, tetapi tidak melaksanakan apa yang dia ketahui dan sering dia
diomongkan: Sungguh besar kebencian Allah karena kamu mengatakan apa yang tidak kamu
kerjakan (TQS ash-Shaff [61]: 3).
Lebih dari itu,
banyak tahu agama tetapi tidak mengamalkannya adalah sia-sia. Sebabnya, Allah
Swt. menilai seseorang bukan dari ilmunya (yang banyak), tetapi dari amalnya: (Dialah Allah) Yang menciptakan
kematian dan kehidupan dalam rangka menguji manusia, siapa yang terbaik amalnya (TQS al-Mulk [67]: 2).
Dalam ayat ini,
Allah menggunakan frasa ahsanu-’amala (amal
terbaik), bukan aktsaru-’ilma (ilmu
terbanyak). Maknanya, sebagaimana kata Nabi saw., “Selalu waspada (wara’)
terhadap larangan-larangan Allah dan senantiasa bersegera menjalankan ketaatan
kepada-Nya.” (Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, XVIII/207).
Karena itu,
sangat disayangkan jika orang banyak tahu agama tetapi sedikit mengamalkan
agamanya. Misal: Masih banyak Muslim yang tahu bahwa shalat, shaum dan zakat
itu wajib, namun mereka tidak melaksanakannya. Banyak Muslimah yang tahu
menutup aurat/berjilbab itu wajib, tetapi enggan melakukannya. Banyak pejabat,
pegawai pemerintah, polisi, jaksa, hakim dll yang tahu suap dan korupsi itu
haram/dosa, namun mereka tetap melakukannya. Banyak Muslim yang tahu bahwa
menegakkan syariah Islam itu wajib, tetapi tidak berusaha memperjuangkannya,
seolah-olah itu bukan urusannya. Banyak ulama yang tahu menegakkan Khilafah itu
wajib. Mereka pun tahu kewajiban menegakkan Khilafah itu merupakan Ijmak
Sahabat dan ijmak para ulama salafush-shalih. Namun, alih-alih berusaha menegakkannya, bahkan ada yang menganggap upaya
tersebut tidak relevan untuk saat ini, ’memecah-belah’, ’mengancam’ NKRI, dll.
Banyak tokoh kiai yang tahu bahwa riba itu haram tetapi tidak pernah mencegah
Pemerintah yang nyata-nyata berutang ke luar negeri dengan bunga (riba) yang
sangat ’mencekik’. Banyak pula aktivis dakwah yang tahu menjaga amanah dan
memelihara akad itu wajib, tetapi sering melalaikan dan mengabaikannya.
2.
Mengamalkan apa yang tidak diketahui.
Tidak sedikit orang yang awam agama melakukan
banyak hal yang dia sendiri tidak tahu status hukumnya; apakah halal atau
haram. Misal: Tidak sedikit Muslim berbisnis saham/valas, melakukan transaksi
kredit barang lewat lembaga leasing seperti menjamur saat ini,
terlibat dalam bisnis asuransi, menjadi staf keuangan bank berbasis riba,
mengadu untung dalam kuis via sms, dll. Tidak sedikit Muslim/Muslimah yang
memandang baik profesi sebagai artis (penyanyi, penari, pemain film/sinetron
dll)—yang biasanya akrab dengan atraksi membuka aurat, berkhalwat dan ber-ikhtilat, serta ragam maksiat lainnya; bahkan mereka berlomba-lomba meraihnya.
Tidak sedikit pula Muslim yang memandang mulia demokrasi dan HAM,
mempraktikkannya, bahkan bangga menjadi pejuangnya. Semua itu mereka lakukan
karena mungkin tidak tahu keharamannya. Padahal Rasulullah saw. telah
bersabda (yang artinya), “Siapa saja yang mengerjakan suatu
perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka tertolak (haram, pen.).” (HR Muslim).
3.
Tidak mencari tahu apa yang tidak diketahuinya.
Banyak Muslim/Muslimah yang sadar dirinya awam
dalam agama, tetapi tidak terdorong untuk mempelajari dan mendalami agama (taffaquh fi ad-din). Mereka seolah enjoy dengan kebodohannya dalam agama.
Tidak sedikit pula hal ini melanda para aktivis dakwah. Misal: tidak sedikit
aktivis dakwah yang malas belajar bahasa Arab, padahal mereka tahu
mempelajarinya sangat urgen dalam upaya memahami agama demi bekal dakwah
mereka; bahkan mereka tahu di antara faktor kemunduran umat adalah karena
diabaikannya bahasa Arab.
4.
Menolak orang yang mengajari apa yang tidak diketahuinya.
Tidak sedikit Muslim yang—karena
kesombongannya—menolak ketika orang lain mengajari (baca: mendakwahi)-nya.
Padahal Rasulullah saw. telah bersabda (yang artinya), “Sombong itu menolak kebenaran.” (HR Muslim dan Abu Dawud).
Tidak sedikit pula yang enggan belajar kepada orang
lain hanya karena orang lain itu lebih muda, karena lebih rendah tingkat
pendidikan formalnya, karena dari kelompok/mazhab/harakah/partai yang berbeda,
atau karena faktor-faktor lain.
******
Keempat hal di atas memang telah menghancurkan agama pada diri seorang
Muslim ataupun di tengah-tengah masyarakat.
Akibatnya nyata: Hukum-hukum Allah dicampakkan dan dijauhkan. Hukum-hukum thaghut diterapkan dan dilestarikan. Kewajiban-kewajiban agama banyak
ditinggalkan. Larangan-larangannya sering dilakukan dan bahkan jadi kebiasaan.
Yang halal disembunyikan. Yang haram ditonjolkan. Yang sunnah enggan diamalkan.
Yang bid’ah malah dibesar-besarkan. Adat menjadi ibadat. Ibadat bercampur
dengan khurafat dan maksiat.
Demikianlah, akhirnya Islam sekadar sebutan; al-Quran sekadar jadi bacaan;
as-Sunnah pun terlupakan.
Saat itu, sebagaimana isyarat Nabi saw., Islam kembali menjadi sesuatu yang
asing, persis sebagaimana awal kedatangannya. Sabda Nabi saw. “Islam mulanya datang sebagai sesuatu yang asing dan nanti akan kembali
dianggap asing. Berbahagialah orang-orang yang dipandang asing, yakni mereka
yang selalu melakukan perbaikan-perbaikan di tengah-tengah masyarakat yang
berlomba-lomba melakukan kerusakan-kerusakan.” (HR Ahmad).
Wama tawfiqi illa billah.
By: Ustdz. Arief B. Iskandar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar